Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan hubungan militer Indonesia dan Amerika Serikat menjadi berita besar pekan ini. Penyebabnya adalah keputusan Presiden Bush untuk mencabut embargo pengadaan perangkat militer terhadap TNI. Kebijakan ini sebenarnya sudah lama ingin dilakukan pihak eksekutif di Washington, namun baru dapat direalisasi setelah melunaknya sikap kongres melalui amendemen undang-undang bantuan militer.
Pencabutan embargo ini, yang didahului dengan pemulihan kembali program pendidikan personel TNI di Negeri Abang Sam, merupakan langkah yang tepat kendati terasa agak lambat. Persoalannya, kebijakan embargo yang dipicu oleh pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia di Timor Leste pada 1999 dan penembakan warga Amerika di Timika pada 2003 itu memang kurang tepat sejak awal. Wujud embargo ini terlalu umum sehingga ada kesan menjatuhkan hukuman secara kolektif atas ulah sekelompok anggota TNI. Akibatnya, upaya reformasi sektor keamanan di Indonesia justru terhambat.
Pemutusan program pendidikan, misalnya, menyebabkan banyak perwira muda TNI kehilangan kesempatan untuk mengembangkan wawasan di negara demokratis yang menjalankan prinsip supremasi sipil. Padahal, perluasan wawasan ini dibutuhkan untuk menciptakan perwira TNI yang lebih percaya diri dalam mendukung proses demokratisasi maupun globalisasi, dua gejala yang sedang berlangsung di Indonesia sejak era reformasi bergulir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, adalah alumnus pendidikan militer di AS, yang kemudian dikenal giat terlibat dalam pembuatan cetak biru reformasi TNI bahkan sejak era Orde Baru. Pendidikan yang turut memberi andil membekali suksesnya sebagai salah satu pemimpin pasukan perdamaian PBB di daerah konflik Yugoslavia. Pengalaman yang kemudian membuat dirinya lebih terbuka dan percaya diri atas pelibatan pengamat asing dalam proses perdamaian di Aceh.
Sikap ini didukung oleh panglima TNI yang memang punya pengalaman pendidikan yang mirip. Jenderal Endriartono Sutarto adalah alumnus sekolah staf militer di Inggris dan pernah menjalankan tugas secara gemilang sebagai salah satu pemimpin pasukan perdamaian PBB di perbatasan Irak ketika masih berpangkat letnan kolonel. Ia, misalnya, mengembangkan teknik patroli yang kemudian dijadikan salah satu standar pasukan berhelmet biru dalam melakukan tugas perdamaian di berbagai penjuru dunia.
Kebijakan Jenderal Sutarto melibatkan petugas FBI dalam penyelidikan kasus pembunuhan warga AS di Timika juga tak mungkin lahir jika ia tak punya sikap terbuka dan rasa percaya diri yang tinggi dalam menghadapi dunia internasional. Sikap yang juga tampak ketika ia menerima dan mengendalikan bantuan militer asing saat terjadi musibah tsunami di Aceh, yang antara lain membuat citra TNI menjadi kinclong di mata dunia.
Kesempatan mengembangkan sikap terbuka terhadap demokratisasi dan globalisasi ini sempat terbuang oleh kebijakan embargo militer yang dilakukan secara umum sejak 1999. Kini peluang itu telah dibuka kembali dan selayaknya terus diperluas. Tentu, dengan sejumlah pengaman, misalnya dengan memastikan para perwira yang punya catatan buruk soal hak asasi manusia tidak disertakan, bahkan seharusnya disidik secara serius atau minimal dipensiun dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo