DUA pekan sebelum bertolak ke Jakarta, Perdana Menteri Australia Paul John Keating sempat menerima Dewi Anggraeni dari TEMPO serta wartawan dari Kompas dan Suara Pembaruan untuk sebuah wawancara di Gedung Parlemen Federal, Canberra. Setelah kesempatan itu Perdana Menteri dari Partai Buruh yang baru berusia 48 tahun ini juga menjawab serangkaian pertanyaan tertulis dari TEMPO tentang kunjungan perdananya ke Jakarta. Berikut petikannya: Mengapa Anda memilih Indonesia dalam kunjungan perdana sebagai perdana menteri? Karena pentingnya hubungan bilateral Indonesia dan Australia. Indonesia adalah tetangga kami yang paling besar, dan dengan demikian menjadi pusat perhatian rancangan luar negeri kami. Saya beranggapan penting bagi kedua negara untuk membina hubungan politik dan budaya. Hubungan Indonesia sering dikatakan seperti roller coaster, naiknya lambat, jatuhnya cepat, penuh kelokan. Apa komentar Anda? Saya kira naik turunnya hubungan kedua negara di masa lalu disebabkan tak adanya bahan dasar pemberatnya. Jadi mudah terombang-ambing sehingga sedikit saja terganggu langsung terguling. Sekarang semua ini akan berubah. Kerja sama kita belakangan ini telah memperkuat dasar hubungan ini. Sekarang sudah ada ikatan kuat dalam bidang perdagangan, pertahanan, budaya, pendidikan, ilmu, dan pembangunan. Kunjungan saya ke Indonesia ingin saya manfaatkan sebagai dasar konkret bagi pembinaan hubungan yang langgeng meliputi berbagai kegiatan. Dengan demikian saya berharap hubungan kedua negara menjadi benar-benar kuat dan tak cepat terganggu oleh isu-isu. Pers Australia selalu menjadi ganjalan hubungan kedua negara. Tampaknya, tewasnya lima wartawan Australia di Tim-Tim pada 1976 membuat "trauma" pers Australia pada Indonesia. Ketika David Jenkins di Sydney Morning Herald pada tahun 1984 menurunkan tulisan yang dianggap Indonesia telah menghina Kepala Negara, hubungan kedua negara anjlok ke titik terendah. Bagaimana Anda melihat masalah pers ini? Kebebasan pers sangat esensial dalam sistem politik kami dan saya mendukung hak media Australia untuk melaporkan dan memberi komentar secara bebas dan kritis. Di samping itu saya juga mengerti bahwa Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda tentang peran pers. Di Indonesia, tekanan diletakkan pada konsensus dan keserasian bersama. Dan saya menerima bahwa Indonesia berhak menentukan siapasiapa yang berhak masuk ke negara mereka. Ini berlaku bagi wartawan juga. Tapi secara keseluruhan, trend hubungan kedua negara belakangan ini tampak positif. Buktinya, sudah lebih dari 150 wartawan Australia yang diberi visa ke Indonesia sejak 1989. Dan ABC sudah diberi izin membuka kembali bironya, sesudah sepuluh tahun. Saya mengharapkan trend ini terus membaik. Apakah Anda akan menjelaskan soal media ini kepada Presiden Soeharto? Saya kira justru Presiden Soeharto yang dapat mengajarkan saya mengenai beberapa cara. Ada yang menyebutkan, hubungan kedua negara membaik setelah Perjanjian Celah Timor ditandatangani pada 1989. Ada yang menyatakan, perjanjian itu menguntungkan Australia dan merugikan Indonesia. Apa komentar Anda? Saya tak bisa menerima bahwa Indonesia dirugikan dalam syarat-syarat perjanjian itu. Dan saya tahu bahwa Menteri Alatas, dalam pernyataannya kepada DPR Indonesia, juga berpendapat bahwa Indonesia tak dirugikan. Dengan Perjanjian Celah Timor berarti Australia tak mempersoalkan lagi Tim-Tim. Ada yang menyatakan, sikap Australia ini didasarkan atas keuntungan yang dipetiknya dari penjanjian ini. Bagaimana pendapat Anda? Saya tak menerima pernyataan seperti itu. Apa yang Australia lakukan pada 1979 adalah pengakuan akan kenyataan bahwa Indonesia sudah menggabungkan Tim-Tim ke dalam republiknya. Kepentingan nasional Australia ialah menentukan perbatasan dengan negara-negara tetangga. Dan pemerintah Australia bertanggung jawab kepada rakyatnya untuk mendapatkan sumber-sumber yang, menurut hukum internasional, menjadi haknya. Nelayan Indonesia sering tertangkap mencari ikan di perairan Australia. Dalam kunjungan ke Jakarta, Anda akan menandatangani kerja sama soal perikanan ini? Persoalan nelayan gelap Indonesia yang mencari ikan di Australia memang faktor yang tak menyenangkan tapi juga menjadi contoh bahwa kedua pemerintah harus bekerja sama untuk mengatasinya. Saya mengharapkan Perjanjian Kerja Sama Perikanan antara kedua negara dapat saya selesaikan dalam kunjungan saya nanti. Itu adalah kerangka kerja sama untuk menanggulangi berbagai isu perikanan, termasuk nelayan gelap. Australia akan terus mengadakan pengawasan ketat dan menangkap perahu yang menangkap ikan secara gelap. Tapi, secara realistis, pemecahan yang langgeng adalah memberikan sumber mata pencaharian kepada para nelayan itu. Tentang Peristiwa 12 November 1991 di Dili, komentar pemerintah Australia semula keras dan kemudian melunak. Bahkan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Portugal di Lisabon, belum lama, Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans memberikan pernyataan yang isinya sangat menguntungkan Indonesia. Mengapa terjadi perubahan sikap seperti itu? Reaksi kami atas Peristiwa Dili tentunya mencerminkan keprihatinan pemerintah dan rakyat Australia atas tewasnya begitu banyak orang. Namun, kami menganggap reaksi pemerintah Indonesia sendiri dapat dipertanggungjawabkan. Kami sangat mengharapkan pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang dapat mencegah terulangnya tragedi seperti itu. Kami juga berpendapat, harus ada usahausaha yang tak putus-putusnya untuk mempererat hubungan antara pemerintah Indonesia dan rakyat Tim-Tim. Dari dalam negeri, Anda didesak untuk membicarakan isu hak asasi manusia dengan Presiden Soeharto. Dalam konteks apa Anda akan membicarakannya? Dalam konteks TimTim. Seperti yang saya katakan tadi, peristiwa itu tragis walau bukan suatu tindakan yang diperintahkan dari atas. Tapi sekarang masalah ini sebaiknya dipecahkan dengan cara saling pendekatan, dengan perbaikan ekonomi dan perluasan peluang ekonomi bagi rakyat. Kepentingan hak asasi paling baik didekati dengan cara ini. Bank Dunia sudah menyetujui usul Indonesia untuk membentuk Consultative Group bagi negara donor sebagai pengganti IGGI. Apakah Australia mendukung forum baru ini? Dalam hubungan dengan Indonesia, Australia memisahkan isu kerja sama pembangunan dan isu dialog atas hak asasi meskipun keduanya sangat penting dalam hubungan keseluruhan dari kedua negara. Australia akan mempertahankan taraf bantuan pembangunannya kepada Indonesia. Australia juga mendukung usul Indonesia untuk membentuk forum konsultasi sebagai pengganti IGGI. Menteri Gareth Evans pernah mengemukakan saran tentang perlunya kerja sama pertahanan regional. Apakah Anda juga akan membicarakan hal ini? Menteri Luar Negeri menyebut CSCE di Eropa sebagai contoh saja. Tapi, bagi Australia, pertemuan menteri setelah pertemuan ASEAN adalah forum yang efektif. Kami juga mempunyai perjanjian pertahanan bilateral dengan AS dan Anzus. Jadi tak ada kebutuhan untuk mengadakan forum baru. Namun, kalau keadaan berubah, semua ini tentu akan berubah juga sesuai dengan keadaan. Contoh institusi yang sedang berkembang adalah APEC. Fokus akan ditempatkan pada keterbukaan perdagangan. Perbaikan hubungan politik akan menyusul perbaikan hubungan perdagangan. Soal bisnis. Keluhan para pengusaha di Indonesia adalah sukarnya melakukan bisnis di Australia karena berbagai proteksi untuk industri dalam negeri Australia. Apa komentar Anda? Australia sudah mulai mengubah kerangka ekonominya. Sekarang investasi modal lebih terbuka bagi seluruh dunia. Kami sudah melonggarkan investasi luar negeri, seperti yang saya beberkan dalam rancangan kami One Nation. Memang ada kekecualian, seperti bisnis bank dan televisi. Dalam perdagangan, di bidang ekspor, kami mempunyai peraturan yang memberi proteksi sementara kepada beberapa pabrik. Tapi itu semua dilonggarkan mulai 1988 sampai 1997. Sekarang kita sudah memasuki setengah waktu. Tahun 1997 proteksi atas pabrik di Australia hanya akan tinggal lima persen saja, tanpa kuota, maupun pembatasan kuantitatif. Di sektor pakaian jadi dan sepatu, yang memakai tenaga buruh intensif, hanya tinggal 25% sedangkan sebelumnya 250%. Industri mobil, turun dari 150% menjadi 35%. Jadi jelas, ada peluang pasaran bagi Indonesia di Australia. Banyak perusahaan Australia kini memindahkan pabriknya ke luar negeri untuk mencari ongkos buruh yang lebih murah. Mengapa Indonesia tak menjadi pilihan pertama? Perkembangan dalam sektor produksi di Indonesia boleh dikatakan baru dibandingkan dengan negara-negara lainnya di kawasan yang sama. Sebab itu perusahaanperusahaan Australia tak secara otomatis terpikir akan Indonesia. Tapi sekarang ini potensi Indonesia untuk penanaman modal sudah banyak diketahui. Salah satu tujuan saya berkunjung ke Jakarta ialah untuk membantu memberi dorongan agar hubungan dagang kedua negara berkembang pesat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini