Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembalasan hutan gundul

Lampung dilanda banjir hebat. korban 100 orang meninggal, 20.000 penduduk terancam rawan pangan dan kerugian belum bisa ditaksir. bencana alam pertama yang terjadi akibat penggundulan hutan. (nas)

8 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMPUNG dilanda banjir berat. Sampai awal pekan ini, tercatat lebih dari 100 orang mati, 20.000 penduduk terancam rawan pangan, dan kerugian belum bisa ditaksir. Ada yang menyebut Rp 10 milyar, ada yang mengatakan lebih. Kabarnya, inilah bencana alam pertama yang terjadi akibat penggundulan hutan. Ada banyak pendapat yang pernah dilontarkan mengenai luasnya kerawanan akibat penebangan hutan ini. Tapi barulah kini orang menyebut secara langsung bahwa banjir Lampung itu akibat penggundulan hutan. Gubernur Lampung Yasir Hadibroto selepas melaporkan musibah itu kepada Presiden Soeharto, pekan lalu, secara tegas menyebut gundulnya hutan lindung akibat penghunian secara liar. Hutan lindung yang diperkosa ekologinya, antaralain hutan lindung register 21, 17, dan 19 yang terletak di Gunung Pesawaran, Kecamatan Kedondong, Lampung Selatan. Kini, akibat penebangan kayu secara besarbesaran, areal itu telah menjadi gundul, dan rimbun pepohonan telah berganti rumah hunian dan ladang. Cepatnya proses penggundulan juga lantaran pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), setelah mendapat untung besar, tak memikirkan kewajiban melakukan reboisasi. Kalaupun ada perusahaan yang menyediakan dana buat penghijauan kembali, sebagian besar uang itu menguap tak tentu rimbanya. PT Tanjung Jati, yang mendapat HPH 1970-1974 di pegunungan Bukit Barisan, sehabis masa HPH mereka kabarnya menyediakan dana sekitar Rp 900 juta untuk penghijauan kembali. Tetapi, kenyataannya, tak ada tunas bersemi di bekas areal itu. Usaha reboisasi sudah pernah dicoba Departemen Kehutanan. "Tetapi pelaksanaannya tak beres, uangnya dikorupsi. Akibatnya, ya, begini ini," ujar Subki Harun, Wakil Gubernur Lampung. Kondisi ekologi makin meruyak ketika rakyat ikut "berpartisipasi aktif" mengolah hutan. Mereka membabat pohon dan menggantikannya dengan tanaman kopi. Maklum, kopi sedang ada dalam kondisi baik. Harganya Rp 3.000 per kilo. Faktor lain, diam-diam hampir 60 ribu kk (kepala keluarga) sudah menempati lahan yang sebenarnya digunakan sebagai benteng erosi itu. Toh hal ini mulai teratasi ketika pemerintah berhasil memindahkan setengah jumlah itu ke permukiman di Lampung Utara. Meski begitu, keseimbangan alam belum sepenuhnya pulih. Buktinya, pertahanan alami tak mampu menahan luapan bah raksasa yang terjadi. Akibat bah itu mengerikan, memang. Misalnya, 20 ribu penduduk Kecamatan Cukuhbalak, Lampung Selatan, kini terisolasi. Satu-satunya jalan yang menghubungkan kawasan itu dengan dunia luar kini tertimbun tanah sepanjang 7 km. Satu-satunya jalan yang menghubungkan kecamatan itu dengan Bandar Lampung hanya lewat laut. Tak heran, dalam kondisi rawan pangan itu, harga-harga mulai melonjak. Sementara itu, mendung tebal terus meliputi daerah itu, membuat orang waswas kalau serbuan air menerjang kembali. Tanda-tanda bakal datangnya hari nahas minggu lalu itu di luar bayangan penduduk Lampung. Sabtu pagi, 25 Oktober lalu, hujan memang turun meski hanya rintik-rintik di Desa Bunut Kecamatan Padang Cermin -- sekitar 40 km dari ibu kota provinsian. Siang hari titik air yang jatuh semakin deras dan bahkan tak berhenti hingga hari berikutnya. Penduduk masih tenang-tenang saja di rumah masingmasing, meski air Way Ratai sudah pasang setengah meter. "Saya masih terlelap, sehingga tak tahu asal mulanya bahaya. Tahu-tahu badan saya sudah tertimbun tanah," ujar Trimowiyono, 35, warga Desa Campang yang longsor tanahnya. Sebenarnya, banjir bukan barang asing bagi masyarakat Lampung. Juli dan Agustus lalu banjir, meski tak sedahsyat sekarang, sudah terjadi banjir di Kecamatan Kotaagung dan Wonosobo. Saat itu, tercacat 15 orang meninggal dan 600 rumah hancur. Kerugian materi tercatat Rp 2 milyar. Laporan Effendy Saat (Tanjungkarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus