KEGELISAHAN bisa melahirkan gerakan. Tapi juga kebodohan. Apa
yang disebut "gerakan" Inkar Sunnah (IS), yang diperkatakan
sebagian orang di Jakarta, barangkali mewakili dua-duanya.
IS sebenarnya bukan kelompok yang galak. Bila mereka terlibat
keributan dengan muslimin selebihnya, agaknya lebih disebabkan
karena mereka "tak mau mendengar" sementara yang mereka ajarkan,
yang konon pula diserukan lewat mikrofon, membikin pegal
orang-orang Islam lain.
Maka sebuah pengajian di Masjid Asy-Syifa, di kompleks Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, misalnya, ditutup. Juga di kompleks RS
Persahabatan. Seorang muballigh IS beserta lima pengikutnya di
Pasar Rumput diangkut ke Koramil, walaupun sebentar. Di Jakarta
Utara mereka juga diantarkan penduduk ramai-ramai ke Kodim.
Rumah Satiman, pedagang bakso di Cempaka Putih, dirusak. Sedang
para pengasuh tujuh masjid di Pasar Minggu menyatakan akan
membawa persoalan IS ke Kejaksaan Agung.
Tokoh Majelis Ulama DKI Jakarta, K.H. Ghazali Sahlan, juga
memberi komentar negatif tentang kelompok ini -- seperti
disiarkan harian Terbit, yang paling getol memuat beritanya.
Dari kalangan ulama juga diketahui bahwa IS sebenarnya bukan
kelompok baru. Media DakyJah, bulanan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII), bahkan sudah di bulan April tahun lalu memuat
tulisan tentang itu.
Mengapa kalangan muballigh pada keki, tak lain karena kelompok
ini tidak mau mengakui Hadis -- hanya memakai Quran sebagai
sumber ajaran. Sebuah buku 117 halaman, ditulis oleh Ahmad
Husnan dan dikeluarkan oleh Penerbit Media Dakwah, akhir 1981,
menerangkan hal itu. Di situ bahkan disebut nama Kampung Wangen,
Polanharjo, Klaten, Ja-Teng, sebagai tempat bermulanya "aliran"
ini -- meski kemudian kegiatan mereka itu tak pernah terdengar
kecuali di Jakarta.
Alasan orang IS untuk hanya memakai Quran terhitung unik juga.
Allah itu gaib, sedang Rasul sudah meninggal. Yang ada hanya
Quran. Dan itulah "omongan Allah dan Rasul". Tugas Rasul hanya
menyampaikan, bukan memberi pengertian hukum baru. yang disebut
Hadis, hanyalah dongeng dari mulut ke mulut. Sedang salat
sebenarnya cukup dengan zikir. Demikian ditulis dalam buku.
Tapi menghadiri salat Jumat di Masjid Al-Huda, Kuningan,
Jakarta, yang dibilang sebagai pusat IS, orang ternyata mendapat
pengalaman biasa saja. Hanya pembacaan ayat Quran dalam khotbah
memang kelewat-lewat -- sampai 30 kali -- dan tanpa Hadis.
Inilah masjid Pak Abdurrahman, 80 tahun, sesepuh yang asli
Betawi. Ia berpengikut sekitar 300 orang, dan memiliki semacam
pusat di Parung, Bogor.
Tentang dua penghimpun Hadis yang berwibawa, Bukhari dan Muslim,
kakek itu bilang kepada TEMPO: "Bukhari dan Muslim itu 'kan
manusia. Berapa sih kepintaran manusia". Tapi Hadis kan bukan
ajaran Bukhari, melainkan rekamannya terhadap ucapan Nabi?
"Bukhari menulis sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat," katanya.
Ia memang tak mengindahkan -- dan agaknya tak tahu -- bahwa
sebelum Bukhari juga terdapat berbagai catatan, dan itulah yang
terutama diuji oleh penyelidikan Bukhari dan Muslim yang
disepakati paling akurat. "Tak mungkin orang yang mengerti
sejarah Hadis yang bicara seperti itu," komentar Amin
Djamaluddin, 31 tahun, dari Masjid Al-Ihsan Pasar Rumput. Malah
menurut Amin, Haji Abdullah, 52 tahun, pengikut IS, pernah
bilang Bukhari itu komunis. Sebab tokoh yang hidup lebih 1.000
tahun lalu itu memang orang Bukhara, Soviet Uni sekarang.
Tentang keyakinan bahwa Quran "omongan Allah dan Rasul" saja
mereka ini mengambil dalil secara unik: "Bahwa Quran adalah
ucapan rasul (utusan) yang mulia" (Q.69:40). Padahal yang
dimaksud adalah penyampaian oleh Jibril. Sedang ayat "Tidak ada
wewenang engkau sedikit pun dalam urusan itu" (Q.3128), yang
mereka jadikan dalil pembatas bagi tugas Nabi yang "hanya
menyampaikan", sebenarnya berbicara tentang hak Tuhan untuk
mengampuni atau menghukum.
Di masjid RSCM pernah terjadi sedikit ribut -- ketika muballigh
IS melarang azan, karena tak ada di Quran. Toh "saya masih
memakainya, karena belum menemukan ajaran yang sebenarnya". Ini
kata Haji Sanwani, tokoh lain, di Pasar Rumput -- yang seperti
halnya Abdurrahman dulunya di Persis (Persatuan Islam), sedang
Sanwani pernah pula di NU. Bagaimana dengan salat sendiri, yang
"hanya zikir", jawab Sanwani: "Itu harus dijelaskan panjang
lebar tidak cukup waktunya."
"Yang kita sayangkan, mereka itu tidak mau bertanya," kata K.H.
Ghazali Sahlan, "padahal mereka mengaku tidak tahu bahasa Arab".
Kiai Ghazali malah tertawa ketika bicara tentang kemungkinan
ber-Islam tanpa Hadis. "Bagaimana bisa. Dalam Quran sendiri tak
ada petunjuk cara salat." Kecuali kalau akhirnya mereka
berkesimpulan tak harus salat -- yang toh sampai sekarang belum
juga.
Hanya, pengikut mereka sebetulnya tak banyak. Marinus Taka, yang
bersama istrinya, Helena Esther, mengaku pindah dari agama
Katolik tahun kemarin, menyatakan pengajiannya di Priok
"paling-paling dihadiri 10 orang". Pengajian Sanwani di Pasar
Rumput juga hanya berpendengar enam orang. Sedang masjid
Abdurrahman ltu ternyata tidak penuh. Kata Kiai Ghazali: "Kami
maupun yang lain-lain selalu memberi penerangan tentang
bahayanya gejala seperti itu." Dan Majelis Ulama, katanya, belum
perlu mengambil suatu langkah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini