Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kembalinya si warga haram

Sekitar 10.000 warga indonesia di filipina selatan akan dipulangkan. selama ini mereka tak diusik karena tak membuat ulah. pendidikan dan masa depannya tak terjamin.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN Mindanao dikenal sebagai wilayah yang bergolak di Filipina Selatan. Di sana ada gerakan Front Pembebasan Nasionalis Moro, yang selama bertahun-tahun menginginkan kemerdekaan. Di sana pula bergerak gerilyawan komunis. Ternyata, di kepulauan yang bersebelahan dengan Kepulauan Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, itu juga bermukim sekitar 10.000 orang Indonesia. Mereka diperkirakan keturunan para nelayan Sangir-Talaud yang terdampar belasan tahun silam. Sulit bagi mereka untuk pulang ke kampung, karena perahu tradisional mereka tak kuat melawan arus. Maka, mereka memilih tinggal di sana dan kawin-mawin dengan penduduk setempat. Meski sudah bercucu-cicit dan hidup di wilayah Filipina, mereka tetap memilih kewarganegaraan Indonesia. Oleh pemerintah Filipina, menurut sumber di Konsulat Jenderal Filipina di Manado, mereka memang dianggap sebagai pendatang haram. Pemerintah Filipina selama ini mendiamkan saja karena kehadiran mereka dirasakan tak menimbulkan banyak gangguan. Hanya saja, ''Mereka juga tak dikutip pajak, sehingga kehadirannya tak membawa manfaat bagi Filipina,'' kata sumber itu. Pada tahun 1981, Gubernur Sulawesi Utara G.H. Mantik, menurut Kepala Humas Max Lumintang, mencetuskan ide untuk memulangkan 10.000 warga Indonesia itu. Tapi, rencana itu mandek begitu Mantik turun dari jabatannya. Hingga, pertengahan bulan lalu, Gubernur C.J. Rantung menghadap Presiden Soeharto. Ia melaporkan nasib WNI di Filipina yang tak punya masa depan itu. ''Presiden merestui rencana pemulangan itu,'' kata Max. Kehidupan para emigran gelap, seperti dilaporkan Konsulat Jenderal Indonesia di Davao, Filipina Selatan, memang menyedihkan. Tak ada kesempatan untuk mengikuti pendidikan. Selama bertahun-tahun, mereka hanya menjadi buruh kasar di pabrik dan perkebunan, menjadi buruh tani, atau bertahan sebagai nelayan tradisional. ''Pendapatan per keluarga rata-rata di bawah Rp 30.000 sebulan,'' kata Max. Dari sudut keamanan, juga ada masalah. Komunis mengakar kuat di kawasan Mindanao. Kalau tak cepat-cepat dipulangkan, mereka bisa-bisa kena propaganda komunis, lalu berbaur dengan gerilyawan itu. ''Ketimbang terjadi impor ideologi dari gerakan pengacau itu, perlu langkah-langkah antisipasi,'' kata Asisten Intel Kodam VII/Wirabuana Letkol S. Nasution. Di samping itu, wilayah perbatasan Indonesia-Filipina yang memang sarat masalah itu salah-salah bisa memancing konfrontasi, misalnya soal pelintas batas serta perebutan lahan penangkapan ikan dan sejumlah sumber pencaharian tradisional rakyat di wilayah perbatasan. Kapal-kapal milik industri perikanan Filipina yang maju menjaring ikan laut sebanyak 500 ton setiap harinya disebut-sebut acap memasuki perairan Indonesia dan mendesak nelayan Indonesia. Sebaliknya, tak jarang pula nelayan Indonesia dituding menerobos perbatasan. Belum lagi kabar merajalelanya bajak laut yang bersenjata modern. Berbagai masalah itulah, antara lain, yang terus dibahas dalam pembicaraan periodik bilateral Border Commitee Agreement (BCA) sejak 15 tahun silam. Masalah pemulangan 10.000 orang Indonesia itu pun, menurut Kepala Penerangan Kodam VII/Wirabuana Letkol Sirajuddin, bakal menjadi salah satu agenda dalam sidang BCA akhir bulan ini di Filipina Selatan. Hasil sensus Konsul Jenderal RI di Davao pada 1991 menyebutkan, dari 10.000 WNI, sekitar 3.000 di antaranya hidup di pulau- pulau kecil di kawasan perbatasan, seperti di Pulau Ensihe, Memanuk, Matutuang, Miangas, dan sekitarnya. Sedangkan 7.000 lainnya menetap di Mindanao. Mereka inilah yang mendapatkan prioritas pemulangan. Rencana ini semula terganjal oleh kemampuan ekonomi Kabupaten Sangir-Talaud, tempat asal mereka, yang juga lemah. Lalu dipilihlah Kepulauan Halmahera Utara, Maluku, yang masih lega, cukup subur, dan penduduknya punya latar belakang kebudayaan dan kepercayaan yang relatif sama. ''Pemda Maluku sudah setuju,'' kata Lalamantik, anggota tim BCA dari Pemda Sulawesi Utara. Kapan 10.000 warga Indonesia itu kembali memang belum ditentukan. Sebab, soal begini memang memerlukan pembahasan antarinstansi. Misalnya, untuk permukiman dan pencaharian mereka kelak, tentunya diperlukan penanganan dari Departemen Transmigrasi atau Menteri Negara Perumahan Rakyat. Sedangkan untuk angkutan pemulangan, itu akan ditangani Departemen Hankam dan ABRI. Pangdam Mayjen Sofyan Effendi pun, sebagai Ketua Bakorstanasda Sulawesi dan Ketua Tim BCA Indonesia, sudah berjanji akan mengamankan pelaksanaan pemulangan itu. ''Mereka itu kan warga negara Indonesia. Kalau mereka pulang, ya, diterima baik-baik, asalkan bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sini,'' kata Sofyan. Maukah para emigran itu pulang? Melalui misi dagang maupun kebudayaan, Hipmi, Kadin, PHRI, dan Pemda Sulawesi Utara, misalnya, juga mengampanyekan kehidupan di Indonesia yang lebih baik dan enak. Mei 1993 ini juga dibentuk working party antara Pemda Sulawesi Utara dan Filipina Selatan bagi pengembangan kedua daerah. Semua itu, ujar Max, dilakukan agar mereka bersedia pulang ke sini tanpa rasa terpaksa. Kembalilah. Ardian Taufik Gesuri dan Waspada Santing (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus