INILAH muhibah perdana Paul John Keating sebagai perdana menteri Australia. Selasa pekan ini, sebuah kunjungan kenegaraan ke Indonesia selama empat hari dimulai. Dan sebagaimana layaknya tata cara diplomatik, kunjungan seorang kepala pemerintahan tentu punya arti cukup besar bagi perkembangan hubungan kedua negara. Bisa dibilang, hubungan Australia dan Indonesia adalah hubungan yang "mesra" dan "ingarbingar". Secara geopolitis, kenyataan itu tampaknya tak terelakkan, mengingat letak dua negara yang berdekatan dan berbatasan langsung. Itu juga sebabnya apa yang terjadi di sini akan selalu menjadi titik pusat perhatian di seberang sana, dan sebaliknya. Meminjam istilah Sabam Siagian, duta besar Indonesia di Canberra, kedekatan itu menyebabkan masing-masing mempunyai kepentingan strategis. "Jadi, sekalipun pers di sana cerewet, dan banyak pihak yang kritis pada Indonesia, tetap tak bisa dielakkan bahwa dua negara ini saling membutuhkan," kata Sabam, yang belum genap setahun menjadi duta Indonesia. Kunjungan Keating ini, perdana menteri termuda Australia selama ini, misalnya, belum apa-apa sudah menyulut kontroversi di dalam negerinya. Partai Buruh di Negara Bagian Victoria segera saja menyodorkan serangkaian alasan, bahwa mestinya Keating tak perlu memilih Indonesia sebagai tujuan kunjungan pertamanya. Bahkan, mereka juga sudah memasang syarat, kalau toh Keating memang harus pergi, ia mesti berbicara perkara hak asasi manusia dengan pemerintah Indonesia. Dan Keating agaknya kurang peduli. "Indonesia tetangga kami terbesar, dan menjadi pusat perhatian kami di luar negeri," katanya menjawab pertanyaan TEMPO. Soal hak asasi di Indonesia memang sedang menjadi sorotan di Australia. Pemicunya tak lain adalah peristiwa 12 November di Dili tahun lalu, yang memakan korban sekitar 50 orang itu. Sekalipun secara de facto dan de jure Australia adalah satu-satunya negara "Barat" yang mengakui integrasi Tim-Tim ke Indonesia, tak pelak lagi peristiwa ini tetap menimbulkan persoalan aru dalam hubungan Indonesia dan tetangganya yang terletak di halaman belakang ini. Cuma tiga malam sebelum berangkat, Keating juga masih mendapat tambahan persoalan. Ada 124 buah salib putih bernoda merah kembali muncul di depan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra. Salib itu dipasang oleh para aktivis Timor Timur di sana sebagai protes atas peristiwa 12 November itu. Sebenarya, protes serupa pernah terjadi Desember lalu. Bahkan tak cuma salib, para demonstran juga mendirikan tenda di depan kantor kedutaan besar. Sebulan kemudian, Menteri Luar Negeri Gareth Evans memerintahkan agar salib itu dipindahkan setelah ada protes dari Kedutaan Besar Indonesia. Seperti diketahui, berdasarkan Konvensi Wina 1961, tiap pemerintah wajib melindungi semua perwakilan negara asing dan mencegah tindakan kekerasan, termasuk juga tindakan yang dianggap bisa menurunkan martabat negara asing tersebut. Namun, ternyata Hakim Olney, seorang hakim pengadilan Federal, menganggap peraturan yang dulu dipakai Evans untuk menggusur salib-salib itu tak berlaku untuk kasus ini. Maka, protes ini tampaknya bakal berlangsung lama dan ikut mewarnai hari-hari Keating di Indonesia. Disadari atau tidak, peristiwa 12 November memang menjadi ganjalan yang cukup mengganggu hubungan kedua negara. Di Senat, Faksi Partai Buruh (ALP) yang sedang berkuasa mengajukan resolusi yang isinya mengutuk peristiwa itu. Berdasarkan resolusi itu pula Menteri Luar Negeri Gareth Evans berkunjung ke Indonesia, 19-21 Desember 1991, untuk membicarakan soal ini dengan Jakarta. Namun, jika melihat isi resolusi yang cukup "galak", kunjungan itu bisa dibilang tak banyak menampakkan hasil. Satu hal yang lebih serius dari resolusi itu adalah pernyataan perdana menteri, waktu itu, Bob Hawke dua hari setelah peristiwa Dili meletus. Hawke mengancam, hanya akan bersedia mengunjungi Indonesia asal ada tiga syarat yang dipenuhi Indonesia. Penyesalan yang dalam, pemeriksaan yang tuntas, dan dihukumnya mereka yang bersalah. Pada saat itu memang sudah dijadwalkan bahwa Hawke akan mengunjungi Indonesia pada awal Februari 1992. Gaya menggertak seperti ini tentu akan bisa mengakibatkan luka yang serius pada hubungan kedua negara, mengingat Presiden Soeharto adalah pemimpin yang terhitung paling senior di kawasan Asia Tenggara. Australia juga sempat "mengganggu" dengan permintaan untuk menempatkan konsulatnya di Dili. Untungnya, sebelum persoalan menjadi gawat, Bob Hawke jatuh setelah dikalahkan rival lamanya, Keating, dalam pemungutan suara intern ALP di Caucus. Memperbaiki langkah Hawke, Keating segera menyatakan bahwa ia akan tetap mengunjungi Indonesia, tanpa menyebut-nyebut syarat-syarat yang pernah dilontarkan Hawke sebelumnya. Hanya karena persoalan jadwal kunjungan yang semula Februari itu akhirnya terlaksana April ini. "Saya rasa Keating mencoba membawa angin baik bagi hubungan kedua negara," kata Sabam. Memang, masih terlalu pagi menyebutkan bahwa Keating akan benar-benar bisa membawa hubungan kedua negara menjadi supererat. Seperti dilihat oleh Dr. Juwono Sudarsono, pengamat hubungan internasional yang juga guru besar di Universitas Indonesia, faktor Keating ini tidaklah terlalu membawa banyak perbedaan pada hubungan kedua negara. Dalam pengamatannya, Keating yang bekas menteri keuangan itu tampak lebih teknokratis jika dibanding Hawke. Lagi pula, "Keating adalah otodidak yang selalu berbicara terus terang, bahkan kasar, jika dilihat dalam konteks politik," tutur Juwono. Dalam hal hubungan Indonesia-Australia, gaya semacam itu tentu tak bisa dibilang menguntungkan. Sejarah menunjukkan hubungan dua negara bertetangga ini memang tak selalu mulus. Bahkan sering diibaratkan seperti roller coaster: lambat naiknya, tapi sekali sampai pada turunan akan meluncur deras. Soal Dili tadi, misalnya, betul-betul merupakan turunan tajam setelah Australia dan Indonesia berhasil mencapai taraf hubungan yang baik. Misalnya saja persetujuan Celah Timor yang mengatur kerja sama eksplorasi minyak di Laut Timor, wilayah perbatasan Australia-Indonesia. Salah satu faktor penting lain di luar Dili, yang sejauh ini kerap mengganggu hubungan kedua negara adalah pers Australia yang memang sering melontarkan sikap kritis pada pemerintah Indonesia. Beberapa kasus, misalnya tewasnya lima wartawan Asutralia di Tim-Tim tahun 1975 atau tulisan David Jenkins tentang keluarga Pak Harto pada 1986, benar-benar membuat suasana Jakarta-Canberra menjadi panas. Pemerintah Australia selalu beralasan bahwa pers berada di luar kontrol mereka. Sebagai negara liberal, kebebasan mengungkapkan pendapat memang sangat dihargai di negara seperti Australia ini. Itu sebabnya, sekalipun ada beberapa peraturan yang sebenarnya bertujuan untuk membatasi kebebasan pers, tetap saja peraturan itu tak bisa dijalankan. Namun, Sabam yang bekas pemimpin redaksi The Jakarta Post ini menilai, situasi sekarang sebenarnya sudah jauh berbeda. "Pers Australia tidak sekeji yang disangka orang di Indonesia," kata Sabam. Bisa jadi Sabam benar. Salah satu contoh yang masih segar adalah soal kapal Lusitania Expresso. Pers Australia, yang tadinya hangat, mendadak menjadi dingin setelah mengerti bahwa misi ini didanai perusahaan minyak negara milik Portugal. Bahkan belakangan pemberitaan mereka tentang Lusitania malah menjadi melempem. Di luar semua masalah itu, sebenarnya ada satu sisi hubungan Indonesia-Australia yang berjalan mulus, yaitu dalam bidang ekonomi. Dalam lima tahun terakhir, perdagangan kedua negara terus meningkat, sekalipun di bidang politik ada keramaian. Investasi Australia juga terus mengalir masuk ke Indonesia. "Sekalipun ada kerikil pada hubungan Indonesia-Australia, bisnis tidak terganggu," kata Moetaryanto, presiden Indonesia-Australia Business Council (IABC). Ia mengakui, memang ada kalanya bisnis melambat, tapi itu sepenuhnya bergantung pada iklim bisnisnya sendiri. Peluang di sektor ekonomi inilah yang sekarang dilirik oleh Keating. Itu sebabnya kedatangannya kemari kali ini sarat dengan masalah ekonomi. Dalam saku Keating, misalnya, ada upaya penyelesaian masalah pajak berganda yang selama ini dianggap merugikan bisnis kedua negara. Keating juga berencana mengajak Indonesia untuk ikut lebih serius dalam kerangka Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC. Yang juga penting, kantung Keating berisi pula uang bantuan senilai A$ 30 juta. Selama lima tahun terakhir, bantuan Australia kepada Indonesia, yang semuanya berupa hibah, memang terus meningkat. Indonesia adalah penerima bantuan Australia nomor dua terbesar setelah Papua Nugini. Tahun lalu, total bantuan Australia mencapai A$ 100 juta. Namun, yang perlu disimak, bantuan A$ 30 juta yang dibawa Keating kali ini mempunyai label khusus. Ini adalah bantuan khusus untuk pembangunan di TimTim, A$ 11,5 juta di antaranya sudah dialokasikan ke proyek air bersih di Dili. Tampaknya, Keating betul-betul ingin semua aspek hubungan berjalan mulus. Termasuk juga soal Tim-Tim yang sering menjadi bahan keributan di tetangga kita itu. Dengan kunjungan ini, Keating tampaknya juga ingin menguji kemantapan posisi politiknya di dalam negeri. Setelah ke Indonesia, ia juga akan terbang ke Papua Nugini, negeri yang banyak mendapat bantuan Australia. Namun, di Negeri Kanguru itu, kalau tak pandaipandai memainkan jurus politik, hal itu bisa-bisa justru menjadi bumerang. Yopie Hidayat, Leila S. Chudori, Bina Bektiati (Jakarta), Dewi Anggraini (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini