Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kereta Api Cepat itu Tak Terhadang

Ketetapan tentang kursi ABRI di DPR lolos juga. Gelombang gugatan menolak hasil itu makin dahsyat dan memakan korban jiwa.

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Harga Sidang Istimewa ternyata bukan cuma Rp 20 miliar. Tapi juga belasan nyawa mahasiswa. Setelah militer dengan brutal memberondong ribuan mahasiswa yang mencoba merangsek ke Senayan untuk menolak SI. Ketika tanda-tanda pengukuhan kursi ABRI di DPR terlihat sudah tak tertahankan lagi.

Sejak hari pertama, suasana persidangan memang jauh berbeda dibandingkan dengan sidang-sidang umum lalu. Dan menggelikan. Fraksi-fraksi yang dulu berlomba-lomba melegitimasi rezim Orde Baru sekarang bersaing menjadi yang paling reformis. Lihat saja yang terjadi pada pemandangan umum, Selasa lalu. Fraksi Utusan Daerah (FUD), yang mendapat giliran pertama, langsung menggebrak. Nadanya galak menghujat kebobrokan pemerintahan era Soeharto.

Kontan Fraksi Karya Pembangunan (FKP) belingsatan. Rapat intern fraksi Beringin di Ruang Graha Karana pada Selasa malam lalu berlangsung ramai sampai pukul dua dini hari. Draf ke-12 yang sudah disiapkan dinilai terlalu lembek. Menurut seorang anggota FKP, dimotori Fahmi Idris dan Ekky Syachrudin, rancangan pandangan umum itu lalu diobrak-abrik. Fahmi menyatakan, "Kita sudah mendekati kehancuran kalau bersikap seperti ini. FUD saja, yang anggotanya banyak terlibat KKN, berani bersuara seperti itu." Rupanya malam itu terjadi perdebatan tajam, antara kelompok yang dalam istilah seorang sumber disebut sebagai kelompok pro dan anti-Golkar minta maaf. Perumusan berlangsung hingga pukul lima subuh. Menurut salah seorang anggota tim, Parni Hadi, ada beberapa hal yang dirombak total, di antaranya: pencantuman nama Soeharto dalam hal pengusutan KKN dan statemen bahwa kursi ABRI di DPR bersifat sementara.

Persidangan komisi dipaksa mengekor gugatan yang diteriakkan dari luar gedung, yaitu gusur kursi ABRI di DPR, adili Soeharto, cabut asas tunggal Pancasila, dan percepat pemilu. Lima komisi yang membahas 12 rancangan ketetapan (rantap) hasil Badan Pekerja MPR hampir berlangsung mulus. Beberapa ketentuan yang dulu diharamkan kini ramai-ramai diamini. Misalnya pembatasan masa jabatan presiden dua periode baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Begitu pula asas pemilu yang jujur dan adil serta penyelenggaraannya di hari libur atau hari yang diliburkan.

Riak kecil sempat terjadi di komisi C, khususnya dalam hal pengusutan kekayaan Soeharto. Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menuntut agar hal tersebut dijadikan ketetapan tersendiri. Tapi fraksi lain, terutama FKP, bersikukuh hal itu cukup dimasukkan dalam Rantap Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Semula nama Soeharto bahkan tidak disebut. Akhirnya, kompromi dapat dicapai. FPP menyetujui usul FKP dengan syarat nama Soeharto tegas-tegas dicantumkan, bahkan kemudian diperluas dengan memasukkan konglomerat, pejabat, dan mantan pejabat yang diduga korup.

Tuntutan pencabutan asas tunggal Pancasila pun kemudian disepakati diakomodasi, dengan membubuhkan klausul dalam Ketetapan tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan, "Menghormati keberagaman asas, aspirasi, organisasi sosial, dan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Pancasila."

Di komisi D juga sempat terjadi selisih pendapat, yaitu saat membahas Rantap tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Yang jadi soal adalah usulan FPP untuk mencantumkan kata "pribumi". Maksudnya untuk menegaskan keberpihakan ekonomi pada kaum bumiputra. Hal ini ditolak fraksi-fraksi lain. James Riady, Fahmi Idris, dan Iman Taufik dari FKP beberapa kali melakukan interupsi. Intinya, mereka menolak hal itu karena berbau diskriminasi. Hal senada disuarakan FABRI. Toh, akhirnya, FPP bisa menerimanya. "Yang terpenting bagaimana kita memberdayakan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi," kata Fadel Muhammad dari FKP--orang yang dianggap mengonsepkan soal bumiputra tadi.

"Pertempuran" sesungguhnya terjadi di komisi A. Di komisi keras inilah perdebatan sengit terjadi di seputar rantap pemilu. Biangnya siapa lagi kalau bukan fraksi Bintang, yang jauh-jauh hari sebelum SI digelar sudah pasang harga mati. Mereka habis-habisan berupaya mencoret pasal 6, yang menjadi koridor bagi militer untuk duduk di kursi parlemen. Pasalnya, menurut FPP, hal itu inkonstitusional. Sebab setiap anggota DPR harus dipilih, bukan diangkat. Tapi FKP tak kalah sengit. "Tak ada satu pasal pun di UUD 1945 yang melarangnya," ujar Wakil Ketua FKP Rully Chairul Azwar.

Tak mempan, jurus lain dimainkan. Menurut pengakuan Ketua FPP MPR Faisal Basiir kepada Edy Budiyarso dari TEMPO, Ketua DPP Golkar Akbar Tandjung dan Ketua FABRI Letjen Susilo Bambang Yudhoyono gencar melobi untuk menjinakkan "keliaran" fraksi ini. "Kita selamatkan SI ini tanpa ada masalah kursi ABRI di DPR," bujuk Bambang seperti diutarakan Faisal. FKP pun mencoba menawar dengan mencantumkan klausul pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR secara bertahap. "Kereta api kencang bagaimana mau disetop mendadak," kata Ketua FKP MPR Marzuki Darusman kepada Arief Kuswardono dari TEMPO. "Sikap ABRI cukup jelas, peran sospol akan disusutkan secara sistematis," kata Jenderal Bambang tanpa merinci lebih jauh apakah kursi ABRI di DPR suatu saat kelak akan mencapai angka nol.

Tapi rupanya tekad FPP sudah hitam putih: sekarang atau tidak sama sekali. Ujung-ujungnya, setelah perdebatan tak berkesudahan bagaimana voting harus dilakukan, mereka pun hengkang dari persidangan. Sikap keras itu mengherankan pemimpin komisi A, Marwah Daud Ibrahim. Menurut dia, sudah ada usul untuk memindahkan persoalan tersebut saat pembahasan UU politik. "Tapi mereka mengatakan itu cuma menunda waktu karena perdebatannya toh akan sama saja," katanya letih.

Persoalan ternyata juga timbul di tubuh FPP sendiri. Menurut Faisal, di kalangan yang muda sudah satu kata untuk walk out. Bahkan, menurut seorang sumber, hampir 90 persen anggota FPP punya niat seperti itu. "Sementara kalangan tua seperti Buya dan Tosari Wijaya ingin mencegahnya, untuk menghindarkan sakit hati ABRI kepada FPP," kata Faisal lagi.

Singkat kata, akhirnya fraksi Bintang kalah telak dalam pemungutan suara di Sidang Paripurna III, yang riuh didukung sorak-sorai "fraksi wartawan" yang tengah meliput. Meski di luar perkiraan, muncul dua suara yang menyeberang dari FUD, plus sikap abstain dari dua orang FUD dan satu orang dari FKP, Didik J. Rachbini. Adalah Hajah Nur Dahni Ibrahim, 52 tahun, yang memelopori "pembangkangan" itu. "Saya rasa itu yang diinginkan oleh rakyat Indonesia pada era reformasi ini," kata ibu rumah tangga yang juga fungsionaris PPP Aceh itu menjelaskan latar belakang sikapnya.

Toh, itu tak cukup menahan suara mayoritas yang masih ingin mempertahankan keberadaan kalangan "militer Senayan". Akhirnya, rantap pemilu itu pun melenggang menjadi ketetapan.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana mengawasi kaitan antara ketetapan pemilu tersebut dan RUU politik rumusan FKP, yang sudah pasti akan sangat menentukan aturan main pemilu mendatang. Apalagi jika parpol baru tidak juga dilibatkan dalam pembahasannya. Diam-diam, rancangannya ternyata sudah rampung Sabtu dua pekan lalu. Abu Hasan Sazili, ketua tim RUU politik FKP, membenarkannya. "Draf tersebut memang sudah final, tinggal dimasukkan ke panitia khusus," katanya. Tapi ketetapan yang memang diplot menjadi "payung" UU politik itu memendam berbagai persoalan, karena ternyata dalam beberapa hal jauh lebih ketat daripada draf Tim Tujuh Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

Pada pasal 3 ketetapan pemilu dinyatakan bahwa parpol peserta pemilu adalah yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur UU. Sedangkan RUU politik versi FKP ternyata merumuskan prasyarat yang amat ketat, yaitu memiliki cabang sedikitnya di 14 provinsi dan lebih dari setengah daerah tingkat II. Alternatif kriteria lain di draf Depdagri, satu juta tanda tangan, dicoret. Padahal itu pun sudah ramai disoalkan karena terlalu menyulitkan parpol baru.

Sedangkan penyelenggaranya, yang tetap disebut Lembaga Pemilihan Umum, masih juga dinyatakan bertanggung jawab kepada presiden dan dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Ini sami mawon dengan draf Depdagri, meski memang lebih maju dalam hal komposisi keanggotaannya, yaitu satu orang unsur pemerintah dan masing-masing satu orang wakil parpol. Sedangkan dalam draf Depdagri, unsur pemerintah berjumlah lima orang.

Adapun jumlah kursi ABRI di DPR RI telah ditetapkan 25 orang (5 persen dari 500 anggota DPR RI)--lebih sedikit dibandingkan dengan jatah yang disediakan draf Depdagri, sebanyak 55 kursi. Sedangkan untuk DPRD I dan DPRD II, kursi militer diplot 10 persen dari jumlah anggota DPRD I, yang berkisar 45-100 orang, dan 20-45 orang untuk DPRD II.

Sidang yang teramat istimewa itu sudah tutup layar. Tapi persoalan jauh dari selesai. Setelah tragedi Semanggi, dan mahasiswa menolak hasil SI dan bersumpah melanjutkan perlawanan, bagaimana B.J. Habibie akan melangkah?

Karaniya Dharmasaputra, Ali Nur Yasin, Darmawan Sepriyossa, Hani Pudjiarti, Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum