Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kepala BPIP: Dalam Berbangsa, Geser Kitab Suci ke Konstitusi

Ketua BPIP mengatakan imbauan itu bukan berarti merendahkan agama. Sebab, kitab suci dan konstitusi adalah perpaduan antara ilahi dan wadhi.

14 Februari 2020 | 07.38 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yudian Wahyudi melambaikan tangan dilantik sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 5 Februari 2020. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengimbau semua umat beragama untuk menempatkan konstitusi di atas kitab suci dalam berbangsa dan bernegara. Adapun untuk urusan beragama, kembali ke masing-masing pribadi masyarakat.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya mengimbau kepada orang Islam, mulai bergeser dari kitab suci ke konstitusi kalau dalam berbangsa dan bernegara. Sama, semua agama. Jadi kalau bahasa hari ini, konstitusi di atas kitab suci. Itu fakta sosial politik,” kata Yudian saat ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudian mengatakan, imbauan itu bukan berarti merendahkan agama. Sebab, kitab suci dan konstitusi merupakan perpaduan antara ilahi dan wadhi yang diselesaikan dengan kesepakatan atau ijma. Menurut dia, hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik bukanlah kitab suci. “Kalau Islam, bukan Quran dan hadist dalam kitab, tapi adalah konsensus atau ijma,” ujarnya.

Rektor UIN Sunan Kalijaga ini mencontohkan perintah menunaikan ibadah haji yang merupakan bagian dari ilahi. Sumber dan tujuan menunaikan ibadah haji dijelaskan dalam Al Quran. Namun, bagaimana calon jemaah memilih kendaraan, anggaran naik haji, dan waktu keberangkatan merupakan bagian dari wadhi. 

Pancasila, kata Yudian, sebetulnya merupakan anugerah terbesar Allah SWT kepada sejarah abad 20. Jika bangsa Indonesia tidak pandai bersyukur atas nikmat itu, negara akan hancur. Karena itu, ia mengajak masyarakat untuk mensyukurinya dengan kembali ke persatuan dan konsensus tertinggi, yaitu Pancasila. “Tanpa persatuan, maka tidak ada republik ini.”

Menurut Ketua BPIP, persatuan di Indonesia sudah dimulai sejak munculnya Sumpah Pemuda yang menggeser gerakan seporadis menjadi gerakan nasional. Meski isi sumpah tersebut berupa kalimat pendek, namun mampu mengalahkan penjajah. “Sehingga 17 tahun kemudian kita punya negara sebesar ini. Ini maksud saya harus disyukuri. Nah sekarang kita harus kembali ke konsensus.”

 

 

 

Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus