Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) diyakini berasal dari Timur Tengah. Kebiasaan yang lekat dengan Hari Raya Idul Fitri itu diadopsi oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Lambat laun tradisi itu mendatangkan kebiasaan lainnya, yaitu penukaran uang lama menjadi uang baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Antropolog Universitas Airlangga (Unair), Djoko Adi Prasetyo, menyebut THR sebagai salah satu bentuk akulturasi budaya yang berkembang di Indonesia. “Tradisi THR kemungkinan adalah pengejawantahan bentuk sedekah sesuai ajaran Islam,” katanya melalui keterangan resmi yang diterima Tempo pada Senin, 1 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Catatan sejarah mengenai Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-16 hingga ke-18 juga menunjukkan adanya sejarah tradisi THR menjelang hari besar. Para raja dan bangsawan terbiasa memberikan uang baru saat Idul Fitri sebagai hadiah kepada anak-anak para pengikutnya.
“Sebagai bentuk rasa syukur atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan ibadah puasa selama sebulan penuh,” kata Djoko
Budaya THR kemudian berkembang menjadi aturan resmi pada awal 1950, persisnya di era kabinet Soekiman Wirjosandjojo, Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi. Salah satu program kerja yang diusung pemerintah saat itu adalah kesejahteraan para pegawai dan aparatur negara—kala itu disebut pamong pradja atau PNS. Ide pemberian tunjangan itu sempat mendapat pro dan kontra.
Skema THR Non Tunai
Menjelang Lebaran 2024, budaya THR terus berlanjut. Namun, metodenya juga semakin bervariasi. Di era digital, THR bisa diberikan secara non tunai, umumnya berupa saldo pada dompet digital.
Menurut Djoko, fenomena pemakaian uang elektronik untuk THR tidak akan melunturkan tradisi yang dibangun. Hingga saat ini, dia meneruskan, masyarakat masih mempertahankan tradisi pemberian uang baru sebagai simbol kasih sayang dan persaudaraan bagi keluarga dan kerabat. Namun, dia mengakui bahwa sebuah budaya tidak akan abadi tanpa dukungan masyarakay.
“Bila masyarakat pendukung budaya tersebut sudah tidak mendukung lagi, maka budaya itu akan terkikis dan bahkan musnah,” ujarnya.