Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kelompok Orang Bingung

Aliran inkar sunnah diributkan di jakarta. aliran ini tak mengakui hadis, sumber ajarannya hanya al qur'an. (ag)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEGELISAHAN bisa melahirkan gerakan. Tapi juga kebodohan. Apa yang disebut "gerakan" Inkar Sunnah (IS), yang diperkatakan sebagian orang di Jakarta, barangkali mewakili dua-duanya. IS sebenarnya bukan kelompok yang galak. Bila mereka terlibat keributan dengan muslimin selebihnya, agaknya lebih disebabkan karena mereka "tak mau mendengar" sementara yang mereka ajarkan, yang konon pula diserukan lewat mikrofon, membikin pegal orang-orang Islam lain. Maka sebuah pengajian di Masjid Asy-Syifa, di kompleks Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, misalnya, ditutup. Juga di kompleks RS Persahabatan. Seorang muballigh IS beserta lima pengikutnya di Pasar Rumput diangkut ke Koramil, walaupun sebentar. Di Jakarta Utara mereka juga diantarkan penduduk ramai-ramai ke Kodim. Rumah Satiman, pedagang bakso di Cempaka Putih, dirusak. Sedang para pengasuh tujuh masjid di Pasar Minggu menyatakan akan membawa persoalan IS ke Kejaksaan Agung. Tokoh Majelis Ulama DKI Jakarta, K.H. Ghazali Sahlan, juga memberi komentar negatif tentang kelompok ini -- seperti disiarkan harian Terbit, yang paling getol memuat beritanya. Dari kalangan ulama juga diketahui bahwa IS sebenarnya bukan kelompok baru. Media DakyJah, bulanan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), bahkan sudah di bulan April tahun lalu memuat tulisan tentang itu. Mengapa kalangan muballigh pada keki, tak lain karena kelompok ini tidak mau mengakui Hadis -- hanya memakai Quran sebagai sumber ajaran. Sebuah buku 117 halaman, ditulis oleh Ahmad Husnan dan dikeluarkan oleh Penerbit Media Dakwah, akhir 1981, menerangkan hal itu. Di situ bahkan disebut nama Kampung Wangen, Polanharjo, Klaten, Ja-Teng, sebagai tempat bermulanya "aliran" ini -- meski kemudian kegiatan mereka itu tak pernah terdengar kecuali di Jakarta. Alasan orang IS untuk hanya memakai Quran terhitung unik juga. Allah itu gaib, sedang Rasul sudah meninggal. Yang ada hanya Quran. Dan itulah "omongan Allah dan Rasul". Tugas Rasul hanya menyampaikan, bukan memberi pengertian hukum baru. yang disebut Hadis, hanyalah dongeng dari mulut ke mulut. Sedang salat sebenarnya cukup dengan zikir. Demikian ditulis dalam buku. Tapi menghadiri salat Jumat di Masjid Al-Huda, Kuningan, Jakarta, yang dibilang sebagai pusat IS, orang ternyata mendapat pengalaman biasa saja. Hanya pembacaan ayat Quran dalam khotbah memang kelewat-lewat -- sampai 30 kali -- dan tanpa Hadis. Inilah masjid Pak Abdurrahman, 80 tahun, sesepuh yang asli Betawi. Ia berpengikut sekitar 300 orang, dan memiliki semacam pusat di Parung, Bogor. Tentang dua penghimpun Hadis yang berwibawa, Bukhari dan Muslim, kakek itu bilang kepada TEMPO: "Bukhari dan Muslim itu 'kan manusia. Berapa sih kepintaran manusia". Tapi Hadis kan bukan ajaran Bukhari, melainkan rekamannya terhadap ucapan Nabi? "Bukhari menulis sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat," katanya. Ia memang tak mengindahkan -- dan agaknya tak tahu -- bahwa sebelum Bukhari juga terdapat berbagai catatan, dan itulah yang terutama diuji oleh penyelidikan Bukhari dan Muslim yang disepakati paling akurat. "Tak mungkin orang yang mengerti sejarah Hadis yang bicara seperti itu," komentar Amin Djamaluddin, 31 tahun, dari Masjid Al-Ihsan Pasar Rumput. Malah menurut Amin, Haji Abdullah, 52 tahun, pengikut IS, pernah bilang Bukhari itu komunis. Sebab tokoh yang hidup lebih 1.000 tahun lalu itu memang orang Bukhara, Soviet Uni sekarang. Tentang keyakinan bahwa Quran "omongan Allah dan Rasul" saja mereka ini mengambil dalil secara unik: "Bahwa Quran adalah ucapan rasul (utusan) yang mulia" (Q.69:40). Padahal yang dimaksud adalah penyampaian oleh Jibril. Sedang ayat "Tidak ada wewenang engkau sedikit pun dalam urusan itu" (Q.3128), yang mereka jadikan dalil pembatas bagi tugas Nabi yang "hanya menyampaikan", sebenarnya berbicara tentang hak Tuhan untuk mengampuni atau menghukum. Di masjid RSCM pernah terjadi sedikit ribut -- ketika muballigh IS melarang azan, karena tak ada di Quran. Toh "saya masih memakainya, karena belum menemukan ajaran yang sebenarnya". Ini kata Haji Sanwani, tokoh lain, di Pasar Rumput -- yang seperti halnya Abdurrahman dulunya di Persis (Persatuan Islam), sedang Sanwani pernah pula di NU. Bagaimana dengan salat sendiri, yang "hanya zikir", jawab Sanwani: "Itu harus dijelaskan panjang lebar tidak cukup waktunya." "Yang kita sayangkan, mereka itu tidak mau bertanya," kata K.H. Ghazali Sahlan, "padahal mereka mengaku tidak tahu bahasa Arab". Kiai Ghazali malah tertawa ketika bicara tentang kemungkinan ber-Islam tanpa Hadis. "Bagaimana bisa. Dalam Quran sendiri tak ada petunjuk cara salat." Kecuali kalau akhirnya mereka berkesimpulan tak harus salat -- yang toh sampai sekarang belum juga. Hanya, pengikut mereka sebetulnya tak banyak. Marinus Taka, yang bersama istrinya, Helena Esther, mengaku pindah dari agama Katolik tahun kemarin, menyatakan pengajiannya di Priok "paling-paling dihadiri 10 orang". Pengajian Sanwani di Pasar Rumput juga hanya berpendengar enam orang. Sedang masjid Abdurrahman ltu ternyata tidak penuh. Kata Kiai Ghazali: "Kami maupun yang lain-lain selalu memberi penerangan tentang bahayanya gejala seperti itu." Dan Majelis Ulama, katanya, belum perlu mengambil suatu langkah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus