H.R. Dharsono akhirnya hanya dihukum 7 tahun penjara potong masa tahanan. Keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu diterima Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin pekan ini. Adalah PN Jakarta Pusat, Januari lalu, yang memvonis Dharsono 10 tahun penjara. Bekas Pangm Siliwangi, yang kini berumur 60, itu dinyatakan terbukti bersalah melakukan delik politik, yakni tindak pidana subversi. Ia, yang jua membidani lahirnya Orde Baru, dinilai telah melakukan kontrol sosial dengan cara yang salah. Yakni, dengan gaya demokrasi liberal, yang tidak disalurkan melalui tata cara konstitusional, sehingga membawa dampak negatif bagi persatuan dan kesatuan. Karena itu, dari tuntutan jaksa 15 tahun, hakim kemudian menghukum Dharsono 10 tahun penjara. Dharsono naik banding, juga jaksa. Pengadilan Tinggi, dengan alasan "demi keadilan, serta memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat korektif, preventif, dan edukatif seperti kata Parman Suparman, salah seorang hakim tinggi dan Humas PT Jakarta - akhirnya meringankan hukuman Dharsono menjadi 7 tahun. Tak semua terpidana subversi mendapat keringanan hukuman di tingkat banding. A.M. Fatwa, misalnya, tetap dihukum 18 tahun penjara. Suatu kejutan bagi Dharsono? "Tiap pengurangan hukuman menyenangkan bagi yang bersangkutan," kata Dharsono. "Tetapi, seperti ucapan saya semula, berapa pun ringan vonis - saya akan banding. Sebab, saya tidak merasa bersalah." Luhut Pangaribuan, salah seorang penasihat hukum yang mendampingi Ton - nama panggilan Dharsono - merasa tidak puas dengan keputusan banding yang meringankan itu. "Sebab, tidak cukup bukti Dharsono melakukan tindakan subversi," katanya. Ihwal tidak puas juga dialami jaksa yang menangani perkara bekas Sekjen ASEAN ini. "Tuntutan saya dulu 15 tahun," kata Bob Nasution, yang kini Ketua Pengadilan Tinggi Bengkulu, melalui telepon pada Eko Yuswanto dari TEMPO, Selasa pagi. "Saya akan kasasi," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini