JARANG ada pejabat daerah sempat mengalami kisah unika seperti pejabat Gubernur Sulawesi Tenggara H. Alala. Ketika dia di Jakarta, mengikuti persiapan pelantikan anggota MPR, rumah dinasnya di Kendari diduduki pengunjuk rasa selama hampir satu jam Rabu siang pekan lalu. "Kami tidak menghendaki Alala kembali ke rumah dinas ini," ujar Tumbo Saranani, salah seorang motor demonstran. Aksi pendudukan ini baru berakhir setelah petugas keamanan turun tangan. Suasana panas di Kendari tampaknya belum reda. Kericuhan dalam pemilihan gubernur masih berlanjut. Gara-gara tak tercapai kesepakatan dalam pencalonan di tingkat DPRD I Sul-Tra, Pemerintah memperpanjang masa jabatan Alala selama dua bulan dengan status care taker. Masa dinas Alala yang berlangsung dua periode seharusnya sudah berakhir dua pekan lalu. Perpanjangan masa jabatan Alala itu kini menimbulkan masalah baru. Sekelompok warga yang menamakan diri Forum Perjuangan Aspirasi Rakyat Sul-Tra menentang keputusan itu. Dipimpin oleh Tumbo Sararani, bekas Ketua Komda PSSI SulTra yang sehari-hari menjabat sebagai Ketua Balai Pengabdian Masyarakat Universitas Haluoleo Kendari, mereka menggelar demo tiga hari, yang puncaknya adalah aksi pendudukan "Gedung Putih" -- sebutan bagi kediaman resmi gubernur di sana. Unjuk rasa ini melibatkan sekitar 200 orang, sebagian besar anak muda. Aksi penyerbuan "Gedung Putih" itu masih berkaitan dengan perkara sebelumnya: pencalonan gubernur. Dengan posisi sebagai pejabat gubernur, kelompok demonstran itu khawatir Alala bisa terus bermain untuk memaksakan jagonya terpilih sebagai gubernur yang baru. Persoalannya, jago pilihan Alala yaitu Dr Soleh Solahuddin, yang kini menjabat Rektor Universitas Haluoleo Kendari, tidak bisa diterima oleh Tumbo Saranani dan teman-temannya. Sejak nama Soleh dimunculkan di DPRD, suara-suara yang menentangnya memang santer terdengar. Pencalonan Soleh, pria 48 tahun kelahiran Garut, Ja-Bar, itu dinilai oleh beberapa tokoh SulTra kurang mecerminkan aspirasi daerah. Kendati begitu, Soleh didukung oleh FKP, fraksi terbesar di DPRD Sul-Tra, berjumlah 34 orang dari 45 anggota yang ada. Namun Soleh tidak mendapat simpati Fraksi ABRI. Kedua fraksi terkuat ini rupanya tak mencapai satu kata, walhasil pen calonan gubernur itu jadi berkepanjangan. Selain demonstrasi tadi, kabarnya teror terhadap Soleh pun terjadi. Telepon rumahnya berdering-dering, ada suara bernada mengancam dari sana. Madjid Joenoes, yang dituding bakal bersekongkol dengan Alala mengegolkan pencalonan Soleh, harus menghadapi ancaman yang lebih konkret. Rumahnya beberapa kali dihujani dengan batu. Atap mobil anaknya penyok terkena timpukan batu, sebelah kacanya hancur. Keponakan perempuan Madjid Kamis malam dua pekan lalu terkena sabetan pisau tak jauh dari rumah Ketua DPRD SulTra itu. "Sampai kini dia masih di rumah sakit," kata Madjid masygul. Namun belum ada kon firmasi dari pihak keamanan bahwa penganiayaan itu berkaitan dengan pencalonan gubernur. Kendati harus menghadapi aksi-aksi, yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai tindak kekerasan, Alala tidak menunjukkan sikap gentar. "Saya akan hadapi semuanya," ujarnya di Jakarta. Tentang aksi-aksi itu Alala menilai bukannya gejala yang mewakili aspirasi sebagian besar masyarakat Sul-Tra. "Ada yang merekayasa mereka," ujarnya. H. Alala sendiri terus menjagokan Soleh, adik kelasnya di Agronomi IPB. Alala punya kepentingan agar Gerakan Desa Makmur Merata (Gersamata), program intensifikasi pertanian yang diadaptasikan untuk tanah Sul-Tra yang kering, bisa berlanjut. Soleh, doktor lulusan Wisconsin, AS, itu pernah jadi Ketua Jurusan Agronomi IPB. Ketika mahasiswa Soleh sempat menjabat sebagai Ketua HMI Bogor. Namun awal pekan ini DPRD Sul-Tra masih belum memilih calon final yang akan dikonsultasikan ke Jakarta. FKP tetap pada empat pilihannya termasuk Soleh. Sedangkan FABRI punya enam, di antaranya Prof Eddy A. Mokodompit, bekas rektor Univer sitas Haluoleo, dan Mahfud Jakile, bekas Dirut Bank Tabungan Negara -- dua nama yang bisa menyedot suara FKP. Keenam calon FABRI ini semuanya berbeda dari FKP. Uniknya, di antara calon FABRI itu ada nama Laode Kaimuddin, bekas Ketua Bappeda Sul-Tra yang kemudian terdampar jadi pembantu gubernur wilayah kepulauan. Nama Kaimuddin kabarnya dropping dari Kantor Pusat, dan kini menjadi salah satu jago FABRI. Tapi FKP sendiri menolaknya. "Yang tahu persis mana kader terbaik adalah kami yang di daerah," ujar Madjid Joenoes, Ketua DPRD yang juga tokoh Golkar Sulawesi Tenggara itu. Soal pemilihan gubernur Sul-Tra ini tampaknya masih panjang. Dari empat provinsi yang sedang melakukan pemilihan gubernur, suasana paling panas saat ini memang di Kendari. Suasana Sumatera Barat agak mendingin setelah DPRD setempat sepakat membuat proses pencalonan ulang. Nama Hasan Basri Durin, gubernur yang sekarang, masih disebut-sebut sebagai salah satu calon. Di Ambon, kendati terjadi kelambatan dalam pemilihan gubernur, belum ada gesekan-gesekan keras. Sementara di Jakarta, Mayjen TNI Surjadi Sudirdja menang mutlak dengan meraih 50 suara mengalahkan Brigjen (purnawirawan) Achmadi (11 suara) dan Letjen (purnawirawan) M. Sanif (12 suara) dalam pemilihan di DPRD Senin pekan ini. Sebelumnya calon Kuat Basofi Sudirman mengundurkan diri dan satu calon lainnya, Probosutedjo, ditolak oleh Menteri Rudini. "DPRD menghendaki gubernur dari kalangan militer, dan Pak Probo bukan dari ABRI," kata Menteri Rudini. Aneh juga, mengapa Probo dulu ikut dicalonkan. Gubernur memang jabatan strategis. Tak usah heran kalau ada hal-hal "aneh" di sekitar pemilihan gubernur. Putut Trihusodo (Jakarta), Waspada Santing (Kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini