Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengatakan ketertutupan Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) Komisi Pemilihan Umum dapat membuka celah praktik kecurangan dalam Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Ketika ada ruang tertutup dalam proses verifikasi politik, maka dapat membuka celah praktik-praktik kecurangan itu,” kata Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers virtual ICW “Jelang Pengumuman Verifikasi Faktual Partai Politik: Tolak Pemilu Curang!” pada Ahad, 11 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Adapun contoh kemungkinan kecurangan yang bisa muncul akibat ketertutupan SIPOL, kata Kurnia, adalah partai politik yang tidak memenuhi syarat berupaya memenuhi syarat dengan cara menyuap penyelenggara pemilu. Kemudian potensi kecurangan kedua adalah munculnya intervensi, misalnya dari struktural penyelanggara pemilu kepada KPU pusat atau daerah untuk meloloskan parpol tertentu, yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi memenuhi syarat.
“Jadi dua hal itu potensi yang sangat besar terjadi jika proses verifikasi faktual ini tidak dilakukan secara terbuka,” ujar Kurnia.
Ia mengatakan banyak celah kecurangan jika melihat logika kedua tersebut. Umpamanya ada intervensi dari komisioner KPU pusat kepada jajaran struktural KPU di daerah. Adapun bentuk ancamannya beragam, misalnya mengancam merotasi pegawai KPU daerah, pengurangan anggaran, atau bahkan ancaman untuk tidak memilih komisioner-komisioner KPU daerah. Seperti diketahui sejumlah provinsi akan menggelar proses pemilihan komisioner KPU pada 2023 dan itu ditentukan oleh KPU pusat.
“Jangan sampai itu terjadi. Ancaman dan lain sebagainya, tentu kita tidak berharap itu terjadi. Maka dari itu KPU harus memastikan proses ini harus berjalan dengan baik,” ujar Kurnia.
Potensi Pelanggaran Hukum
Jika itu terjadi, maka ada potensi pelanggaran hukum dan etika kepada pihak-pihak yang bermain di balik proses verifikasi faktual parpol jika memang dugaan itu benar. Misalnya, apabila ada transaksi uang di balik lolosnya parpol yang sebelumnya tidak memenuhi syarat, pelanggar bisa dijerat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi karena melibatkan unsur penyelenggara secara langsung.
Ada juga pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu yang diatur dalam peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun 2017. Kurnia mengatakan ada banyak pasal yang bisa menjerat penyelenggara pemilu baik pusat dan daerah jika mencoba bermain dalam proses verifikasi faktual parpol.
“Misalnya Pasal 8 huruf a, Pasal 10 huruf a, Pasal 15 huruf d, dan Pasal 19 huruf f, tentang prinsip-prinsip mandiri, adil, profesional dan kepentingan umum,” kata Kurnia.
Ia menuturkan keterbukaan verifikasi faktual ini penting karena besarnya anggaran penyelenggaraan pemilu yang mencapai Rp 76,6 triliun. Maka angka yang sangat besar itu mesti dijawab dengan kerja profesional.
“Tidak hanya profesional tapi juga terbuka. Jangan justru angka besar dijawab dengan ketertutupan. Jangan juga justru memanfaatkan tahapan proses penyelenggaraan pemilu, salah satunya verifikasi faktual partai politik untuk berbuat curang,” kata dia.
Kurnia mengatakan ICW tidak mengharapkan KPU untuk membuka setiap data pribadi karena memang ada Undang-undang Perlindungan Data Pribadi. Namun ICW memberi perhatian pada proses perkembangannya yang tidak bisa diakses masyarakat.
“Kalau berbicara perkembangan bagaimana proses verifikasi faktual parpol, saya rasa itu tidak bertentangan dengan informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik,” kata dia.
Selain itu, KPU bisa membuka informasi proses verifikasi faktual parpol sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, khususnya pasal 3 huruf f dan i yang berkaitan dengan prinsip terbuka dan akuntabel penyelenggaraan pemilu oleh KPU.
Seanjutnya, perangkat hukum yang lebih spesifik ada pada peraturan DKPP Nomor 2 Tahu 2017. Kurnia menjelaskan di sana ada poin-poin tengang akuntabel, terbuka dan kepentingan umum, yang mestinya dikedepankan oleh KPU dalam konteks platform SIPOL.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.