GEMPA bumi sempat mengguncang Maumere akhir tahun lalu. Dan ''guncangan'' serupa muncul dua bulan lalu walau bukan dari perut bumi asalnya. Deru sebuah truk warna hijau tua memecah kesunyian Kampung Kabor, tak jauh dari Pelabuhan Maumere. Dari kendaraan itu berloncatan puluhan pemuda berbadan tegap. Penduduk pun kian tercekam ketika terdengar seruan, ''Yang berani melawan, keluar,'' dan dua letusan tembakan. Beberapa orang yang makan di warung berlarian. Para penyerbu dengan sigap mengobrak-abrik warung. Di sela amukan itu, terdengar bentakan, ''Mana itu geng Kampung Kabor.'' Amuk penyerbu lantas menyapu jalan. Dengan pisau sangkur di tangan, mereka melabrak semua orang yang kebetulan lewat. Salah satunya Didimus Dinong. Pemuda asli Maumere ini dihajar dengan pukulan dan sambaran senjata tajam ke arah matanya. ''Kalau saya tak mengelak, mata saya sudah tercukil,'' kata Didimus. Puncak drama amukan terjadi pada Abdullah Fata, awak kapal asal Larantuka yang sore itu berada di perempatan desa. Seorang saksi mata yang mengintip dari balik jendela masih mendengar teriakan pemuda kerempeng ini. ''Bukan saya. Saya anak kapal,'' seru Abdullah menghardik. Namun, belasan sangkur terus saja menghunjami perutnya. Penduduk kemudian menemukan Abdullah tewas tersampir di tembok kota. Para pengamuk pun meneruskan aksinya ke arah pelabuhan. Mereka melabrak Kampung Kotauneng, di dekat pantai. Dua orang penjaga koperasi luka-luka, dan rumah seorang bidan diacak-acak. Amukan baru reda, menurut penduduk yang menyaksikan, setelah terdengar teriakan: ''Cepat, sebentar lagi apel.'' Pengamuk pun cepat- cepat lenyap ke arah barat kota. Adapun korban yang jatuh, menurut seorang saksi mata, hanya ada satu mayat dan delapan orang luka-luka terbaring di rumah sakit. Dan berita ini baru terungkap ke permukaan setelah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengirimkan surat ke pejabat keamanan di Jakarta, Senin pekan ini. ''Kami minta agar aparat keamanan segera mengusut secara hukum,'' kata Luhut M. Pangaribuan, Penjabat Wakil Direktur Internal YLBHI. Di Maumere juga ada desakan serupa lewat tokoh masyarakat setempat. Romo Amros Tasso, wakil uskup wilayah Maumere, misalnya, menerima banyak pengaduan dari masyarakat. Mereka memberitahukan bahwa peristiwa malam itu bukan sekadar konflik antargeng. Ada yang melaporkan bahwa penyerbu adalah oknum aparat keamanan yang kebetulan sedang bertugas di sana untuk membantu korban gempa bumi. Namun, menurut Romo Amros kepada TEMPO, insiden malam itu sekadar puncak serentetan perselisihan kecil hari-hari sebelumnya. Pihak ABRI tentu membantah tuduhan ada anggota yang terlibat. ''Itu hanya perkelahian antarkampung,'' kata Brigjen Syarwan Hamid, Kepala Pusat Penerangan ABRI di Jakarta. Namun, Kepala Penerangan Kodam Udayana Kolonel Anton Tompodung membenarkan adanya silang-selisih antara oknum ABRI dan pemuda setempat. Katanya, insiden itu diawali oleh bersikerasnya sekelompok pemuda yang suka teler dan berandalan mau ikut pesta Lebaran yang diselenggarakan anggota ABRI. Bagi Anton, persoalan itu sudah selesai. Dalam pertemuan antara pemda, ABRI, dan masyarakat sehari setelah kejadian, disepakati bahwa biaya perawatan dan penguburan korban ditanggung pemerintah daerah. Tapi itu dirasa belum cukup. Menurut Bupati Sikka Alex Idong, perkelahian masal ini tengah diusut. Bahwa sampai kini belum ada hasilnya, itu karena ''kami perlu waktu ....'' Dwi Setyo Irawanto dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini