Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocah laki-laki itu mengamati tape recorder di atas meja. Tangannya terjulur dan meraih alat perekam itu. Jarinya mulai bergerilya. Pencet sana, pencet sini, penuh rasa ingin tahu. Tape ini sebenarnya digunakan Tempo untuk merekam wawancara dengannya. Alih-alih sebagai alat bantu, benda tadi malah jadi bahan ”eksperimen” sang bocah.
Dialah Tobi Moektijono, siswa kelas 6 Sekolah Dasar Santa Maria, Jakarta. Dua pekan lalu, ia meraih medali emas dalam Olimpiade Matematika dan Sains Internasional (International Mathematics and Science Olympiad [IMSO]) tingkat Sekolah Dasar 2005. Tobi mengalahkan para pesaingnya setelah meraih nilai tertinggi dan mendapat predikat terbaik untuk teori matematika.
Diikuti 12 negara, perhelatan internasional itu digelar pada 14-19 November di Jakarta. Indonesia merebut 3 emas, 8 perak, dan 7 perunggu. Selain Tobi, emas disumbang oleh Harun Reza Sugito (SDK II BPK Penabur, Jakarta), dan Restiana Ramdani (SD Vidatra, Bontang) dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Andhika Tangguh Pradana (SD Al-Azhar 17 Bintaro, Banten) juga merebut gelar terbaik untuk teori IPA. Tapi dia hanya meraih perak karena nilai eksperimennya tidak terlalu bagus.
Predikat The Best Overall untuk dua mata pelajaran, matematika dan IPA, direbut wakil dari Singapura. Adapun predikat terbaik untuk eksplorasi matematika diraih wakil dari Taiwan. Predikat terbaik eksperimen IPA direbut oleh peserta dari Brunei Darussalam.
Sambil mengisahkan prestasi yang baru diraih, Tobi tetap sibuk dengan alat perekam. Kadang-kadang, sambil berbicara dia menempelkan mulutnya ke mikrofon yang ada di tape. Sekali-kali bocah itu menutup mikrofon dengan tangannya seolah ingin tahu apa yang akan terjadi setelah dia melakukan itu.
Begitulah Tobi, bocah berotak encer dengan sifat kekanak-kanakannya. Keingintahuan pada hal-hal baru sering diterjemahkan sebagai kenakalan oleh orang dewasa. ”Anak-anak seperti Tobi harus mendapat pengarahan agar keingintahuan mereka tersalurkan dengan benar,” kata Elvira, Koordinator Program Olimpiade dari Departemen Pendidikan Nasional.
Tahun lalu, Elvira punya pengalaman menarik tentang tingkah anak-anak berotak cemerlang. Ketika masa pembinaan, peserta kompetisi ditempatkan di satu hotel di Jakarta. Di masing-masing kamar ada kulkas kecil (mini bar) yang berisi minuman keras. ”Jadi, kulkas saya kunci,” kata dia.
Suatu hari, Elvira kaget ketika menemukan kulkas di salah satu kamar sudah terbuka. Ternyata ada anak yang mampu membuka kunci pintu kulkas dengan menggunakan paku.
Di lain hari, anak-anak itu bermain-main di lift. Dengan menggunakan kunci kamar yang mirip kartu ATM mereka mengoperasikan lift sesuka hati. Entah bagaimana caranya mereka bisa mengendalikan naik-turunnya sebagaimana yang mereka kehendaki. Tentu saja, ulah mereka ini mengganggu penghuni hotel lain. ”Tidak terpikir oleh kami bahwa mereka bisa melakukan itu,” katanya.
Itu sebabnya, Elvira kini lebih berhati-hati menghadapi anak-anak yang dia juluki sebagai MacGyver cilik itu. ”Mereka jenius,” katanya. Nyatanya mereka memang siswa-siswa cerdas yang terbukti lolos dari beberapa tahap seleksi.
Untuk tampil di IMSO, ada dua jalur seleksi yang bisa ditempuh. Jalur pertama dilakukan secara reguler melalui Olimpiade Sains Nasional (OSN); yang kedua melalui jalur pemantauan dinas pendidikan wilayah masing-masing.
Seleksi jalur pertama dilakukan mulai dari gugus, kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Di olimpiade nasional hanya dipilih lima peserta terbaik dari masing-masing mata pelajaran yang akan adu kecerdasan di IMSO.
Jalur kedua menuntut kejelian dinas pendidikan wilayah dalam memantau siswa-siswa berbakat. Untuk IMSO tahun ini pemantauan sudah dilakukan sejak Mei lalu. Dari hasil pemantauan itu diperoleh 987 anak untuk bidang IPA dan 986 untuk matematika. Setelah diseleksi lebih lanjut, jumlah tadi menyusut menjadi 47 nama untuk matematika dan 48 untuk IPA. Mereka dibawa ke Jakarta untuk mengikuti tahap pembinaan.
Lewat tujuh kali masa pembinaan, diperoleh lima siswa terbaik untuk masing-masing mata pelajaran. ”Mereka bergabung dengan kawan-kawan terbaik di OSN. Jadi, kami punya 10 terbaik untuk matematika dan 10 untuk IPA,” kata Elvira.
Siswa-siswa terbaik ini bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki mental kuat dan semangat juang tinggi. Mereka yang gugur pada tahap pembinaan di Jakarta umumnya karena tidak bisa jauh-jauh dari rumah. Sebab, pada masa pembinaan itu mereka jauh dari orang tua dan dilatih untuk mandiri.
Soal-soal yang dihadapi di arena olimpiade pun sebenarnya sederhana. Selama ini ada pandangan keliru yang mengatakan bahwa soal-soal di IMSO diambil dari kurikulum Sekolah Menengah Pertama (SMP). ”Padahal tidak begitu” ujar Elvira. Soal itu dibuat berdasarkan kurikulum sekolah dasar, tapi materinya disamakan dengan kurikulum internasional.
Kesulitan akan muncul jika peserta kurang memiliki kreativitas. Soalnya, sebagian besar materi yang disajikan digunakan untuk mengukur daya kreativitas dan daya kritis peserta. Mereka mesti bisa menjawab masalah yang diajukan tidak hanya melalui satu cara.
Tobi sendiri menilai soal yang dia hadapi di olimpiade lebih mudah dibanding pelajaran di sekolah. ”Kalau di olimpiade lebih banyak logika, saya suka. Kalau di sekolah lebih banyak angka,” katanya.
Dia memang suka permainan logika. Tobi sering mengumpulkan soal-soal matematika dari internet, khususnya yang mengandalkan logika. Sebelum mengikuti IMSO, anak pasangan Heruprajogo Moektijono dan Grace Oviana Suryadi ini sudah beberapa kali mengikuti kegiatan serupa. Dia pernah meraih gelar juara dalam Kompetisi Matematika Tingkat Sekolah Dasar Se-Jabotabek dan meraih perunggu dalam Kontes Matematika Sekolah Dasar di Filipina.
Tobi termasuk pelajar sekolah dasar dengan jadwal kegiatan padat. Di luar jam sekolah dia mengambil kursus bahasa Inggris, Mandarin, dan piano yang ditekuni sejak kecil. Sisanya waktunya dihabiskan untuk membaca buku yang berhubungan dengan genetika. ”Saya suka buku kartun genetika,” kata bocah yang memang bercita-cita menjadi ahli genetika itu.
Lain lagi Restiana. Peraih medali emas untuk bidang IPA ini lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca komik serial Detektif Conan dan menonton televisi. ”Belajar kalau lagi kepingin saja,” kata siswa kelas VI Sekolah Dasar Vidatra, Bontang, Kalimantan Timur, ini.
Pendapat Restiana tentang soal-soal di IMSO juga berbeda. ”Soalnya lebih sulit dibanding soal-soal di sekolah,” katanya. Ada beberapa soal yang terpaksa dia tinggalkan karena memang dia tidak bisa mengerjakannya. Apalagi penyajiannya dalam bahasa Inggris.
Tobi dan Restiana pantas bangga mendapat kesempatan mengukir prestasi di IMSO. Soalnya, masih banyak anak-anak cerdas di daerah lain yang belum memperoleh kesempatan. ”Kami yakin masih banyak bibit-bibit baru yang belum ditemukan,” kata Elvira. Karena itu, dia berharap seleksi tahun depan bisa diikuti oleh semua siswa di 30 provinsi. ”Kalau anggarannya ada, kenapa tidak?” katanya.
Suseno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo