BEBERAPA "nama besar" tak terlihat lagi di daftar anggota MPR. Misalnya saja Abdurrahman Wahid, Ketua PB Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar, tak tercantum sebagai anggota MPR. Padahal, lima tahun lalu Ketua Forum Demokrasi ini masih diangkat lewat jalur Utusan Golongan. Demikian pula A.M.W. Pranarka, Direktur CSIS yang periode lalu masuk anggota Badan Pekerja MPR. Ketua Lembaga Pengkajian Taman Siswa ini acap menyelenggarakan sarasehan kebudayaan yang diikuti oleh berbagai unsur kekuatan sosial politik dan lapisan masyarakat. Yang juga tak ikut dilantik menjadi anggota MPR adalah beberapa pimpinan organisasi kepemudaan, termasuk Din Syamsuddin (Ketua Pemuda Muhammadiyah), Bambang Yoga Sugomo (Ketua HIPMI dan pimpinan FKPPI), dan beberapa politikus yang vokal seperti Marzuki Darusman, Anang Adenansi, atau Rukmini. Siapa mereka yang masuk? Banyak wajah baru, baik tokoh yang memang beken atau yang belum dikenal, bahkan oleh sementara pimpinan di DPP Golkar sendiri. Berikut mereka yang terbuang dan yang datang. MARZUKI DARUSMAN, 47 tahun, anggota DPR, Wakil Sekretaris Fraksi Karya bidang Politik dan Keamanan. Rasanya sukar untuk melewatkan sosok ini begitu saja. Bukan hanya karena ia ganteng dan fasih berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda, tapi juga karena suaranya yang vokal. Abang penyanyi Chandra Darusman ini suka "menyanyi" di DPR, termasuk mengkritik Pemerintah. Ia tergolong salah satu anggota DPR yang cepat tanggap atas masalah yang muncul, gigih membela Indonesia di forum parlemen internasional, dan punya pertanyaan tajam setiap kali acara dengar pendapat dengan Pemerintah. Sebagai anak diplomat yang menghabiskan hampir setengah hidupnya di Singapura, Australia, dan Portugal, sikap Marzuki yang blak-blakan sering dianggap kebarat-baratan. "Memang ada hal-hal yang saya lakukan berbeda dengan persepsi dari organisasi," katanya. "Saya tahu, saya tak sendirian yang menginginkan agar DPR lebih kritis dan tangguh. Jika ingin DPR lebih berperan, semua tergantung orang per orang. Kelincahan dan inisatif anggota DPR terkadang tak ada kaitannya dengan fraksinya," tuturnya. Dan Marzuki memang tak asal ngomong. Buktinya, ia terlihat di berbagai lokasi penggusuran untuk mengamati sendiri kasus-kasus pengaduan yang tiba di mejanya. Tahun silam, ia menyelinap di antara puluhan wartawan yang meliput kunjungan Petisi 50 ke kantor Imigrasi untuk mempertanyakan soal pencekalan mereka ke luar negeri. "Sebenarnya itu tugas biasa anggota DPR. Kami semua biasa melakukannya," katanya. Marzuki juga dikenal sebagai anggota DPR yang rajin menghadiri berbagai resepsi diplomatik asing. Selain itu ia satu dari sedikit anggota yang rajin mengunjungi perpustakaan DPR yang lebih sering sepi itu. Alumni Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan Bandung ini akhirnya "terjegal" juga. Namanya dicoret dari daftar anggota. "Seharusnya kejadian ini sudah bisa diduga. Tapi caranya itu yang tak terduga," katanya. Banyak yang menduga, penyebab lain pencoretan namanya adalah karena wawancara majalah Matra. Ia mengaku cita-citanya ingin menjadi presiden. "Mungkin saja. Tapi rekan-rekan di Golkar mengatakan ini bukan suatu pelanggaran, tapi pasti ada akibatnya," katanya mengangkat bahu. "Saya kini di luar DPR. Ini proses politik yang wajar sekali," katanya. Tentu saja ia mengaku akan rindu dengan intensitas pekerjaannya sebagai anggota DPR, "terutama karena selama 15 tahun saya biasa menghadapi keluhan rakyat secara langsung," katanya. Tapi kini ia akan menghidupkan kembali kegiatannya sebagai Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri DPP Golkar, diselingi olah raga berenang dan membaca buku politik dan sejarah karya John Legge dan Soedjatmoko. Dan di antara kesibukan itu, tentu saja ia harus menangani PT Danatera, perusahaan penyusun feasibility study tentang perusahaan baru. "Yang belakangan ini cuma untuk mencari uang. Tapi perhatian saya tetap politik. Saya berpolitik bukan untuk having fun, tapi karena ingin ikut membangun demokrasi negeri ini," katanya. Tetap bercita-cita jadi presiden? "Ya. Seorang prajurit selalu mau menjadi jenderal. Seorang guru ingin jadi guru besar. Maka, seorang politikus tentu ingin jadi presiden." ISMAIL SUNNY, 61 tahun, guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, dan Penasihat ICMI. Namanya sempat mencuat ketika pemerintah menahan beberapa orang tahun 1978. "Saya dituduh telah menghasut mahasiswa di 11 universitas," katanya. Yang dilakukannya sebenarnya adalah memberi ceramah tentang hukum tata negara. Dan setelah ditahan hampir setahun, ia dilepaskan karena tak ada bukti. Alumni Universitas McGill, Kanada, ini termasuk salah satu anggota DPRGR. "DPRGR meminta agar diadakan sidang istimewa, dan saya salah satu yang ikut dalam sidang yang memutuskan mencabut kekuasaan Bung Karno itu," ujarnya. Itulah sebabnya, Ismail Sunny termasuk ahli yang percaya bahwa MPR punya gigi. "Kita punya testcase. Buktinya, tahun 1967 MPRS mencabut kekuasaan presiden," katanya. Ia pula yang mengusulkan agar periode jabatan presiden dibatasi hanya dua kali. Jadi, tambahnya, jika sekarang masa jabatan presiden tak ada batasannya, "itu salah kita sendiri. Kenapa tak dibicarakan pada tahun 1967. Sekarang jika mau diubah, prosedurnya harus lewat referendum." Ketika namanya tercantum sebagai penasihat ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), banyak yang terkejut karena ia dianggap berkompromi dengan Pemerintah. "Jangan jadi oposisi asal oposisi. Sebaiknya kita berjuang dari dalam. Kalau kita bisa mengadakan perubahan dari dalam, apa salahnya?" katanya. Alasan lain tentang sikapnya itu adalah karena "Pemerintah Orde Baru telah mendengarkan dan memperhitungkan umat Islam." Maka, demi "berjuang dari dalam" tadi agaknya Ismail Sunny bersedia menjadi anggota MPR mewakili golongan pendidik. Putera Aceh ini masih rajin olah raga jalan cepat tiga sekali seminggu. Pemikirannya yang tajam tampak pada sembilan buah bukunya dan 186 tulisan ilmiah yang tersebar di berbagai jurnal. "Masih banyak soal ketatanegaraan Indonesia yang perlu dibenahi," katanya. Itu mungkin yang mau diubahnya dari dalam. BAMBANG RIYADI SOEGOMO, 40 tahun, Ketua Dewan Pembina Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Ketua Majelis Pemuda Indonesia dan Ketua bidang Pendidikan dan Kaderisasi Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), Presiden Direktur Kresna Duta Utama Group. Ia lebih kondang sebagai orang bisnis. Sejak awal 1970-an Bambang sudah terjun di dunia ini. Bapaknya adalah bekas Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Lantas dari mana naluri bisnisnya? Ia mengaku berguru pada Ponco Sutowo, anak bekas direktur utama Pertamina Ibnu Sutowo. Dengan rekan kuliahnya di ITB itu mereka berdua kemudian mendirikan PT Pancasani. Keberhasilan itu menjadi alasan untuk memilih jadi pengusaha, ketimbang memanfaatkan gelarnya sebagai sarjana pertambangan. Kini, di bawah bendera Kresna Duta Utama Group, Bambang membawahkan empat perusahaan, mulai dari perkebunan, pertambangan, sampai industri. Politik, kata Bambang, mulai dirambahnya ketika ia aktif di Hipmi tahun 1981. Alasannya? "Tadinya sekadar ingin tahu," katanya. Tetapi, seperti juga bisnis, ia akhirnya juga kepincut. Ia aktif di organisasi FKPPI. "Prinsip saya, kalau mau terjun ke politik, tulang punggungnya harus kuat, supaya tak bisa dibeli," ujarnya. Di panggung politik namanya memang jarang disebut. Sampai kemudian DPP Golkar menunjuknya sebagai juru kampanye April silam di Pekalongan. Namanya tercantum dalam daftar calon anggota DPR nomor 43 untuk Jawa Tengah. Ia tak berhasil masuk parlemen karena perolehan Golkar anjlok di daerah itu. Ia kemudian diusulkan Golkar Jawa Tengah menjadi calon anggota MPR perimbangan dan sudah diteruskan oleh DPP. Tapi itu pun urung karena namanya dicoret bersama 14 calon dari Jawa Tengah. Kecewa? "Tidak. Buat apa kecewa? Semuanya Lillahi taala," katanya. "Tapi ya ... semuanya kan terpulang pada Dewan Pembina." TUTTY ALAWIYAH, 50 tahun, pimpinan Perguruan Asy Syafi'yah, Ketua GUPPI, Ketua Badan Kontak Majelis Taklim, anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan dikenal sebagai ustadza yang laris. "SAYA benar-benar terkejut ketika diberi tahu bahwa saya ditunjuk menjadi anggota MPR," begitu kalimat pertama Tutty Alawiyah manakala dihubungi TEMPO. Karena begitu terkejut. Boleh jadi, Tutty memang tak berpura-pura terkejut. Yang pasti ia mengaku baru tahu pengangkatannya pada Kamis siang pekan lalu, tatkala ada dua petugas men datanginya dan memintanya mengisi formulir anggota MPR. Selain diminta me ngisi data pribadi, ia juga disuruh menuliskan kata "bersedia" atau "tidak" menjadi wakil rakyat. Dan ia menulis "bersedia". Tutty masih menduga-duga mengenai peristiwa yang di luar dugaannya itu. Po koknya, sebentar lagi ia dilantik dan dalam sidang MPR mendatang dan akan bergabung dengan Fraksi Karya Pembangunan. Dan kehadirannya kian menyemarakkan isu "penghijauan" DPR/MPR. Namun ia mengaku tak tahu pengangkatannya untuk program itu. Tapi, perkara hijaunya MPR sekarang baginya bukan sesuatu yang aneh atau merupakan gejala baru. "Sebagai umat mayoritas, wajar saja bila orang Islam memperoleh porsi terbesar di MPR," kata anggota ICMI pimpinan Menteri Habibie itu. ALAMSJAH RATU PERWIRA NEGARA, 67 tahun, purnawirawan, bekas Menteri Agama dan Menko Kesejahteraan Rakyat. Tokoh pemrakarsa "doa politik" untuk terpilihnya kembali Pak Harto sebagai presiden. Mungkin justru orang lain yang terkejut ketika mendengar namanya tercantum dalam daftar anggota MPR. Soalnya, selama ini ia tak disebut-sebut sebagai tokoh yang diusulkan. Orang pun mengaitkan dengan manuvernya beberapa waktu lalu, tatkala ia memelopori apa yang dikenal dengan "doa politik" untuk Pak Harto. Dulu ia pernah menjadi Menteri Agama dan setelah itu Menteri Koordinator Kese jahteraan Rakyat. Ketika diminta pendapatnya mengenai fungsi dan struktur DPR/ MPR selama ini secara umum menurut dia sudah baik. Untuk lima tahun ia tak melihat perlunya penambahan unsur lembaga, misalnya majelis konstitusi untuk mengawasi dan mengevaluasi undang-undang atau peraturan yang bertentangan dengan UUD 45 atau TAP MPR. Tapi ada yang perlu ditingkatkan. Yakni, "Dana untuk tim ahli atau untuk tugas-tugas khusus lembaga yang masih kurang memadai," katanya. K.H. YUSUF HASYIM, 63 tahun, pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jawa Timur, Rais Syuria NU, dan anggota Dewan Penasihat ICMI. Ia orang yang paling beruntung. Namanya tercantum sebagai calon anggota MPR dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Ia memilih sebagai utusan daerah. "Karena bila menjadi utusan golongan, saya harus memilih salah satu fraksi, FKP, FPP, atau FPDI. Itu berarti langkah saya akan terbatas, bahkan tertutup untuk berkomunikasi dengan fraksi lain," begitu alasannya. Ia punya pengalaman dua kali menjadi anggota DPR dari PPP (1972-1982). Karena itu, ia tahu tak enaknya menjadi anggota fraksi tertentu. Tahun 1966-1967 ia juga sempat menjadi anggota DPRGR. Dulu, Yusuf Hasyim memang termasuk tokoh penting PPP. Dalam Sidang Umum MPR 1978, ia menjadi andalan fraksinya dalam menentang TAP mengenai P4 sampai walk out dan kepercayaan dimasukkan dalam GBHN. Bahkan tahun 1982 ia masih berkampanye untuk partai ini, meski Ketua Umum PPP H.J. Naro hanya menaruh namanya pada urutan 34 sebagai calon anggota DPR untuk Jawa Timur. "Tapi, ketika orang-orang NU digusur, saya enggan di PPP dan memilih mengurus pesantren saja," katanya. Awal Juni silam ia dihubungi Muspida Ja-Tim dan ditawari untuk menjadi anggota MPR Utusan Daerah. Menurut dia, ABRIlah yang menjadi sponsornya. Mula-mula Yusuf mencoba menolak, dengan alasan kursi legislatif justru akan membatasi ruang geraknya. "Tapi Muspida mengatakan, penunjukan saya adalah permintaan dari Jakarta. Maka saya terima," ujarnya. Ketika Konperensi Besar NU di Lampung beberapa waktu lalu, ia dijagokan menjadi rais am. Namun ia menolak. "Soalnya saya masih suka mengenakan jins dan menyetir mobil sendiri," dalihnya. Tapi, untuk menjadi anggota MPR, ia siap. Ia, yang biasa dipanggil akrab Pak Ud dan pernah menjadi anggota ABRI itu, punya sederet ide. Misalnya, "Hendaknya ada revisi mengenai tata tertib DPR mendatang, dengan menekankan pentingnya hak inisiatif anggota. Selama ini inisiatif kan datang dari Pemerintah," katanya. Lalu soal anggaran, terutama untuk tugas-tugas perjalanan ke daerah. "Bagai mana mereka akan melakukan kegiatan kalau dananya terbatas? Sebaiknya dipikirkan juga pembentukan perwakilan DPR/MPR di tiap provinsi untuk menampung aspirasi rakyat," katanya. DR. AHMAD WATIK PRATIKNYA, 44 tahun, pimpinan teras PP Muhammadiyah, Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia ICMI. "Saya berharap MPR mendatang tak lagi hanya bersidang dua kali, tapi lebih sering. Tentunya tak harus berupa sidang istimewa," kata Dr. Achmad Watik Pratiknya, yang terpilih sebagai anggota MPR mewakili golongan ulama. Tokoh muda dari Muhammadiyah ini berharap agar masa kerja Badan Pekerja MPR diperpanjang. "Sehingga Badan Pekerja bisa memberikan masukan bagi anggota MPR untuk mempersiapkan GBHN lima tahun berikutnya. Jadi, beban Wanhankamnas bisa diambil alih," kata Watik. Harapan lainnya, "MPR juga hendaknya mampu mengantisipasi adanya perubah an-perubahan global. Jadi, dalam lima tahun mendatang akan ada perubahan segar yang mengacu pada kehendak masyarakat banyak," katanya. Salah satu masalah pokok yang akan dihadapi Indonesia: sumber daya manusia. Sampai saat ini, katanya, belum ada konsep yang utuh untuk menanganinya. "Mimpi saya, agar Departemen Tenaga Kerja diubah jadi Departemen Sumber Daya Manusia." Ahli bedah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini sudah sejak tahun 1985 meninggalkan dunia praktek kedokteran karena kesibukannya di berbagai or ganisasi kemasyarakatan. "Dokter kan tak harus praktek," kata Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan Yogyakarta itu. Namun, di sela kesibukannya itu, ia masih menyediakan waktu untuk mengajar pascasarjana dan tingkat doktoral di almamaternya. Juga ia masih tetap menyediakan rumahnya untuk dijadikan tempat pengajian. Barangkali itu sebabnya, ayah enam anak ini lebih suka dipanggil sebagai dai ketimbang dokter atau politikus. PROF. DR. H. KADIRUN YAHYA, 75 tahun, tokoh spiritual, rektor Universitas Panca Budi Medan. Penampilannya masih segar. Bicaranya masih lantang. "Menjadi anggota MPR tak berarti apa-apa bagi saya," katanya. Tokoh spiritual kondang itu terpilih menjadi anggota MPR sebagai wakil Utusan Daerah Sumatera Utara. Itu sebabnya ia merasa lebih berguna bila melayani jemaahnya. "Dalam sehari lebih dari 50 orang datang kepada saya dengan berbagai persoalan," kata Ayah Guru, begitu dia biasa dipanggil oleh para pengikutnya. Lima tahun yang silam ia pun pernah diminta untuk diangkat jadi anggota MPR, tapi ditolaknya karena terlalu sibuk dengan kegiatannya sehari-hari -- antara lain memimpin hampir 500 surau yang tersebar di seluruh Indonesia. Kini, katanya, "Saya tak bisa menolaknya lagi.". Misinya sebagai anggota MPR nanti? "Saya ingin meningkatkan mental dan disiplin bangsa," katanya. Sebab, ujar tokoh yang menguasai sembilan bahasa asing itu, ekonomi yang kuat dari suatu bangsa, tanpa dibarengi dengan mental yang kukuh, bangsa itu akan mengalami kelumpuhan. Sebaliknya, mental yang kuat tak akan punya arti apa-apa kalau tanpa di barengi ekonomi yang kuat. Itu sebabnya, ahli tarekat dan tasawuf itu tak hanya melulu sibuk dengan urusan spiritual. Ia juga bisnis. "Saya punya 20-an jenis usaha. Seperti perkebunan, dan juga ada yang memproduksi semir sepatu," katanya, sambil menunjukkan produk semir sepatunya merk "Nur Shine". Sri Pudyastuti R., Leila S.Chudori, Priyono B. Sumbogo, Ahmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini