Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kekerasan dan Kampung Janda

Akibat kekerasan aparat selama diberlakukannya status DOM, lahirlah kampung-kampung janda di Aceh.

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADIAH Hamzah, perempuan berusia 38 tahun, tampak berlumuran lumpur. Kaus lengan panjang, celana tiga perempat, hingga topi capingnya, tak ada yang bebas dari warna cokelat. Kulitnya tampak dekil kehitaman. Ini tak aneh karena sehari-hari penduduk Desa Cot Keng di Kabupaten Pidie, Aceh, itu memang harus melakukan pekerjaan berat. Selain mengurus pekerjaan rumah, ibu dengan dua orang anak itu harus mencangkul di sawah. Pekerjaan itu terpaksa dia lakukan sendirian setelah suaminya, Sayuti Ayub, ditembak sekelompok orang berseragam loreng pada suatu malam di tahun 1994 karena dituduh terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka. Meski kematian suaminya yang tragis itu meninggalkan kesedihan yang mendalam, Radiah menyadari keluarganya harus bertahan hidup. Sepetak sawah itulah gantungan hidupnya. Berkat kerja kerasnya itu, kini kedua anaknya bisa meneruskan sekolah. Si sulung duduk di kelas empat SD dan yang bungsu baru saja masuk kelas satu. Di desanya, Radiah dan anak-anaknya tak hidup "sendiri". Ia ditemani 15 wanita lain yang mengalami nasib serupa: kehilangan suami dan ayah bagi anak-anaknya. Padahal, desa itu cuma dihuni 40 kepala keluarga. Tak aneh bila kampung yang terletak di kaki Bukitbarisan itu disebut sebagai kampung janda. Di Aceh, rupanya, banyak kampung serupa. Selain di Pidie, kampung janda merebak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Mantan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan, pernah menaksir, jumlah janda di Aceh mencapai 6.000 orang. Tapi, menurut laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (1998), jumlahnya tak sebesar itu alias "cuma" 3.000 orang. Janda dan kekerasan adalah pemandangan yang mewarnai Tanah Rencong sejak kota Serambi Mekah itu dinyatakan sebagai daerah operasi militer (DOM), pada 1989. Status ini diberikan setelah Gubernur Ibrahim Hasan meminta tambahan pasukan karena tak sanggup meredam amuk massa akibat berbagai sebab yang memanas, beberapa pekan sebelumnya: dari kekesalan masyarakat akibat aparat yang berlaku sewenang-wenang terhadap pengunjung Sirkus Oriental di Aceh, 10 Maret 1989, hingga aksi massa yang menentang pemerintah membiarkan tumbuhnya tempat-tempat maksiat, yang berbuntut kerusuhan. Pemerintah menanggapi reaksi masyarakat itu dengan mendatangkan pasukan yang menyelesaikan masalah dengan mengangkat senjata. Setahun setelah DOM diberlakukan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Aceh menemukan lubang berisi 200 mayat di sebuah lokasi terpencil di Kecamatan Alue Ie Mirah, Aceh Timur. Selain terjadi pembunuhan massal, pemerintah juga menciduk orang-orang yang dianggap sebagai gerombolan pengacau keamanan (GPK) dan menjebloskan mereka ke penjara dengan status tahanan dan narapidana politik. Salah satu terpidana itu, sebutlah Amir Abdullah, diciduk karena punya hubungan kerabat dekat dengan salah seorang bakal menteri Aceh Merdeka. Oleh pemerintah, ia dijatuhi hukuman penjara selama 17 tahun, sejak 1990. Hukuman itu tak menciutkan hatinya. "Kemerdekaan bagi Aceh adalah historis. Aceh tak pernah dijajah Belanda. Karena itu, Aceh harus dikembalikan kepada yang punya," katanya. Apa pun kata orang, tindakan aparat semakin menjadi-jadi dan penculikan lantas menjadi pemandangan yang biasa. Pada Maret 1991, Ibrahim Alibasyah diculik karena dianggap memberi makan orang-orang yang oleh pemerintah disebut sebagai GPK. Selama penyekapan, ia ditelanjangi serta dipukuli dengan rotan dan popor senjata. Tak cuma itu, tubuhnya diinjak-injak dan disetrum hingga tak sadarkan diri. Ia lantas dibuang ke jurang di Cot Panglima, Aceh Tengah. Setelah siuman, ia mendapati lehernya nyaris putus akibat digorok selama penyiksaan. Dengan langkah yang payah, ia memanjat tebing setinggi 25 meter dan merangkak menuju jalan raya dengan cara menyisir hutan. Hidupnya kini diliputi trauma berkepanjangan. Badannya kontan gemetar ketakutan bila melihat tentara. Toh, pemuda berusia 32 tahun itu masih dianggap beruntung, setidaknya bila dibandingkan dengan penderitaan yang dialami Alibasyah, tokoh Aceh yang merupakan ayah kandungnya. Kendati sang ayah diculik pada bulan yang sama, nasibnya berbeda. Alibasyah meninggal secara mengenaskan. Ia ditembak persis di mulutnya yang menganga hingga peluru menembus ke kepala bagian belakang. Jenazahnya lalu digeletakkan begitu saja di depan rumah yang hangus dibakar oleh orang-orang bersenjata. Pada tahun itu saja, Yayasan Sahara dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mencatat 12 orang hilang dan hingga kini belum ketahuan nasibnya. Sedangkan 12 orang lainnya disiksa di Pos Laksus Rancong, Lhokseumawe. Ditambah kasus anak-bapak Ibrahim dan Alibasyah, jumlah total korban tindak kekerasan sepanjang 1991 yang diduga dilakukan aparat menjadi 26 orang. Banyaknya korban, diduga, antara lain disebabkan oleh instruksi Panglima Daerah Militer I Bukitbarisan waktu itu, Mayjen TNI H.R. Pramono. Selain kepada anak buahnya, Pramono memberikan semangat kepada rakyat agar membantu menumpas orang yang berseberangan dengan visi pemerintah Indonesia. "Masyarakat saya suruh untuk membunuh GPK. Tak perlu diusut. Masyarakat juga saya suruh bawa parang," katanya seperti dikutip TEMPO, 17 November 1990. Alhasil, dari tahun ke tahun, daftar jumlah korban dan tindak kekerasan semakin panjang. Kaum wanita juga ikut dianiaya. Dalam rentang 1991-1998, tak kurang dari 40 wanita menjadi korban kekerasan, seperti yang diinvestigasi LBH Aceh. Rinciannya, 11 orang diperkosa, sementara 26 wanita dilepas setelah dilecehkan dan disiksa. Sisanya tewas dengan cara yang ganjil. Sarah, sebut saja begitu, hingga kini memang masih bisa bernapas, tapi masa lalunya yang pahit tak mungkin dihilangkan begitu saja. Ia diperkosa seorang prajurit satu dari Batalyon Infanteri (Yonif) 126 Ulee Glee di rumah korban hingga hamil dan melahirkan anak perempuan. Kini, anak itu berusia 14 bulan. Prajurit itu sendiri cuci tangan dengan cara memaksa Sarah meneken surat pernyataan untuk tidak membawa masalah ini ke pengadilan. Nasib Nina, katakanlah begitu, lebih tragis. Nina, yang sedang mengandung enam bulan, diculik dan dibawa ke sebuah pos. Di sana, perutnya dibelah dan bayinya dikeluarkan. Nina dan anaknya langsung meninggal. Kasus lain yang tak kalah seram menyangkut empat wanita yang diperkosa sebelum dihabisi dengan brutal. Cara membunuhnya, dua wanita dibaringkan dalam satu susun, lalu ditembak. Satu peluru digunakan untuk menerjang dua nyawa. Hingga Juli 1998, Aceh menyimpan 2.168 kasus kekerasan yang melanggar hak asasi manusia akibat diberlakukannya DOM (1989-1998). Rinciannya: 8 korban perampasan, 34 pembakaran rumah, 179 kasus penganiayaan, 296 orang tewas, dan 594 orang hingga kini belum diketahui nasibnya. Salah satu kasus terbaru yang disampaikan kepada Tim Pencari Fakta (TPF) DPR RI saat berkunjung ke Aceh, 27 Juli 1998, adalah pengalaman pahit yang dialami Teungku Abdurrahman. Kakek berusia 70 tahun itu diciduk dini hari di bulan Februari tahun lalu gara-gara dikira menimbun senjata. Seperti korban-korban sebelumnya, Abdurrahman disiksa selama tiga hari tiga malam, nonstop. Sepanjang hari, ia digebuki dengan rotan, kayu, dan popor senjata. Kemaluannya disetrum. Tak cuma itu, ia juga direndam di dalam air yang berisi kotoran manusia. Keesokannya, barulah ia dilepas dengan cara yang tak wajar: dikubur hidup-hidup. Kepada anggota TPF yang hadir, antara lain Letjen TNI Hari Sabarno dan Mayjen TNI Sedaryanto, Pak Tua itu mengutuk dan menuntut agar pelaku penganiayaan segera diusut tuntas. "Bukan main herannya kita, mereka itu macam orang biadab," katanya dengan logat Aceh yang kental. Sebulan kemudian, persisnya 25 Agustus 1998, Komnas HAM menyampaikan data yang lebih lengkap--bila tak mau disebut mengejutkan. Jumlah orang yang meninggal bertambah menjadi 781 orang, sedangkan anak yatim akibat DOM diperkirakan sekitar 20 ribu orang. Dari angka itu, bisa dibayangkan betapa kehidupan di Aceh begitu mencekam. Tak aneh bila banyak pria memilih mengungsi ke daerah aman, termasuk berimigrasi ke Malaysia, sembari menggalang kekuatan internasional, sejak 1991--kendati, konsekuensinya, harus meninggalkan anak dan istri. Eksodus itu, di samping penembakan oleh aparat, telah mengakibatkan lahirnya banyak perkampungan janda di Aceh. Ma?ruf Samudra, Ahmad Fuadi (Jakarta), Setiyardi, Mustafa Ismail (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus