TIADA hari tanpa Habibie. Segala langkah dan gaya Menteri Negara Riset dan Teknologi itu kini pasti jadi berita. Maklum, bak langkah kuda dalam permainan catur, ''jurus-jurus'' Habibie kian menarik dan sukar ditebak. Putra Parepare yang kini berusia 56 tahun itu juga semakin ''lincah'' bergerak. Belum lama terbang ke Amerika Serikat, lalu ke Iran, dan pekan depan giliran pameran dirgantara di Paris akan dikunjunginya. Yang menarik, dalam lawatannya ia selalu mencoba ''membantu'' kerja rekan sejawatnya di kabinet. Dalam kunjungan ke AS dan Perancis, kabarnya dia mencoba membantu tugas Menteri Luar Negeri melobi negara maju agar menerima kehadiran Ketua Gerakan Nonblok dalam pertemuan G-7 di Tokyo, Juni ini. Dan Kamis pekan lalu, Habibie kembali jadi tambang berita setelah memboyong anggota Petisi 50 ke PT PAL, salah satu dari proyek kebanggaannya. Ia tampak mendapat pengawalan khusus paling tidak di Bandara Halim sebelum bertolak ke Surabaya. Sebelum berangkat, Habibie sempat menjawab beberapa pertanyaan Linda Djalil dari TEMPO. Kemudian, setelah lawatan PAL selesai, di Bandara Halim dia diwawancarai wartawan TEMPO Dwi Setyo Irawanto dan Iwan Qodar Himawan. Petikannya. Anda undang Petisi 50 ke PAL, apakah sudah ada persetujuan Presiden? Jelas, dong. Masa, saya berani membuat sesuatu tanpa persetujuan Bapak Presiden. Jadi, semua yang dibuat oleh Pak Habibie itu nggak ngarang. Semua dengan persetujuan Pak Harto dan saya sudah 20 tahun membantu Pak Harto. Apakah ini upaya Pemerintah untuk merangkul kelompok disiden? Ah, tidak. Mereka kan pejuang. Di situ ada Angkatan 45. Dalam hari tuanya mereka bisa melihat apa hasil anak-anak dan adik-adiknya dalam bidang teknologi. (Ketika pertanyaan yang sama diajukan seusai pertemuan di PAL, Habibie juga sempat menjawab) Aduh. Maksudnya merangkul itu apa, sih? Saya jadi bingung. Kalian harus tahu, mereka itu pejuang. Mereka itu Angkatan 45 dan punya peran dalam sejarah perjuangan bangsa. Tanpa mereka, Saudara nggak bisa jadi wartawan kayak gini. Saya juga nggak bakalan jadi Menristek. Entah jadi tukang batu atau guru SD. Persoalannya, yang Anda undang itu selama ini dikenal Pemerintah sebagai kelompok disiden .... Nah, soalnya begitu, kan? Pak Ali itu ketemu saya. Dan secara spontan Pak Ali saya undang. ''Pak Ali, ayo dong, sekali-sekali ke PAL.'' Ini terjadi waktu kami Lebaran di rumah Pak Nasution. Itu undangan untuk Bang Ali. Tapi yang datang kan juga anggota Petisi 50 lainnya? Lo, Kalau sudah setuju begitu, kawan-kawannya boleh saja, dong, ikut. Jadi, tak ada masalah walau selama ini mereka dianggap disiden? Bukan. Bahwa yang kemudian hadir khusus Pak Ali dan kawan-kawannya kan nggak ada soal. Toh, yang hadir tak cuma mereka. Lihat itu Pak Mitro, Pak Wiyogo, Hasnan Habib, Pak Domo, ha-ha-ha .... Kan nggak ada masalah? Apa yang Anda harapkan dengan mengundang Petisi 50? Saya tak berharap sesuatu. Sebagai warga negara yang menjunjung tinggi jiwa 45 dan membenarkan bahwa jiwa 45 itu hidup seribu tahun, saya akan berusaha menghidupkan itu secara ilmiah. Saya mengundang juga tanpa perhitungan politik. Dan Pak Harto sungguh mengerti maksud Anda? Wah, dalam hal itu Pak Harto sebagai seorang pejuang, sebagai seorang tokoh 45, dengan kawan seperjuangan tiap anggota Angkatan 45, tentunya tak mempersoalkan masalah itu. Dalam melaksanakan hal ini, ya, saya rasa Pak Harto sungguh bijaksana. Ide mengundang ini dari siapa? Dari Pak Harto sendiri? Ah, nggak. Terus terang saja, saya kan ketemu Pak Ali Sadikin di rumah Pak Nasution sewaktu Lebaran. Di situ, Pak Ali bilang, eh Habibie itu di surat kabar PT PAL dikritik. Saya bilang, saya belum baca. Benar nggak tuh? Ah, nggak benar, jawab saya. Beliau bilang, kalau tak benar harus di-counter. Wah, ternyata Pak Ali punya interes juga. Terus dia juga bilang, apa saya boleh sekali-sekali melihat hasil-hasilnya. Saya bilang, kenapa tak boleh. Bagi saya, tak ada masalah. Nah dialog dan pertemuan itu saya jelaskan pada Pak Harto. Dan kata Bapaknya, ya, ya ..., tak ada masalah. Dia punya hak untuk mengetahui, kata Pak Harto pada saya. Saya berani bilang ke Pak Ali karena saya tahu Pak Harto punya jiwa besar. Dia memimpin bukan saja orang-orang yang menyukainya, tapi juga orang-orang yang mungkin tak suka. Karena itu, banyak yang menyebut Anda sebagai supermenteri, serba bisa. (Menjawab dengan nada tinggi) Saya bukan supermenteri! Tidak sama sekali! Saya bilang ke istri saya, saya ngiri pada orang yang bisa santai dan menikmati hidup. Kapan saya bisa? Kalau menuruti kata hati, ya, ingin juga. Saya memikirkan tak hanya diri sendiri dan keluarga, tapi juga orang banyak. Ya, kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini