HUBUNGAN Indonesia-Australia tak pernah lepas dari soal wartawan. Bahkan hampir seluruh panas dinginnya hubungan kedua negara ditentukan oleh ulah pers Australia. Tahun 1980, misalnya, wartawan Australian Broadcasting Commission (ABC) diusir. Dengan keberangkatan Warwick Beutler, wartawan yang tak diperpanjang izin tinggalnya setelah 15 Juli 1980 itu, berarti berakhirlah sejarah ABC meliput Indonesia sejak 20 tahun sebelumnya. ABC, menurut Menteri Penerangan Ali Moertopo di depan Komisi I DPR ketika itu: "Berita-beritanya selain mengacaukan bangsa Indonesia, juga mendiskreditkan bangsa Indonesia dalam kehidupan internasional." Menteri Luar Negeri Australia Andrew Peacock tatkala itu sampai menyampaikan protes kepada Indonesia. Berita yang dianggap menjengkelkan pemerintah Indonesia terutama soal Timor Timur. ABC bahkan tercatat sebagai media yang pertama kali menyiarkan komentar Menteri Luar Negeri (ketika itu) Adam Malik tentang masuknya aparat keamanan Indonesia ke Timor Timur. "Pasukan Indonesia masuk ke sana karena diminta pihak-pihak yang ada di Tim-Tim," kata Adam Malik kepada wartawan, Minggu pagi 7 Desember 1975, beberapa jam setelah "serangan" itu. Versi Adam Malik ini diralat dan pengumuman resmi selanjutnya menyebutkan "sukarelawan". Yang juga pernah membuat "trauma" pers Australia adalah peristiwa 16 Oktober 1975, yang menyebabkan tewasnya lima wartawan Australia di medan perang Balibo, Tim-Tim. Tak jelas siapa yang menyebabkan kematian kelima wartawan itu. Hanya saja, pada nisannya di pemakaman Tanah Kusir Jakarta tertulis: No words can explain this pointless death in Balibo (tak ada kata-kata yang bisa menjelaskan kematian sia-sia di Balibo). Di situ dimakamkan Gary James Cunningham, Gregory John Shackleton, Malcolm Harvie Rennie, Anthony John Stewart, dan Brian Raymond Peters. Ketegangan mencuat tahun 1981 ketika Asosiasi Wartawan Australia (AJA) Pusat berniat mengundang delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ke Australia. Rencana ini tiba-tiba ditentang AJA Negara Bagian New South Wales, Victoria, dan South Australia. Mereka mengajukan syarat agar Indonesia lebih dulu mengungkap dengan jelas penyebab kematian rekan mereka. Kerikil yang mengganggu kenyamanan hubungan kedua negara juga datang dari koran The Sydney Morning Herald, 10 April 1986. Lewat tulisan David Jenkins, bekas koresponden Far Eastern Economic Review yang pernah bertugas di Indonesia 1976-1980, koran itu dianggap telah menghina Kepala Negara dan keluarganya. Menurut Jenderal Benny Moerdani, yang ketika itu menjadi Pangab dan Pangkopkamtib, tulisan itu "sungguh menyakitkan" dan sudah "mencampuri urusan dalam negeri". "Ini sudah menyangkut Kepala Negara. Kita harus mengambil sikap dan mempertahankan kehormatan Kepala Negara." Balasan Indonesia tak tanggung-tanggung. Dubes Indonesia August Marpaung menolak memberikan visa bagi sembilan wartawan Australia yang mau meliput kunjungan Presiden AS Ronald Reagan ke Bali, akhir April 1986. Juga dua wartawan yang akan meliput Piala Thomas di Jakarta. Namun, tak selamanya lembaran pers Australia mengenai Indonesia hitam. The Sydney Morning Herald, yang dikenal kritis terhadap Indonesia, akhir April 1987 menurunkan tulisan yang dinilai melegakan Indonesia, berjudul "East Timor's War in Facts and Figures". Peter Hastings, penulis yang kenal betul Indonesia, menampilkan keberhasilan pembangunan di TimTim, jauh berbeda dengan ketika daerah itu dijajah Portugal. Setelah itu, memang tampak mulai cair kebekuan hubungan pemerintah Indonesia dan pers Australia. Beberapa media Australia tak lagi dicekal mengirim wartawannya ke sini, kecuali mereka yang masuk "daftar hitam".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini