Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI celah daun pintu di sebuah rumah kayu, sesosok renta tampak tergolek lemah di atas kasur yang digelar di lantai. Berulang-ulang Tempo melempar salam kepadanya, tapi ia tak menjawab. Tarmiyem, 72 tahun, tampak sangat kelelahan. Siang itu, pekan terakhir Oktober lalu, matahari terik sekali di atas Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur. ”Sinten nggih (Siapa ya)?” kata ibu Amrozi, terpidana mati Bom Bali I itu, tergagap. Ia bangkit, meraih kerudung putih di pembatas ruangan dan menutupi rambutnya yang sudah putih. Tempo memperkenalkan diri dan menyebut bahwa ini bukan kedatangan yang pertama—sejak kasus bom Bali I, berkali-kali Tempo menemui Tarmiyem. Tapi ia mengaku tak ingat. ”Wah empun sepuh, kulo lalian (Wah sudah tua, saya gampang lupa),” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo