GILIRAN Pancasila masuk desa akhirnya tiba juga. Tidak langsung, memang. Tapi lewat kecamatan. "Untuk pergi ke kecamatan, transportasi menjadi masalah," ujar Haji Abdullah, 57, Lurah Cipinang Muara, Jakarta Timur, yang mengirimkan sejumlah warganya mengikuti penataran P-4, awal Oktober lalu. Padahal, penataran P-4 itu dilakukan sore hari, setelah para peserta pulang kerja. Paling sedikit ada dua keuntungan teraih lewat P-4 masuk desa ini: pembiayaan yang lebih ringan, dan penghematan waktu. "Kita tidak usah buang waktu untuk pergi jauh-jauh," kata seorang peserta penataran P-4. Untuk transportasi, meski dekat, ternyata biaya diberikan juga. Di Cipinang Muara, misalnya, selama seminggu penataran, tiap peserta mendapat uang transpor Rp 1.000 per hari. Uang transpor itu dan konsumsi, semuanya tanggungan BP-7 DKI Jakarta. "Kami cuma menyiapkan peserta dan tempatnya saja," tutur Chaeruddin, S.H., Sekretaris Kelurahan Cipinang Muara. Di Kalimantan Barat, ternyata, penataran P-4 sudah masuk kampung sejak 1983. Penataran tingkat desa ini diadakan berdasarkan Instruksi Mendagri No.9/1983. Peserta penataran, umumnya, tokoh masyarakat serta warga yang ditunjuk oleh lurah. "Diutamakan tokoh-tokoh yang menjadi panutan masyarakat," kata H. Abdullah. Ia telah mengirimkan warganya untuk dua angkatan penataran. Bagaimana sambutan terhadap Pancasila masuk desa? Tidak terdengar cerita kesulitan dari Jakarta. Tapi, di Pontianak ceritanya cukup menarik. "Administrasi kecamatan dan kelurahan kurang rapi di samping perhatian yang kurang dari pejabat dari kantor-kantor pemerintah tersebut," kata Hasan Rusbini dari BP-7 Pontianak. Soal ruangan penataran juga tampil sebagai hambatan, "sampai ada petatar menulis bertelekan pada paha." Belum lagi kerumitan yang timbul dari pilihan lurah terhadap calon petatar (peserta penataran) yang berumur kurang dari 17 tahun yang dikirim." Calon seperti itu, menurut Drs. Hamzah, Kepala BP-7 Pontianak, terpaksa digugurkan. Karena penduduk Kal-Bar mayoritas keturunan Cina, tentu saja ada cerita khas tentang perjalanan Pancasila masuk desa dari wilayah ini. "Waktu adalah uang". Itulah semboyan yang menjadi pikiran pejabat BP-7 di daerah ini. Sebab, warga keturunan Cina ini kebanyakan pedagang, waktu mereka habis untuk mengurusi bisnis. Maka, padasaat mereka mendapat panggilan untuk ikut P-4, yang mereka kirimkan adalah pembantu rumah tangga atau penjaga malam. "Yang diundang tauke, yang datang penjaga malam," kata Hasan Rusbini. Ini jelas merepotkan, karena mereka yang ikut P-4 harus mendapat SK yang ditandatangani wali kota. Tapi, orang-orang keturunan Cina itu bukannya tanpa alasan. "Payahlah, Pak. orang dagang mesti pakai waktu banyak," kata Gou Kiang, 46, pedagang kebutuhan pokok yang lumayan hidupnya. Tauke ini juga berkata, "Saya sudah tua, lebih baik yang muda-muda saja." Seorang rekan seprofesi Kiang mengaku terus terang mengirimkan pembantunya. Tapi, setelah itu, ia mengaku pula bahwa pembantunya itu tidak mengujikan hasil penataran kepadanya. Kisah pembantu mewakili tauke dalam penataran P-4, rupanya, tidak khas Kal-Bar. Di Tuban, Jawa Timur, cerita yang sama juga muncul dari penataran yang diadakan Departemen Tenaga Kerja, bulan silam. "Ya ... mungkin para pengusaha itu merasa turun gengsinya kalau ditatar bersama para karyawan," kata Saleh Said, Sekretaris BP-7 Tuban. Kabarnya, kini sedang dipersiapkan penataran yang tidak mencampuradukkan karyawan dengan tauke mereka. Tapi, barangkali saja mereka yang mewakilkan diri dalam urusan penataran ini karena belum ada sanksi bagi mereka yang berbuat demikian. Menurut Aswar Sugondo, Kepala kantor Depnaker Tuban "Kalau yang ikut P-4 pembantunya, maka yang dapat sertifikat, ya, pembantu itu." Dalam urusan penataran P-4 ini, nama Pengusaha Yos Sutomo terpaksa disebut-sebut juga. Bukan lantaran Yos mewakilkan babunya ikut P-4, melainkan karena sejumlah anak buahnya yang ikut P-4 belum juga dapat sertifikat. Menurut kisah ini, 60 karyawan PT Sumber Mas, perusahaan milik Yos Sutomo yang beroperasi di Kabupaten Bulongan, telah menyelesaikan penataran P-4 selama seminggu, akhir Desember 1985. Tapi tak kunjung dapat sertifikat. Para karyawan itu tidak mau terima kenyataan tersebut. Mereka terus menuntut. "Capek-capek ikut penataran kalau tidak diakui, ya, tak ada gunanya," kata Supardi, salah seorang karyawan Yos. Tidak kurang repot adalah Saiman, kepala kantor PT Sumber Mas di Tarakan. "Saya pusing selalu ditagih oleh karyawan-karyawan itu." katanya. Saiman, menurut pengakuannya, sudah berkali-kali mendatani kantor Depnaker Tarakan, penyelenggara penataran P-4 itu, untuk minta sertifikat tersebut. Tapi belum dapat juga. "Pihak Depnaker menjelaskan bahwa sertifikat itu masih belum ditandatangani BP-7 Bulongan," kata Saiman. Ia menambahkan, mereka juga bingung mengapa BP-7 Kabupaten Bulongan belum juga menandatangani sertifikat tersebut. Menurut cerita yang sampai ke kantor Depnaker Bulongan, pihak BP7 belum mau menandatangani sertifikat itu karena penataran yang diikuti anak buah Yos belum mencukupi waktunya. Selain itu, buku-buku yang dipakai juga dianggap tidak standar. Tidak standarnya buku-buku itu, karena soal biaya. Tapi, menurut Sofyan Said, Kepala Kantor Depnaker Bulongan, yang tidak standar cuma cetakannya, isinya sama sekali tidak berbeda. Maka, beredar cerita mengenai konflik pribadi yang melatarbelakangi nasib malang karyawan-karyawan Yos Sutomo itu. Disebut-sebut nama Djafar Sidik, Sekretaris BP-7 Bulongan, yang tidak mau menandatangani sertifiklat karena soal honor. "Bagaimana kami mau bayar honornya, kalau dia tidak pernah datang menatar?" kata Sofyan Said. Dalam perkara penataran P-4 ini, nama yang patut dicatat adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta Eddie M. Nalapraya. Sebab, dialah yang kebetulan menandatangani perintah sensus P-4 di Jakarta. Maka, hari-hari ini, rumah-rumah warga Jakarta dikirimkan formulir "sensus" itu lewat RT masing-masing. Mereka diminta mengisi jumlah penghuni rumah yang sudah ikut P4 lengkap dengan jenis penatarannya. Sensus masih berlangsung, sehingga angka pasti tentang warga Jakarta yang telah ditatar belum diketahui. Kalau data Kelurahan Cipinang Muara bisa dipakai sebagai sekadar ukuran, maka kita boleh mendengar kata Lurah Haji Abdullah. Kata Abdullah, yang pernah menyandang gelar Lurah Terbaik di Indonesia, dari 47.000 warganya diperkirakan lebih dari 10.000 yang telah ditatar P-4. Dan, Gubernur DKI Jakarta R. Soeprapto bertekad menyelesaikan penataran semua warganya sebelum Pelita IV berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini