Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Furkon Digandeng Militer, Nikmat Membawa Sengsara

Pasukan swakarsa bertindak berlebihan. Baku hantam dengan mahasiswa dan massa tak terhindarkan. Pangab Jenderal Wiranto membantah jadi sponsor.

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lohor masih menyisakan terik. Segerombolan anak berusia tanggung baru saja melepas penat. Mereka segera beranjak dari Masjid Istiqlal di pusat kota Jakarta. Tangan kanan menggenggam bambu runcing. Selembar kain putih bertuliskan huruf Arab melingkar di kepala. Laa ilaaha Illallaah. Sederetan truk berjajar rapi. Siap mengangkut ke mana pun mereka pergi. Spanduk putih dibentangkan: PAM Swakarsa SI 98.

Seorang lelaki setengah baya datang menyapa. Sebagian mereka memberi hormat. Peluk cium berhamburan--ada yang berebut mencium tangan. "Asalamualaikum, Pak Haji," sapa sejumlah anak muda. Yang disapa cuma tersenyum tipis, "Sabar, sabar, perjuangan masih panjang." Setelah bertegur-sapa, lelaki itu pun berlalu. Pak Haji lalu membisikkan sesuatu kepada sejumlah tentara berbaret hijau yang "mengawal" iring-iringan truk. Takbir berkumandang, Allaahu Akbar....

Pak Haji lalu bergegas menuju sebuah penginapan di dekat masjid megah itu. "Coba lihat anak-anak muda itu, dari mana mereka makan. Kan kami-kami juga yang mengusahakan?" kata Faisal Biki, pria yang disapa Pak Haji tadi. Faisal memang tokoh berpengaruh di mata "pasukan" belia itu. Ia memimpin Forum Penegak Keadilan dan Konstusi, disingkat Furkon. Tujuan badan bentukan MUI beberapa bulan silam ini jelas dan tak bisa ditawar-tawar: mengamankan dan menyukseskan sidang istimewa (SI).

Rute "perjuangan" lalu diatur: menuju sejumlah titik penting di seputar Senayan, terutama yang dianggap rawan dan menjadi sasaran para demonstran kontra-SI. "Ini jihad demi bela negara," kata salah seorang anggota gerakan yang biasa mangkal di Istiqlal itu. Di sini, bukan saja mereka membuka markas, tapi sekaligus untuk salat, makan, mandi, dan beristirahat seusai berkampanye keliling kota. Pasukan bambu runcing ini juga nongkrong di Gedung Manggala Wanabhakti dan Parkir Timur Senayan.

Bentrok fisik? Itulah yang kemudian terjadi di sejumlah kawasan di Ibu Kota. Mereka siap menjadi "bumper" aparat kala bersitegang dengan ribuan mahasiswa pengunjuk rasa yang berbaur dengan warga masyarakat. Baku hantam, lempar batu, dan saling umpat antar gelombang massa pro dan kontra-sidang istimewa ini meletus di Bendunganhilir, kampus Atma Jaya, Jalan Thamrin, bahkan sampai di Palmerah hingga ujung Jalan Gatot Subroto. Hingga akhir pekan ini, tercatat tiga orang dari Furkon yang tewas akibat baku gebuk

Insiden menegangkan sempat pula terjadi di seputar Tugu Proklamasi. Juga di Taman Ismail Marzuki. "Pasukan Istiqlal" ini harus berantem dengan para mahasiswa dan warga setempat, alih-alih mengadakan tahlilan wafatnya K.H. Hasan Basri, Ketua MUI, Selasa pekan lalu. Tapi buntutnya punya niat menguasai taman di sekitar tugu--yang selama ini jadi ajang orasi dan unjuk rasa mahasiswa. Penduduk yang merasa terganggu dengan kehadiran "Batalyon Al-Ghifari" yang rajin meneriakkan Allahu Akbar ini lalu marah tak ketulungan.

Lima truk bala bantuan batal masuk arena begitu disambut lemparan batu massa. Ratusan pesilat Banten, yang jadi bagian penting barisan tahlil ini, akhirnya dievakuasi petugas antihuru-hara. Tapi malang tak bisa dicegah. Sebuah Kijang yang datang hendak memberi sokongan keburu digulingkan dan dibakar massa. Awaludin, si sopir, dihujani bogem mentah. Mukanya babak-belur saat diserahkan ke LBH. Munir, tokoh Kontras, menemukan bukti: 132 bambu runcing, sebuah samurai, sebatang besi bengkok, ikat kepala, dan sapu tangan. Kabarnya, terselip pula beberapa botol minuman keras.

Siapa pelakunya? Furkon? Faisal Biki membantah. Ia mengaku tak tahu-menahu ihwal Al-Ghifari. Apalagi pasukan Banten yang kabarnya sarat jawara dan pendekar silat itu. "Saya kecewa, kenapa teman-teman tak satu komando," kata pemuka masyarakat Tanjungpriok ini. Tiga telepon genggam yang menyembul dari balik sakunya siap menyambungkan hotline dengan para pejabat penting, termasuk perwira tinggi. Rupanya, Furkon memang tak hanya tunggal, tapi ada sejumlah "furkon" lainnya, yang dikomando beberapa rekan Faisal.

Bukan hanya "brigade" muslim yang memperkuat barisan pengaman sipil ini. Kepolisian Daerah Metro Jaya menyebut, Pemuda Pancasila, Pemuda Pancamarga, FKPPI, dan berbagai organisasi lainnya juga berhimpun dalam pasukan paramiliter yang ikut mengamankan SI. Pemuda Pancasila mengerahkan 7.500 anggota. Mereka bukannya siaga di Senayan, melainkan di sejumlah lokasi strategis dan pemukiman mentereng. Anehnya, "Mereka (swakarsa) kini jadi kekuatan lain bagi mereka yang menentang SI," kata Yapto Suryosumarno, bos Pemuda Pancasila.

Agaknya baru pertama kali inilah pasukan partikelir disiagakan pemerintah sepanjang Republik bikin hajat sidang wakil rakyat. Ada yang berada di bawah koordinasi polisi, ada yang asal nyelonong entah dari mana--namanya saja inisiatif sendiri. Tapi kabarnya ada yang didukung ABRI. Jenis terakhir ini punya ciri khas dan perekat lain: simbol agama (Islam). Maka, Furkon pun merekrut ribuan pemuda dari 45 ormas Islam di seluruh Jabotabek. Puncak kesiapan dan ikrar menuntaskan SI dikumandangkan saat berlangsung Apel Akbar dan Kongres Umat Islam di Jakarta, awal November lalu.

Didukung ABRI? "Ya, sekadar koordinasilah," kata Chalil Badawi, tokoh PPP dan Dewan Dakwah, yang punya kaitan dengan misi Islam ini. Komaruddin Rachmat, dedengkot Furkon lainnya, menyebut "perkawinan" ini sebagai gayung bersambut. ABRI dan gerakan Islam kebetulan bertemu di satu titik: mulusnya SI. Artinya, siap menerjang siapa pun yang menggoyang sidang. Forkot, Barisan Nasional, serta Koalisi Nasional dipandang sebagai "musuh". Padahal agenda besar militer-ormas Islam tak persis seiring. Gerakan Islam selalu berteriak menolak dwifungsi dan kursi militer di Senayan.

Pertautan yang sama ini rupanya berbuntut berkah bagi sebagian orang. Apalagi jika bukan soal duit. Pasukan sipil tentunya butuh biaya operasional. "Saya pastikan bahwa mereka memang dibayar, saya sendiri dapat segini," ujar seorang komandan pasukan Islam, seraya memekarkan kelima jarinya. Lima juta. Setiap orang diberi uang saku sekitar Rp 10 ribu saban hari. Makan tiga kali sehari plus sebungkus rokok--lebih "menjanjikan" ketimbang uang dinas petugas resmi. Seorang komandan ada yang terlihat memanggul duit seransel; ada yang mengepit segepok rupiah dalam tas kecil--selanjutnya dibagi-bagikan kepada semua koordinator lapangan.

Dari mana datangnya fulus? Kabar santer bertiup sejumlah perwira tinggi menjadi mediator. Cantolan dan sponsornya di atas, kabarnya, tertumpu pada sosok Pangab Jenderal Wiranto dan Wakil Ketua DPR Abdul Gafur. "Nggak benar itu. Pangab kok koordinasi begituan. Apa saya sempat? Semuanya dipolitisir ke saya," kata Wiranto. "Itu fitnah," ujar Gafur kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Para tokoh gerakan meradang jika diusut perihal sensitif ini. "Ngapain Anda tak mempersoalkan bantuan dana US$ 26 juta dari Amerika kepada berbagai LSM untuk menggoyang pemerintah?" begitu sang komandan menantang.

Tapi ada info lain yang tak kalah menarik. Soal dana, konon, dikumpulkan dari orang-orang Islam kaya yang pro-status quo. Mereka menilai pemerintahan Habibie masih berada dalam track yang benar. "Ada yang menyumbang Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta," kata Chalil Badawi, mantan anggota DPA. Bisik-bisik lainnya menyinggung sokongan dana keluarga Cendana yang dikirim buat para jawara di Jawa Barat--melalui sebuah ormas Islam. Misinya, agar wakil rakyat yakin, di luaran masih banyak yang selain pro-SI, juga menolak jika muncul keputusan ihwal pengusutan harta kekayaan mantan presiden Soeharto.

Pak Harto tentu saja susah dikonfirmasi. Tapi pernyataan Pangab tentang swakarsa bisa jadi ukuran pemihakan. "Semua yang datang itu ikhlas dan ingin membantu suksesnya sidang, masa mau dihalang-halangi?" katanya. Mendapat angin begini, gerombolan pasukan berbambu (belakangan tak lagi diruncingkan) ini terus saja menyasak sampai menyulut terjadinya peristiwa Semanggi berdarah, Jumat pekan lalu.

Mereka seakan menganggap sepi seruan Ketua MUI K.H. Ali Yafie. Teriakan kelompok Ciganjur--Gus Dur, Amien Rais, Sri Sultan, dan Megawati--yang mendesak mereka "membubarkan diri agar tidak memperkeruh keadaan" juga bak angin lalu. Tragedi nasional pun, yang kita khawatirkan, akhirnya terulang. Tak ada yang pantas berteriak meraih kemenangan. Apalagi kesuksesan. Dengan dalih pembenaran agama sekalipun. Ataukah reformasi memang butuh martir?

Wahyu Muryadi, Hani Pujiarti, Ardi Bramantyo, dan Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus