Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemberi Mandat Yang Diangkat

Peran MPR dalam lima tahun mendatang. badan pekerja MPR akan dihidupkan lagi. DPR sering dikecam kurang mampu menampung aspirasi dari bawah. MPR perlu mengadakan persidangan lebih dari sekali.

3 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA awal kemerdekaan, majelis ini bernama KNIP atau Komite Nasional Indonesia Pusat. Lalu, dalam perjalanannya, pernah bernama Konstituante dan kemudian MPRS, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di masa Orde Lama. Baru tahun 1973, pada zaman Orde Baru, namanya menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Majelis yang dihasilkan pemilihan umum cuma Konstituante dan MPR itu. Sebagai wakil rakyat, semestinyalah majelis ini memegang kekuasaan tertinggi. Karena itu, MPR yang bersidang sedikitnya lima tahun sekali itu punya tugas dan wewenang untuk menetapkan UUD, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), mengangkat kepala negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Majelis juga membuat berbagai ketetapan yang punya nilai penting untuk ketatanegaraan. Namun, lain yang tersurat, lain pula kenyataan dalam prakteknya. "Peranan MPR sebenarnya masih relatif kecil dibandingkan dengan yang ditetapkan UUD 1945," tulis Letnan Jenderal (Pur) Sayidiman Suryohadiprojo, dalam bukunya Pancasila, Islam, dan ABRI. Memang, pada masa senja kekuasaan Presiden Soekarno, majelis pernah berkibar. Itu terjadi setelah tubuh majelis dicuci dengan pembersihan anggota PKI, dan itu berbarengan dengan desakan mahasiswa dan masyarakat yang ingin Bung Karno turun. Maka, 1967, majelis yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution ini memanggil Soekarno dalam Sidang Istimewa untuk memberikan pertanggungjawabannya sehubungan dengan peristiwa G30S-PKI, perekonomian yang morat-marit, dan dekadensi moral. Bung Karno menjawabnya dengan pidato berisi sembilan pokok masalah yang dikenal dengan Nawaksara. MPRS menolak pertanggungjawaban itu, dan Bung Karno pun diberhentikan. Setelah itu, MPRS "digembosi". Mula-mula Ali Moertopo, waktu itu sekretaris pribadi presiden, ingin lebih mengaktifkan sekretaris jenderal MPRS, mirip model organisasi PBB. Namun yang terjadi kemudian, tahun 1971, MPRS dibekukan. Padahal, MPR hasil pemilu baru akan dilantik dua tahun kemudian, 1973. Banyak yang mengartikan tindakan itu sebagai pembekuan pimpinan MPRS A.H. Nasution, yang kebetulan punya pendirian keras dan terlalu aktif kala itu. Setelah DPR/MPR hasil Pemilu 1971 diresmikan, ada pola baru dalam kepemimpinan lembaga tinggi negara itu. Pimpinan DPR dan MPR disatukan. Menurut ahli hukum tata negara Ismail Sunny, keputusan itu selain bertujuan praktis juga punya makna politis. Sebab, dengan menjabat sebagai Ketua MPR sekaligus DPR, orang itu cenderung sulit meminta pertanggungjawaban presiden. "Dari mata presiden, tentu lebih mudah menghadapi satu orang daripada dua orang," kata Wakil Ketua PP Muhammadiyah yang diangkat sebagai anggota MPR dari utusan golongan ini. Dalam perjalanannya, MPR memang pernah tampak gegap-gempita, bukan sekadar "KST" atau kumpul-kumpul, berpekik "setuju . . ." dan tepuk tangan. Ada pergulatan yang alot. Pada saat Sidang Umum 1978 membahas ketetapan mengenai P4, misalnya, Fraksi PP menentangnya dengan gigih. Puncaknya, mereka melakukan walk-out. Toh akhirnya Ketetapan MPR mengenai P4 itu lolos pula. Sebab, mayoritas anggota mendukungnya. Dalam sistem kenegaraan seperti Indonesia saat ini, tak terelakkan bahwa peran birokrasi atau pemerintah lebih menonjol. Apalagi tak ada kekuasaan yang cukup dominan untuk mengawasinya. Rupanya, menurut Amir Santoso, pengajar di FISIP Universitas Indonesia, lemahnya posisi wakil rakyat ini karena titik berat era 25 tahun pertama Orde Baru adalah menyukseskan pembangunan ekonomi. "Di sini sistem check and balance tak berlaku," kata Amir, yang juga direktur eksekutif Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial. Untuk menciptakan sistem pengawasan dan keseimbangan itu, ujar Amir, harusnya ada posisi yang setara di antara lembaga tinggi negara. Namun, dalam praktek, DPR sulit mengontrol eksekutif. Sementara Mahkamah Agung tak punya wewenang hak uji atas undang-undang karya DPR dan pemerintah yang menyimpang dari konstitusi. "Mestinya, MPR diberi hak uji atas undang-undang itu," katanya. Soal lain adalah jumlah anggota majelis yang diangkat. Dari 1.000 anggota MPR, yang dipilih lewat pemilihan umum adalah 400 orang, mewakili tiga organisasi peserta pemilu. Mereka ini adalah anggota DPR bersama 100 anggota ABRI yang diangkat. Selebihnya adalah utusan daerah (146 orang), utusan golongan (100 orang), dan utusan ABRI (50 orang), yang semuanya diangkat. Memang ada anggota perimbangan yang jumlahnya separuh perolehan ketiga peserta pemilu itu. Misalnya, dalam MPR kali ini, Golkar, yang dalam pemilu lalu memperoleh 282 kursi DPR, dalam perimbangan mendapat tambahan 142 kursi. Mereka ini diangkat setelah usulan DPP disetujui Ketua Dewan Pembina, yang kebetulan Presiden sendiri. Bedanya, 31 anggota perimbangan PPP dan 28 orang dari PDI ditentukan sendiri oleh DPP. Semua itu baru sah setelah keluar Keputusan Presiden. Sementara itu, DPR sering dikecam kurang mampu menampung aspirasi dari bawah. Sebagian besar juga kurang memanfaatkan tim ahli yang mendampingi atau perpustakaan untuk menanggapi berbagai persoalan kemasyarakatan (lihat: Menganggurnya Para Ahli DPR) Ia lebih asyik dengan pembuatan rencana undang-udang, dengar pendapat dengan Pemerintah atau usahawan. Berbagai hak DPR sulit dijalankan de ngan berbagai alasan. Pernah pada 1979, saat orang ramai membicarakan milyaran rupiah kerugian Pertamina, keluarlah ga gasan di DPR untuk mengeluarkan hak angket alias penyelidikan atas bocornya duit negara. Sayang, Fraksi Karya menolaknya dengan alasan Pemerintah sudah memberi jawaban. Sewaktu kalangan kampus bergolak lantaran turunnya program NKK/BKK pada 1979, FPP dan FPDI melontarkan usul interpelasi, meminta keterangan Presiden. Namun, lagi-lagi Fraksi Karya yang didukung Fraksi ABRI menolaknya lewat voting. DPR juga punya hak inisiatif. Namun, hak untuk mengajukan rancangan undang- undang ini belum pernah sekali pun dimanfaatkan. Awal tahun ini, PDI, misalnya, menyiapkan RUU Persaingan Ekonomi. Tapi, lantaran ragu bakal didukung fraksi lain -- sebab tata tertib mensyaratkan usul itu di dukung sedikitnya dua fraksi -- PDI cuma puas dengan menjadikannya sebagai bahan simulasi. Bagaimana cara menaikkan gengsi majelis? Amir Santoso mengusulkan perubahan dalam pola rekrutmen. Selama ini, ujar Amir, yang dipakai adalah ukuran biro krasi. Maka, "Banyak masuk dari kalangan pejabat, anak, dan istri para pejabat, juga dari kalangan loyalis," katanya. Harusnya, "Yang dipakai adalah ukuran politis. Yakni, apakah dia mampu menyampaikan aspirasi masyarakat yang diwakili nya," tambah Amir. Sedangkan Sugeng Istanto, mahaguru Fakultas Hukum UGM, menilai bahwa anggota MPR, sekalipun ia dipilih dan ditunjuk Presiden, mestinya tetap mewakili semua warga negara. Untuk meningkatkan sistem check and balance, Sayidiman berpendapat, majelis perlu menggelar persidangan lebih dari sekali, bukan cuma sekali selama lima tahun. Lantas, orang menganggap, kalau MPR bersidang lebih dari sekali selama periode nya, terbuka kemungkinan sidang istimewa untuk minta pertanggungjawaban mandataris yang menyeleweng dari GBHN. Alasan lain, jika MPR bersidang lebih dari sekali akan menelan banyak biaya. Padahal soal biaya ini menjadi relatif, mengingat separuh anggota majelis yang duduk di DPR sepanjang waktu berada di Ibu Kota. Apalagi masa sidang tak sampai berbulan-bulan. Pernah pula diperdebatkan, dengan ha nya sekali bersidang, majelis cuma bisa melimpahkan mandatnya kepada presiden, tanpa bisa menuntut pertanggungjawaban mandatarisnya. Soalnya, presiden mempertanggungjawabkan mandat yang diteri manya kepada MPR dengan anggota baru yang sebagian diangkat itu. Tapi soal ini pun ada bantahannya. Pertanggungjawaban mandataris itu diberikan kepada lembaga MPR dan bukan kepada para anggotanya. Kalau bukan dengan persidangan penuh, beberapa pengamat dan politikus cende rung menyarankan MPR mengaktifkan Badan Pekerja, sebuah lembaga MPR yang bertugas menyiapkan GBHN dan berbagai ketetapan, selama lima tahun. Selama ini, Badan Pekerja cuma aktif sekitar lima bulan, yakni sejak dilantik hingga sidang umum. Mereka bertugas mematangkan GBHN dan rancangan ketetapan lain yang non-GBHN. Sesudah itu, mereka tak bertugas apa-apa. Pimpinan DPR/MPR sekarang ini rupanya sudah memikirkannya. Dalam memori yang akan diserahkan ke pimpinan DPR/MPR baru nanti disebutkan, Badan Pekerja bisa diaktifkan untuk menampung materi sidang umum periode berikutnya. "Mereka juga bisa menyebarkan kuesioner untuk menampung aspirasi mengenai GBHN," kata Wakil Ketua R. Soeprapto. Amir Santoso berpendapat, fungsi Badan Pekerja bisa lebih dari itu. "Fungsi monitoring dan kontrol bisa diberikan ke pada Badan Pekerja itu dan DPR difokuskan untuk melaksanakan fungsi legislasi atau penyusunan undang-undang bersama Pemerintah," katanya. Badan Pekerja itu, misalnya, bisa berfungsi sebagai judicial review, untuk mengontrol perundangan yang melenceng dari konstitusi. Untuk lebih mengangkat pamor MPR, Sayidiman punya usul agar sesedikit mungkin anggota majelis yang diangkat, baik untuk yang dari DPR, utusan daerah, maupun utusan golongan. Namun, lantaran konsensus nasional, bahwa ABRI tak memilih dan dipilih itu masih ada, ABRI masih berhak mendapatkan jatah keanggotaan majelis berdasarkan pengangkatan. "Di luar ABRI sebaiknya tak ada lagi anggota DPR dan MPR yang di angkat-angkat," tulis Sayidiman, yang pernah duduk di MPR (1973-1978). Bagaimana dengan wakil ABRI? Beberapa pengamat politik beranggapan, jatah ABRI perlu dipotong hingga 10% saja di parlemen. Namun, pengamat politik Harry Tjan Silalahi dari CSIS menilai, pembicaraan mengenai jumlah wakil ABRI di ma jelis itu bukan soal pokok. Sebab, akhirnya Fraksi ABRI adalah satu kelompok dengan satu suara. Justru dengan banyaknya anggota, malah bisa memunculkan orang macam Syamsudin, Rukmini, Saiful Sulun, yang menyemarakkan pentas politik DPR dan MPR pada periode lalu. Menurut Sayidiman, soal perwakilan. ABRI ini bisa dibicarakan dengan memper timbangkan kondisi Indonesia masa kini, bukan tahun 1966-1970. Sekarang, kata Sayidiman, Pancasila sudah sepenuhnya di terima sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Karenanya, konsensus tersebut sebenarnya bisa dirembuk lagi. Ardian Taufik Gesuri dan Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus