Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tukar Guling dan Jurus Pelampung

Golkar akan setuju pegawai negeri netral, tapi minta "tukar guling" dengan daerah pemilihan di kabupaten yang ditolak PPP. Komprominya

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tukar guling ternyata bukan cuma soal urusan tanah, tapi bisa mampir ke parlemen. Pasal-pasal RUU politik yang kini sedang dibahas kabarnya juga siap di-"tukarguling"-kan. Dua minggu lagi, tepatnya 28 Januari, undang-undang yang menentukan jalannya pemilu mendatang itu harus sudah diketok palu. Sementara itu tarik-ulur dan debat politik di Senayan makin panas. Ada dua klausul yang jadi penyebab, yaitu soal netralitas pegawai negeri sipil dan sistem pemilu. Sejak awal pembahasan, dua pasal ini alot diperdebatkan. FKP didukung F-ABRI, atas nama hak asasi manusia, bersikukuh mempertahankan pegawai negeri sebagai pengurus dan anggota parpol. "Asal bukan pejabat struktural," dalih Ketua Panitia Kerja RUU Pemilu dari Golkar, Aminullah Ibrahim. Adapun FPP, FPDI, dan pemerintah juga ngotot menolaknya di atas dalil netralitas abdi negara. Persoalan kedua adalah soal varian sistem pemilu proporsional. FKP, F-ABRI, dan pemerintah ngebet agar daerah pemilihan adalah di kabupaten. Sedangkan FPP dan FPDI menginginkan tetap seperti yang dijalankan sebelum ini, yaitu di provinsi. Berbagai lobi yang dijalankan, bahkan hingga ke tingkat pimpinan fraksi, tidak kunjung menemukan jalan tengah. Lalu rumus klasik pun digelar. "Kalau di tingkat pimpinan dewan tidak bisa diselesaikan, ya, terpaksa voting," kata Aminullah kepada Arif Kuswardono dari TEMPO. Menghadapi ancaman dari partai yang dulu mengklaim dirinya sebagai "mayoritas tunggal" itu, FPP tak kalah gertak. "Itu sudah harga mati," ujar Djufri Asmoredjo, Ketua Panitia Kerja RUU Parpol dari FPP. Maksudnya, jika dipaksakan voting, Fraksi Kakbah akan hengkang dari ruang sidang alias walk out. Dalam situasi RUU politik terancam menemui jalan buntu inilah, isu "tukar guling" itu pun bergulir. Sumber TEMPO mengungkapkan bahwa pemerintah sedang berupaya menempuh upaya tawar-menawar, yaitu meminta FKP melepas keberatan soal pegawai negeri, dan sebagai imbal baliknya Kakbah merelakan varian daerah pemilihan, yaitu di kabupaten. Kelihatannya Golkar mulai kendur. Apalagi belakangan masyarakat makin gencar meminta agar pegawai negeri netral dalam pemilu mendatang. Bahkan Presiden Habibie telah tegas-tegas menyatakan agar pegawai negeri dan ABRI mengambil sikap netral. Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pun mengeluarkan instruksi kepada para gubernur hingga bupati agar aparat birokrasi tidak berpihak nanti. "Saya siap menindak tegas jajaran pemerintah yang terbukti menyimpang dari prinsip netralitas," ujarnya. Tanda melunaknya Beringin mulai terlihat lewat pernyataan salah seorang Ketua Golkar, Marzuki Darusman. Ia menyatakan niat Fraksi Beringin untuk mencungkil pasal pegawai negeri yang selama ini mengganjal draf RUU Parpol itu. Alternatifnya, dengan memindahkan beban permasalahnya pada UU Kepegawaian. Maksudnya, status pegawai negeri dalam parpol tidak usah diatur oleh RUU politik, tapi diatur oleh Undang-Undang tentang Pegawai Negeri. Tapi usul ini dikritik Andi Mallarangeng, anggota Tim Tujuh Departemen Dalam Negeri. "Apa jaminannya revisi UU Kepegawaian itu akan bisa diselesaikan sebelum pemilu digelar?" tanyanya. Lalu bagaimana? Sumber TEMPO di jajaran Departemen Dalam Negeri punya cerita menarik. Pemerintah lalu putar otak mencari terobosan agar Golkar mau melepaskan pegawai negeri tanpa harus kehilangan muka. Maka dirancanglah sebuah skenario. Kira-kira begini alur ceritanya. Setelah ditempuh berbagai lobi dan kompromi, pada akhirnya Partai Beringin akan "mengikhlaskan" pasal pegawai negeri tersebut. Sehingga, dalam skenario itu, muka Golkar masih terjaga. Caranya, klausul itu dikeluarkan dari RUU politik, dan dilimpahkan pengaturannya--tidak jadi melalui UU Kepegawaian, tetapi melalui keputusan presiden (keppres) atau peraturan pemerintah (PP). Dalam keppres atau PP itu nanti, diatur bahwa pegawai negeri netral alias tak boleh menjadi anggota atau pengurus partai. Menurut rencana semula, begitu Golkar membuat pernyataan, keesokan harinya keppres atau PP yang drafnya sedang digodok itu akan langsung diumumkan dari Bina Graha. Tapi alur cerita ini lalu berantakan sebelum happy ending. Penyebabnya, tiba-tiba draf berbentuk PP itu sudah berseliweran di anggota dewan. "Saya tidak tahu kenapa sampai bisa bocor," ujar sumber itu heran. Akibatnya sudah bisa diduga. Para anggota FKP kontan kalang-kabut. Mereka meradang, bahwa pemerintah secara tidak santun telah mem-fait-accompli lembaga legislatif. Ferry Mursyidan Baldan dari FKP kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO membenarkan beredarnya bocoran itu. "Saya tidak tahu kenapa dan untuk apa draf itu beredar. Ternyata pemerintah, dalam hal ini Depdagri, kelihatan belangnya," katanya gondok. Ia menilai semua ini adalah manuver untuk memojokkan Golkar ke dalam suatu citra buruk bahwa partai pemerintah itu mengangkangi pegawai negeri seperti pada masa Soeharto. Di luar kekisruhan itu ada satu hal yang layak ditelusuri. Apa kepentingan pemerintah di balik tarik urat soal hak politik pamong praja itu? Menurut Andi, yang pertama karena adanya keresahan yang luar biasa di jajaran pemerintahan di bawah, misalnya para camat. Menurut Andi, mereka sudah emoh tak bisa tidur pada saat menjelang pemilu seperti masa sebelumnya, akibat dibebani kewajiban memenangkan Golkar. Padahal, pada saat banyak masyarakat sudah antipati terhadap mesin politik Orde Baru itu, tugas pemenangan pemilu itu tentu bukan main beratnya. Sementara itu, Habibie sendiri berkepentingan "mencari tiket memenangkan dukungan" dengan bersuara keras soal netralitas pegawai negeri sipil ini. Juga, menurut Andi lagi, jika ingin mempertahankan kursi presidennya, Bung Rudy tidak mungkin hanya menggantungkannya kepada Golkar, yang diprediksi cuma akan mengantongi tidak lebih dari 20 persen suara. Jika tidak menampilkan sikap netral, tentu saja Habibie akan kehilangan dukungan dari parpol-parpol lain. Dalam kerangka inilah, menurut Andi, manuver Adi Sasono yang menolak berkampanye untuk Golkar harus dilihat. Sebagai seorang menteri, Adi ingin agar tidak kelihatan "terlalu Golkar". Lebih-lebih terbetik kabar ia sedang menjajaki pembentukan sebuah partai baru bernama Partai Kedaulatan Rakyat. Bisa jadi Adi sedang menyiapkan sebuah game yang rapi, siapa tahu. Kegigihan Syarwan Hamid sendiri juga punya latar belakang. Yang jelas, menurut hitung-hitungan sumber TEMPO, karir politiknya akan habis setelah pemilu. Ada beberapa faktor pendukungnya. PDI Perjuangan, yang diperkirakan memperoleh suara cukup banyak, diperkirakan akan mempersoalkan Syarwan, misalnya kebijakannya semasa menjabat Kassospol ABRI yang selalu dikait-kaitkan dengan kasus 27 Juli. Dengan dua partai besar lainnya, PAN atau PKB, ia juga tak terlalu dekat. Di jajaran Golkar, karena urusan pegawai negeri, dia jelas tidak populer. Karena itulah, pada pengujung karir politiknya ini, tampaknya ia bertekad agar namanya ditulis dengan "tinta emas" oleh sejarah. Konflik kepentingan Golkar-Akbar Tandjung dengan Syarwan Hamid inilah yang lalu memicu perseteruan internal di tubuh Golkar semakin sengit. Sumber TEMPO menjelaskan bahwa Akbar saat ini "mati angin". Ia kecewa karena keberhasilannya menghadang Edi Sudradjat waktu Munaslub lalu tak berbalas. Habibie dalam soal pegawai negeri jelas memihak Syarwan. Padahal, jika Golkar kalah, tangga Habibie ke kursi presiden juga terancam--walau belum secara tegas Golkar mencalonkannya kembali. Andi melihat sikap ngotot Golkar dalam soal pegawai negeri ini sebagai bagian dari situasi yang disebutnya "psikologi kapal karam". Artinya, para pemimpinnya panik karena berpikir cuma ada satu "pelampung" untuk menyelamatkan diri, yaitu: dukungan pegawai negeri. Padahal, kata Andi lagi, jajaran Beringin punya kelebihan dibanding parpol lain. Jaringan yang menggurita ke tingkat desa, pengalaman enam kali menang pemilu dengan sistem proporsional, dan kuatnya dukungan dana. Rupanya Golkar punya perhitungan yang bikin deg-degan. Jika 10 ribu pengurusnya dari kalangan pegawai negeri dipangkas, perolehan suara Beringin diperkirakan tidak akan lebih dari 20 persen. Dan yang lebih menyeramkan mereka, menurut Andi, adalah efek psikologis yang akan terjadi dari gelombang besar-besaran pengembalian kartu tanda anggota Golkar oleh pegawai negeri. Di tengah hiruk-pikuk soal pegawai pelat merah ini, Djufri Asmoredjo dari FPP punya peringatan yang layak disimak. Ia mempertanyakan kenapa yang selalu didengang-dengungkan adalah soal pegawai negeri. Jangan-jangan, katanya curiga, ramai-ramai ini adalah bagian dari kamuflase untuk menyembunyikan senjata pamungkasnya, yaitu soal varian daerah pemilihan di kabupaten yang justru sangat potensial menggelembungkan suara Golkar. Menurut perhitungannya, jika daerah pemilihan diadakan di provinsi, Beringin cuma akan meraih tidak lebih dari 20 persen suara. Tetapi, jika di kabupaten, perolehannya bisa jadi menjulang di atas 50 persen. Kalau itu terjadi, Golkar jelas mengaramkan parpol-parpol baru, yang anehnya belum siap-siap menyediakan pelampung. Karaniya Dharmasaputra dan Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus