HANYA karena gagal menjadi Kepala Desa Nanggrak, Cianjur, Sersan Mayor Eddy Sampak langsung mata gelap. Lima nyawa melayang akibat tembakan senapan Carl Gustaf Eddy sebuah colt terbakar, dan uang gaji Rp 21 juta ludes. Eddy kemudian diganjar hukuman mati, Juni 1981, akibat perbuatannya itu, tapi berhasil meloloskan dari Rumah Tahanan Militer Cimahi, dan sampai kini belum ketemu. Kalau sekarang, misalnya, Eddy ingin menjadi kepala desa, barangkali ia tak perlu membunuh. Soalnya, kini, keinginan orang menjadi kepala desa sudah tak menggebu gebu lagi. Setidaknya, itu terjadi pada delapan desa di Kecamatan Ciledug, dan enam desa di Kecamatan Weru - semuanya di Kabupaten Cirebon. Buktinya: meski sejak akhir 1984 sudah berulang kali dibuka pendaftaran calon, toh belum ada warga setempat yang mengajukan nama. Maka, di Desa Leuweunggajah, Ciledug, misalnya, terpaksa diangkat lagi orang tua yang sudah berkutat di organisasi pemerintahan terendah itu sejak 1948. "Saya mengisi jabatan kuwu (kepala desa) yang kosong, karena orang lain tak ada yang mau," kata Abdul Aziz, kakek 12 cucu. Ia menduduki jabatan yang sekarang sejak April 1985. Bukan rahasia lagi bahwa kedudukan kepala desa akan mendatangkan sejumlah fasilitas, di samping status, tentunya. Di daerah Cirebon, sebagaimana juga di desa-desa lainnya di Pulau Jawa, sumber keuangan kepala desa adalah tanah titisara, atau biasa disebut bengkok, yang disewakan dan hasilnya untuk biaya desa serta perangkat pejabatnya. "Kini, sumber-sumber keuangan desa itu makin kecil, akibat pemekaran desa. Beberapa desa bahkan tak memiliki tanah titisara lagi," tutur Bupati Cirebon Memet Tohir. Pemekaran desa dilakukan bila dalam kesatuan itu sudah tercakup 2.500 hak pilih. Akibatnya, tanah bengkoknya, sebagai sumber pemasukan uang, ikut terpecah. Di wilayah Cirebon, akibat pemekaran desa dari 294 menjadi 421 desa selama lima tahun terakhir, besar tanah titisara ikut menciut: dari 33,6 ha, tinggal 23,5 ha. Sebelumnya, dari tanah seluas 33,6 ha, sedikitnya kepala desa kebagian 5 ha, yang hasilnya sekitar Rp 62.000 per bulan. Jika di sebuah desa tidak ada tanah titisara maka gaji pejabat desa dicuil dari anggaran Pemda Cirebon. Jatah kades Rp 17.000. Mengapa minat kepala desa jadi turun? Karena santunannya makin kecil ? Itu mungkin salah satu penyebab. Yang pasti, di Cirebon telah terjadi perubahan lapangan pekerjaan. "Separuh penduduk kecamatan ini bekerja di sektor perdagangan dan industri kecil," kata Camat Ciledug, Maman Syarifuddin. ENDUDUK di Kecamatan Weru, yang 70%-90% bekerja sebagai buruh, sekarang merasa lebih bergengsi dari pada menjadi kepala desa. "Keluarga buruh industri kecil bisa mendapatkan Rp 5.000 per hari di sini. Buat apa capek-capek jadi kuwu," kata Camat Weru, Iskukuh H.S. Di Kecamatan Weru, misalnya, ada enam desa tanpa kades. Faktor lain penyebab keengganan menjadi kuwu adalah diperlukannya kantung tebal untuk meraih status itu. Selain dipungut uang pendaftaran Rp 50.000, mereka juga harus mengeluarkan biaya penyelenggaraan sedikitnya Rp 1,7 juta - adakala membengkak sampai Rp 5 juta. Ini disebabkan di Cirebon dikenal tradisi kandangan: mengurung pendukung di rumah calon, yang tentunya harus disuguhi hidangan. "Tampaknya masyarakat di sini sudah berhitung. Daripada uang dihamburkan untuk pencalonan kades, lebih baik mereka pakai sebagai modal usaha," tutur Sekwilda Kabupaten Cirebon, M. Nuhriana Husnadi. Departemen Dalam Negeri melihat masalah kosongnya kursi kepala desa karena faktor lain. Di Cirebon, kata Kepala Biro Humas Departemen Dalam Negeri Feisal Tamin, kebanyakan kepala desa sudah berumur lanjut, sehingga perlu peremajaan. "Kebetulan waktu pemilihan kepala desa baru berdekatan dengan pemilu, sehingga pemilihan kades ditangguhkan," kata Feisal. Bunga Surawijaya Laporan Farid Gaban (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini