Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketua Dari Selatan

Presiden soeharto menyampaikan pesan jakarta yang dirumuskan dalam ktt nonblok lalu, di forum sidang umum pbb di new york. presiden juga mencari dukungan untuk mengegolkan kebijakan luar negeri indonesia di forum dunia.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH suara dari 108 negara berkembang: hidupkan kembali dialog Utara dan Selatan yang konstruktif. Keinginan itu disampaikan oleh Presiden Soeharto, yang juga menjabat sebagai Ketua Gerakan Nonblok, di forum Sidang Umum Per serikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York pekan lalu. Tampil sebagai pembicara ke-10 yang membawakan suara-suara negara Selatan, pidato Pak Harto, yang disampaikan selama 55 menit, merupakan masukan berharga bagi wakil-wakil masyarakat dunia yang tengah bergumul menyusun tatanan dunia setelah era perang dingin usai. Soalnya, suara Gerakan Nonblok selama ini selalu garang dan penuh makian terhadap negara-negara maju. Sedangkan Pak Harto, yang tampil pada saat Gerakan Nonblok, berhasil merangkul lebih banyak anggota (istilah Kepala Negara: "Suatu koalisi politik yang mencakup lebih banyak negara berdaulat dari kelompok mana pun dalam sejarah") justru menawarkan dialog yang konstruktif. "Tanpa adanya stabilitas dan pembangunan di Selatan, pihak Utara tidak mungkin dapat mempertahankan terus laju kesejahteraan ekonominya," kata Pak Harto. Kepala Negara menambahkan bahwa tanpa adanya suatu lingkungan global yang mendukung, suatu hal yang banyak tergantung dari kebijakan-kebijakan pihak Utara, negara-negara Selatan tidak akan dapat mencapai pembangunannya. Dua hari setelah menyampaikan pidato di forum dunia itu, telepon di kamar penginapan Presiden Soeharto di lantai 41 Hotel Waldorf Astoria berdering. Peneleponnya: George Bush, yang meluangkan waktu selama 12 menit di sela-sela kesibukannya berkampanye di seantero Amerika untuk memenangkan masa jabatan empat tahun kedua sebagai presiden. Bush, kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, antara lain mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Nonblok. "Bush juga menyiratkan keyakinannya bahwa kepemimpinan Indonesia akan membawa Gerakan Nonblok ke arah yang lebih positif," tambah Moerdiono. Kendati pembicaraan telepon antara Pak Harto dan Bush berlangsung singkat, Wakil Tetap Indonesia di PBB, Nugroho Wisnumurti, menilainya sebagai sesuatu yang penting. "Dalam sejarah Gerakan Nonblok belum pernah Amerika memberikan komentar positif, bahkan dari tingkat di bawah menteri sekalipun," katanya. Siapa tahu ini merupakan indikasi keseriusan negara-negara maju (Utara) menilai tawaran dialog yang tercantum dalam "Pesan Jakarta" itu. Setelah lima hari di New York, rombongan Presiden Soeharto bertolak menuju Tokyo untuk menyampaikan "Pesan Jakarta" yang dirumuskan dalam KTT Nonblok lalu. Di Tokyo, Kepala Negara berjumpa dengan Kaisar Akihito dan berdialog dengan Perdana Menteri Miyazawa, yang akan menjadi tuan rumah pertemuan negara-negara industri (G7) Juli mendatang. Pak Harto ingin mengajak Jepang, satu-satunya wakil Asia dalam G7, menjadi mitra dalam merealisasi tatanan dunia baru yang digagaskan dalam "Pesan Jakarta". Selain mencoba merangkul Jepang, Presiden Soeharto juga berusaha meyakinkan "naga Asia" lain: Korea Selatan. Ketika di New York, Pak Harto berbincang-bincang dengan Pres iden Roh Tae Woo selama 25 menit untuk menjelaskan hasil KTT Nonblok dan mengimbau Korea Selatan untuk semakin aktif mem bantu negara-negara miskin. Pada kesempatan itu Kepala Negara juga tak lupa mempromosikan pesawat MC235 buatan IPTN Bandung kepada tamunya. Presiden Roh Tae Woo, menurut Menteri Moerdiono, "menyambut dengan antusias" isi pem bicaraan yang disampaikan Pak Harto. Pada kesempatan itu Presiden Roh Tae Woo, lanjut Menteri Moerdiono, juga menjelaskan kepada Pak Harto mengenai perkembangan terakhir di Semenanjung Korea yang masih merupakan salah satu potensi konflik besar di era pas caperang dingin sekarang. Tamu lain Pak Harto selama di New York adalah Presiden Alija Izetbegovic dari Bosnia Herzegovina, Presiden Milan Kucan dari Slovenia, dan Wakil Presiden Suriname. Semua itu dilakukan Presiden Soeharto untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak mungkin guna mengegolkan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif di forum dunia. Soalnya, setiap negara anggota hanya punya satu suara di forum sidang umum PBB, terlepas dari ukuran negara maupun jumlah penduduknya. Langkah Pak Harto itu, menurut seorang pejabat tinggi Indonesia, termasuk untuk mengamankan upaya Portugal menggalang perdebatan soal Timor Timur di sidang-sidang PBB. Soal Timor Timur tampaknya masih merupakan "kerikil kecil dalam sepatu" diplomasi Indonesia. Maka, ketika Presiden Soeharto berpidato, sebuah protes kecil mengenai Timor Timur sempat muncul di ruang Sidang Umum PBB. Aspek yang paling mengganjal bagi dunia dalam persoalan Timor Timur adalah segi hak asasi manusia. Maklum, dengan berakhirnya perang dingin, semakin kuat tekanan dari negara maju untuk mengaitkan bantuan luar negerinya dengan soal hak asasi manusia. Gayung itu seolah bersambut dengan pidato Pak Harto. "Kami menyambut baik kecenderungan yang semakin meningkat ke arah demokrasi dan sepakat untuk bekerja sama melindungi hak-hak asasi manusia," katanya. Pak Harto pada kesempatan itu juga menambahkan pendapat anggota-anggota Gerakan Nonblok bahwa kemajuan ekonomi dan sosial dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Ini tampaknya jawaban yang dianggap paling mantap. Pasalnya, kemajuan ekonomi dan sosial Indonesia selama kepemimpinan Pak Harto cukup diakui dunia. Bank Dunia, misalnya, melaporkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia di awal Orde Baru hanya separuh dari India ataupun Pakistan. Kini keadaannya justru terbalik. "Program imunisasi, Posyandu, dan PKK saya anggap paling berhasil di dunia dan dapat dijadikan model yang dapat dikembangkan di negara berkembang lainnya," kata Direktur Eksekutif UNICEF, James P. Grant, seperti dituturkan kembali oleh Moerdiono. Grant dan Direktur Badan Kependudukan PBB (UNFPA) Nafis Sadiq sempat diterima Presiden Soeharto ketika berada di New York. Penilaian baik juga disampaikan oleh William R. Liddle, pengamat politik Indonesia. "Saya menilai pembangunan ekonomi Orde Baru memang berhasil," kata ahli yang pernah tinggal di Indonesia pada awal 1960-an . Liddle menambahkan bahwa negara berkembang lainnya, India misalnya, dapat belajar mengenai pembangunan ekonomi ini dari Indonesia. "Sebaliknya Indonesia dapat belajar banyak dari India di bidang pembangunan politik," kata pengajar ilmu politik di Universitas Ohio tersebut. "Sebab India membuktikan bahwa sistem demokrasi dapat tumbuh di negara berkembang yang majemuk secara kesukuan maupun agama." Kerja sama Selatan-Selatan, yang tercantum dalam "Pesan Jakarta", lebih ditekankan pada kerja sama pelaksanaan pembangunan ekonomi. "Presiden Soeharto tampaknya memang ingin mengubah esensi Gerakan Non blok dari gerakan yang bersifat politis menjadi ekonomis," kata Don Emmerson, guru besar ilmu politik Universitas Wisconsin, yang juga dikenal sebagai pengamat politik In donesia. Bambang Harymurti, Toriq Hadad, dan Linda Djalil (New York)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus