Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI celah daun pintu di sebuah rumah kayu, sesosok renta tampak tergolek lemah di atas kasur yang digelar di lantai. Berulang-ulang Tempo melempar salam kepadanya, tapi ia tak menjawab. Tarmiyem, 72 tahun, tampak sangat kelelahan. Siang itu, pekan terakhir Oktober lalu, matahari terik sekali di atas Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. ”Sinten nggih (Siapa ya)?” kata ibu Amrozi, terpidana mati Bom Bali I itu, tergagap. Ia bangkit, meraih kerudung putih di pembatas ruangan dan menutupi rambutnya yang sudah putih. Tempo memperkenalkan diri dan menyebut bahwa ini bukan kedatangan yang pertama—sejak kasus bom Bali I, berkali-kali Tempo menemui Tarmiyem. Tapi ia mengaku tak ingat. ”Wah empun sepuh, kulo lalian (Wah sudah tua, saya gampang lupa),” ujarnya.
Ditinggal mati suaminya, H. Nur Hasyim, 80 tahun, tahun lalu, hidup Tarmiyem terasa lebih berat. Satu yang paling memukul hidup ibu delapan anak ini adalah ketika ia mengenang tiga anaknya—Amrozi, Ali Ghufron alias Muklas, dan Ali Imron, terpidana kasus bom Bali pada Oktober 2003. Amrozi dan Ghufron diganjar hukuman mati, sedangkan Ale, panggilan akrab Ali Imron, dihukum penjara seumur hidup. Amrozi dan Ali Ghufron menolak memohon grasi kepada Presiden setelah permohonan amnesti mereka ditolak Mahkamah Agung. Hal yang sama dilakukan Imam Samudra, juga terpidana mati Bom Bali I. ”Amrozi dan Ali Ghufron menolak mengajukan grasi. Keluarga hanya mengikuti saja,” ujar Muhammad Khoizin, kakak kandung Amrozi dan Ghufron.
Setiap bakda subuh, Tarmiyem pergi ke ladang, setengah kilometer dari rumahnya. Di sana ia merawat kacang tanah dan jagung untuk menopang hidup. Begitu azan zuhur menjelang, ia pulang untuk mandi. Setelah itu ia makan siang, salat berjemaah di masjid, lalu tidur siang melepas penat. Sore, jika tak lelah, ia memasak sendiri untuk makan malamnya. Meski acap kali pula, Afiyah, 55 tahun, anak tertuanya, mengirimi dia makanan.
Sejak ditinggal suaminya, Tarmiyem memang hidup sendirian. Sesekali Khaula, 10 tahun, anak Amrozi dengan istrinya Khususiati, ikut menemani. Susiati kini bekerja sebagai juru masak di Pesantren Al-Islam di dusun itu juga. Tugasnya menyediakan makanan untuk 133 santri. ”Gaji yang diterima Susiati cuma cukup untuk makan dan beli sabun. Ini pondok kecil, kami tidak mampu menggaji besar,” kata Muhammad Khoizin, ipar Susiati sekaligus Ketua Yayasan Pondok Pesantren Al-Islam.
Sebagian keluarga besar trio Tenggulun masih hidup berdekatan di Lamongan. Selain Khoizin dan Afiyah, masih ada Mohammad Ja’far Sodiq yang juga menetap di Tenggulun. Azzah, anak sulung Ali Imron, kini tinggal bersama Ja’far dan sekolah kelas tiga Sekolah Dasar Negeri Tenggulun. Sedangkan Khoirunnisa’, istri Ali Imron, tinggal bersama orang tuanya di Desa Wukir, Kecamatan Glagah, Lamongan.
Yang tidak di sana adalah Farida, istri Mukhlas. Warga negara Singapura itu kini tinggal di Malaysia. Ia membawa anak-anaknya ikut serta. Mereka adalah Asma’ Zaid, Balqis, Hanna, Ubaid, dan Usama. Yang tertua berusia 12 tahun, yang bungsu masih bayi. Di Malaysia mereka tinggal bersama orang tua Farida.
Kata Khoizin, selama ini mereka saling menguatkan. ”Saya sering meminta ibu dan para istri adik kami untuk bersabar,” katanya. Beruntung hubungan mereka dengan tetangga tak berubah. Sehari-hari Tarmiyen tetap bertegur sapa dengan para tetangga. Wibawa almarhum Nur Hasyim salah satu yang menyebabkan keluarga itu tak diasingkan tetangga—meski anggota keluarganya menjadi teroris. Nur Hasyim pernah menjadi Kepala Desa Tenggulun. Mereka juga sempat menjadi orang kaya desa itu saat masih berdagang emas, meski belakangan mereka jatuh miskin.
Khoizin bahkan sempat berpolitik dengan menjadi tim sukses calon Bupati Lamongan. Calon yang diusungnya, Masfuk dari Partai Amanat Nasional dan Tsalis, Ketua Cabang Nahdlatul Ulama Lamongan, terpilih menjadi orang nomor satu di kabupaten itu.
Soal kecurigaan warga desa terhadap Pondok Al-Islam yang dibinanya, ”Itu adalah hal yang wajar,” kata Khoizin. Tapi Kepala Desa Tenggulun saat ini, H Maschun, memiliki hubungan kurang harmonis dengan mereka. ”Saya melihat keluarga Amrozi itu keluarga aneh,” kata Maschun kepada Tempo. Dia tak menjelaskan lebih jauh yang dimaksud aneh.
Pasrah dan nrimo bagi keluarga Trio Tengulun, begitu pula bagi keluarga Emba Badriyah, 62 tahun, ibu Imam Samudra. Bedanya, keluarga ini tertutup kepada wartawan. Ketika disambangi pada akhir Oktober silam, kediaman Embay di Kampung Lopang Gede, Kabupaten Serang, Banten, tertutup rapat. Warung kelontong yang ada di bagian depan rumah juga tak dibuka. ”Umi (Ibu) sakit, tak bisa diganggu,” ujar Dedi, anak Embay. Sedangkan Lulu Djamaludin, adik Imam Samudra, yang selama ini berperan sebagai juru bicara keluarga, juga berkelit. ”Kami sudah menyerahkan semua kepada pengacara,” kata Lulu.
Toh, menurut tetangga sekelilingnya, hubungan keluarga Embay dengan warga berjalan mulus saja. ”Tidak ada yang berubah, semuanya seperti biasa,” kata Nuri, warga Lopang Gede. Embay dan anak-anaknya juga tak canggung bercengkerama dengan tetangga.
Bahkan usaha jahitan yang dikelola Embay berjalan marak. Di depan rumahnya, Embay memasang papan bertulisan ”An Nur Collections Jual Busana Muslim”. Jahitan Embay dikenal bermutu bagus. Menjelang Lebaran, usahanya tambah laris. Menurut Nuri, dalam sepekan bisa dua hingga tiga orang datang menjahitkan baju.
Ini berbeda saat ketika Imam Samudra dinyatakan sebagai tersangka bom Bali dulu. Ketika itu usaha jahitan Embay sempat limbung. Orang enggan menjahitkan baju ke sana. Tapi itu tak terus-terusan: belakangan orang kembali menjahitkan baju ke sana. Lulu Djamaludin ikut menopang ekonomi keluarga itu dengan menjadi karyawan sebuah agen koran di Serang.
Berbeda dengan Embay, Achmad Sihabudin Nakai, 64 tahun, ayah Imam Samudra, sedikit terbuka. Dia mengaku rindu dengan Imam. Memang, sejak bercerai dengan istrinya, Embay Badria, 17 tahun silam, baru sekali ia bertemu dengan Imam Samudra. ”Waktu itu saya sempat ke Bali menengok dia,” kata Sihabudin, yang sehari-hari berdagang ikan bandeng.
Ia mengakui kadang ada kenalannya yang menanyakan sepak terjang Imam Samudra. Dan Sihabudin memilih untuk menjelaskan apa adanya. ”Saya katakan, itulah jalan yang dipilih anak saya,” katanya. Dengan berterus terang, Sihabudin jadi tak diganduli beban berat. Ia merasa tak menanggung dosa meski anaknya terbukti berada di balik bom yang menewaskan 200 jiwa itu.
KELUARGA Asmar Latin Sani tak ”seberuntung” itu. Asmar diduga polisi melakukan aksi bunuh diri dengan meledakkan bom di Hotel JW Marriott, Jakarta, dua tahun lalu. Polisi menemukan kepala Asmar terpental di lantai atas Hotel Marriott: batoknya remuk, isi kepalanya terburai. Tudingan itu begitu memukul Abdul Wahid Sutan Marajo dan Marjia, dua orang tua Asmar. Sehari-hari mereka adalah warga Kelurahan Pengantungan, Kecamatan Gading Cempaka, Kota Bengkulu.
Sejak peristiwa itu, keluarga Asmar selalu menghindar. ”Mereka juga jarang kumpul dengan tetangga,” kata seorang warga Pengantungan. Katanya, para tetangga tak bermaksud mengucilkan keluarga Asmar. ”Kami tak pernah berprasangka buruk apalagi memusuhi dan mengucilkannya.”
Beberapa kali Tempo mengunjungi rumah keluarga Asmar yang ada di sebuah gang sempit itu, namun tak sekali pun berhasil menemui penghuninya. Menurut penuturan tetangganya, sebulan terakhir ini rumah itu kerap kosong. ”Biasanya yang tinggal di rumah itu kedua orang tua Asmar dan beberapa saudaranya. Namun kini jarang kelihatan,” ujar salah satu dari mereka.
Bagi keluarga Asmar, stigma teroris yang distempelkan pada anaknya terlalu berat untuk ditanggung. Pada awal-awal ketika tudingan itu muncul, Marjia kerap pingsan jika ada yang menanyakan anaknya. Nafsu makannya lenyap—ia hanya menyeruput susu. Kini keluarga Asmar tampaknya masih memerlukan waktu untuk bangkit kembali.
KISAH mereka yang jadi ”korban” suami yang jadi teroris terdapat pula di Solo. Adalah Muawwanah yang berjualan es lilin agar bisa bertahan hidup bersama lima anaknya. Muawwanah adalah istri Bambang Setiono alias Saeful, lelaki yang terbukti menjadi anggota jaringan bom Bali I. Saat ini Bambang mendekam di LP Kerobokan, Bali.
Muawwanah tinggal di rumah kontrakan sederhana yang terletak di sudut Kampung Sayangan, Laweyan, Solo. Di rumah yang terdiri dari dua blok dengan ukuran masing-masing 4 x 5 meter itu, tak ada ruang tamu khusus. Hanya ada ruang keluarga beralas perlak plastik, dan di sinilah ia biasa menerima tamu. Sebuah televisi hitam-putih 14 inci di sudut ruangan menjadi satu-satunya hiburan. Jika malam, Muawwanah dan anak-anaknya tidur di ruang atas yang dibuat dari balok kayu. ”Dulunya tempat ini adalah bekas pabrik tekstil,” katanya.
Selain berjualan es lilin, Muawwanah juga menerima jahitan dan berjualan baju serta buku. Usaha yang terakhir itu adalah peninggalan suaminya. ”Tapi kini sulit dilakukan karena anak terkecil saya butuh perhatian,” ujar perempuan berpostur kecil itu. Memang, si bungsu lahir pada saat ayahnya dicokok polisi tiga tahun silam. ”Jadi ia belum tahu bapaknya.”
Muawwanah mengaku bisa mencukupi kebutuhan hidup dengan usahanya itu. Es lilin ia titipkan ke warung-warung di seputar Laweyan. Sedangkan untuk jahitan, banyak kenalan dan warga sekitar yang memesan padanya. Selain itu ia juga berinisiatif menjahit baju yang dijualnya ke pasar.
Para tetangga dan ”kolega bisnis”-nya bukan tak tahu siapa suaminya. ”Mereka sudah tahu dari koran,” katanya. Toh, itu bukan halangan bagi mereka untuk tetap menjalin hubungan baik. Cap teroris pada suaminya bukanlah vonis bagi Muawwanah. Kata Muawwanah, semua tetangga tetap baik seperti ketika suaminya belum dicokok aparat.
Barangkali itu sebabnya, pemilik kontrakan pun membikin murah tarif sewanya. Tak hanya itu. ”Dia juga memberi kelonggaran bagi kami untuk mengontrak sampai bosan, atau sampai suami keluar dari penjara,” tutur Muawwanah.
Dia makin kerasan tinggal di Sayangan karena aparat kelurahan juga tak mempersulitnya. Muawwanah memang pernah dipanggil, tetapi sekadar ditanya duduk soal yang membelit suaminya. Selebihnya, untuk urusan administrasi dan sosial dia diperlakukan sama dengan yang lain.
Bagaimana dengan intel? Setahun pertama setelah suaminya ditangkap, rumahnya memang selalu diawasi aparat—berpakaian seragam maupun sipil. ”Tapi sekarang tidak lagi, mungkin karena suami saya sudah divonis.”
Menurut Muawwanah, anak-anak mulai sering bertanya tentang bapaknya. Ia berusaha memberikan pengertian sesuai dengan tingkat usia masing-masing. ”Saya jelaskan bapaknya tidak bersalah. Ini musibah,” katanya.
Kini lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Muhammadiyah Surakarta ini tengah berjuang membesarkan anak-anaknya. Toh, ia tetap manusia biasa yang masih menyimpan rasa kangen kepada sang suami. Muawwanah berharap agar suaminya bisa ditahan di LP Sragen. ”Agar kami bisa sering mengunjunginya.”
Tulus Wijanarko, Sunudyantoro (Lamongan), Faidil Akbar (Banten),Syaipul Bakhori (Bengkulu), Imron Rosyid dan Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo