Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Malam itu, Yuliati bersama dengan suaminya berjalan dalam rombongan massa dan mahasiswa yang berkerumun di depan kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Ketika konflik antara mahasiswa dan aparat berkembang menjadi bentrok fisik, pasangan itu berusaha berlindung. Malang, mereka kepergok aparat dan Rozali ditodong senjata. Lelaki bertubuh gemuk itu mengangkat tangan sambil meminta ampun. Melihat suaminya terancam, Yuliati berusaha melindungi dengan menyorongkan badannya ke depan Rozali. Tapi tentara itu rupanya tak peduli bahwa ia hanya makhluk lemah. Popor senapan tiba-tiba menghantam kepalanya. Dengan kepala berlumuran darah, Yuliati ambruk. Ia segera dibawa ke rumah sakit untuk dirawat.
Kekerasan aparat dalam insiden Semanggi Jumat pekan lalu memang tidak mengenal orang. Mahasiswa, karyawan, anak sekolah, pokoknya semua yang tergabung dalam kerumunan massa dan diidentifikasi sebagai pengacau sidang istimewa dilibas habis. Sejak hari pertama sidang, aparat memang mengambil sikap keras. Sikap ini makin mengental ketika Rabu pekan lalu enam prajurit luka-luka karena tertabrak mobil Anas Alamudi, mahasiswa UI. Akibatnya, tiga wartawan foto jadi korban pembalasan mereka.
Perlakuan seperti ini juga yang dialami Mawardi Sukisno dari Buletin Kontras. Jumat itu, ketika sedang berjalan melewati lima orang aparat Pasukan Huru-Hara (PHH) Kodam Jaya, salah seorang di antaranya menembak pahanya. "Saya wartawan, Pak," katanya sambil mengacung-acungkan kartu tanda pengenal. Tapi, ia malah dihujani sabetan pentungan. Untung, beberapa anggota PHH lainnya melarikan Mawardi ke posko pertolongan.
Drama insiden Semanggi dimulai sekitar 15.00. Ketika itu kurang lebih 15.000 mahasiswa dan masyarakat berjalan ke arah Gedung MPR Senayan untuk memprotes soal kursi ABRI di parlemen. Namun mereka tertahan satu SSK (satuan setingkat kompi) aparat keamanan yang terdiri dari unsur Brimob, Kostrad, dan PHH Kodam Jaya. Pukul 15.30 mahasiswa berusaha bernegosiasi dengan aparat, tapi tidak diperoleh kata sepakat. Saat itu, massa yang gerah dengan suasana siang yang tidak teduh mulai berteriak-teriak.
Melihat massa yang mulai marah, aparat bergerak maju dan meledakkan gas air mata. Massa buyar. Aparat kemudian menghalau mereka yang bertahan dengan semprotan air. Puluhan orang yang terdorong semprotan air jatuh terjerembap. Dua puluh menit kemudian, petugas mulai memberondongkan senjata ke arah massa. Tak jelas apakah dengan peluru karet, hampa, atau tajam, walau menurut Kepala Dinas Penerangan Polri, Brigjen Togar Sianipar, tak ada peluru tajam di sana. Suara rentetan peluru dan bau mesiu bergemuruh. Puluhan mahasiswa dan rakyat sipil roboh bergelimangan darah.
Satu dari puluhan korban itu adalah Teddy Mardani, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI). Ironisnya, ayah mahasiswa berambut gondrong ini adalah seorang prajurit Kostrad berpangkat kapten. Hari itu Teddy memang sudah berucap kepada teman-temannya bahwa akan tembus ke DPR. ??Kalau perlu sampai mati,?? kata David, temannya, kepada Iwan S. dari TEMPO. Mahasiswa lainnya, Norma Irmawan, terkapar setelah jantungnya tercabik peluru.
Suasana kacau-balau. Petugas kesehatan dan paling tidak 10 ambulans hilir-mudik menggotong korban yang terluka. Adapun di atas Gedung BRI II setinggi lebih dari 100 meter, sekitar lima belas bayangan orang yang terlihat bagai titik-titik hitam tampak bergerak-gerak. Menurut para mahasiswa, itu adalah penembak jitu yang disiapkan oleh pasukan keamanan.
Pukul 17.30 massa bermunculan lagi setelah sebelumnya suasana agak reda. Di halaman kampus ratusan mahasiswa menggelar salat gaib bagi rekan mereka yang gugur. Tapi di luar muncul lagi ketegangan. Massa yang panik kembali menerobos masuk ke halaman kampus. Sebagian menabrak rekan mereka yang sedang salat.
Pukul 18.40 tembakan kembali terdengar. Kali ini disertai lemparan gas air mata. Massa kocar-kacir. Masyarakat sipil dan mahasiswa yang mencoba berlindung ke Gedung BRI II di seberang Atma Jaya tidak bisa lolos dari serangan aparat. Korban bergelimpangan. Rumah Sakit Jakarta, yang letaknya di belakang Atma Jaya, dipenuhi oleh mereka yang luka-luka. Menjelang tengah malam keadaan kembali tenang.
Adapun di Jalan Jenderal Sudirman mahasiswa berdarah-darah, rombongan mahasiswa lainnya mencoba masuk dari arah Jalan Gatot Subroto. Gelombang massa berjumlah sekitar 20 ribu orang ini bergerak dari Salemba. Dari spanduk-spanduk yang dibentangkan tampak mereka mewakili Keluarga Besar Universitas Indonesia (KBUI), Partai Rakyat Demokratik (PRD), Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), dan beberapa organisasi lainnya. Massa yang mengambil rute Salemba-Kampungmelayu-Casablanca-Kuningan-Gatot Subroto itu sempat tertahan pasukan Marinir di beberapa perempatan. Namun semua bisa "ditembus" tanpa kesulitan yang berarti.
Sampai di depan Mapolda Metro Jaya di Jalan Gatot Subroto, pasukan tertahan Brimob dan Marinir. Kali ini aparat berkeras tidak mau mundur. Begitu pula mahasiswa. Sekitar pukul 19.00 barisan aparat mulai menyapu demonstran. Pasukan berbaris dari sisi Mapolda sampai sisi Hotel Crown di seberang jalan. Lalu perlahan tapi pasti mereka berjalan ke arah massa sambil memberondongkan senapan ke arah muka dan atas. Massa berserabutan menyelamatkan diri. Di depan Gedung Telkom, aparat berhenti. Massa yang berada seratus meter di depannya bertahan dengan duduk dan berdiri. Kondisi saling tunggu ini berlangsung sampai tengah malam.
Blokade menuju Gedung MPR memang terjadi di mana-mana. Di kawasan Jalan Hang Lekir, Kebayoran, aparat mesti berhadapan dengan rombongan mahasiswa dan massa yang menjadikan kampus Universitas dr. Moestopo sebagai basis pertahanan. Seperti di tempat lain, tembakan ke arah mahasiswa juga terjadi. Mahasiswa yang berserabutan bahkan sampai ke gang-gang kecil tak lepas dari pentungan petugas. Namun, dasar mahasiswa, teriakan-teriakan menggalang semangat tetap saja terdengar. "Lawan, lawan, 32 tahun kita dibohongi", "Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan."
Dalam insiden Moestopo ini seorang provokator militer dapat ditangkap mahasiswa. Gusmara Taufan dari Koramil 04/Kebayoran Lama DIM 0504/BS, yang mengenakan pakaian sipil, dipergoki ketika melempar batu ke arah mahasiswa. Tidak jelas apa yang dilakukan mahasiswa terhadap prajurit yang sedang sial itu.
Lalu apa komentar Panglima ABRI terhadap peristiwa "Jumat berdarah" itu? Ketika ditemui wartawan TEMPO Hani Pujiarti seusai sidang istimewa Jumat malam, dengan enteng Pangab Jenderal Wiranto menjawab, "Itu latihan, bukan tembak-tembakan." Sebuah jawaban yang sungguh mengenaskan.
Soal kekerasan ini sebenarnya bukan monopoli aparat. Massa pun sama ganasnya. Dari mayat dua anggota Pam Swakarsa yang dikeroyok massa di Gedung BRI dan Cawang tampaklah mereka mendapat perlakuan yang tak manusiawi. Mayat dari Cawang itu pelipis kanannya hancur bekas hantaman benda tumpul. Kedua matanya remuk, adapun mukanya yang berlumuran darah hampir tak berbentuk. Pada mulut korban tertancap kayu sepanjang 50 sentimeter. Mayat lelaki itu masih memeluk tongkat kayu dan pada badannya ditemukan serpihan-serpihan uang Rp 20.000-an. Tiga polisi lalu lintas di kawasan Senen, Sabtu lalu, juga babak-belur karena dikepruk massa.
Korban memang telah berjatuhan. Dari jumlah surat otopsi yang dikeluarkan RSCM, sampai Sabtu malam 13 orang telah tewas (menurut YLBHI 14 orang) dan puluhan lainnya luka-luka. Mungkin masih akan bertambah karena beberapa dari ratusan korban yang terluka dalam kondisi koma. Tentu ini bukan korban dari sekadar latihan perang-perangan.
Arif Zulkifli, Hardi R. Hermawan, Dwi Arjanto, Ardy Bramantyo, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo