AKSI buruh bukan barang aneh lagi di berbagai kota besar di Jawa. Tapi, sejak bulan Ramadan lalu, aksi seperti itu sudah merebak ke Medan. Dimulai awal Maret lalu, ketika sejumlah karyawan PT United Rope, perusahaan penghasil jaring dan tali di Jalan Medan-Belawan, menggelar poster di depan pabrik. Mereka menuntut tunjangan hari raya (THR), selain kenaikan upah. Sejak itu, aksi serupa menjalar ke berbagai pabrik lainnya di Medan, bahkan ke kota lainnya, seperti Tebingtinggi dan Tanjungbalai. Menurut catatan TEMPO, sepanjang bulan Ramadan itu di Medan saja terjadi 23 kali aksi buruh, di 22 perusahaan. Jumlah total buruh yang terlibat dalam unjuk rasa itu cukup besar, sekitar 30 ribu orang. Puncaknya terjadi 11 Maret lalu. Hari itu di Medan saja ada 6.000 buruh dari enam perusahaan yang berdemo. Aksi terbesar terjadi di PT Industri Karet Deli (IKD). Mulanya, aksi mogok sekitar 3.000 buruh di pabrik karet ini berjalan tertib. Tapi manajer personalia perusahaan pengolah karet alam itu, R.W. Siahaan, dianggap mengejek massa. Satpam ikut pula merobek- robek poster. Massa marah. Pabrik diserbu. Kantor dan laboratoriumnya luluh-lantak kena amukan. Aksi perusakan terjadi pula di dua pabrik lainnya di kota itu, di PT Gunung Gahapi Sakti dan PT Cipta Rimba Djaya. Setelah puas mengamuk, para buruh itu bergerombol di jalan. Sorenya, polisi anti huru-hara datang mengurung demonstran. Gas air mata ditembakkan, dan sekitar 29 buruh ditangkap. Suasana menjadi kacau, para buruh lari serabutan. Di tengah kekacauan inilah Rusli, 30 tahun, karyawan IKD, jatuh dari jembatan yang melintasi Sungai Deli. Jenazahnya ditemukan dua hari kemudian. Keesokan harinya, sekitar 15 ribu buruh dari enam perusahaan melancarkan aksi solidaritas ke DPRD Sumatera Utara dan kantor kepolisian Medan. Mereka menuntut agar rekan mereka yang ditahan dibebaskan. Mereka bubar setelah Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapoltabes) Medan Kolonel Kairuddin Ismail berjanji melepaskan buruh yang tak bersalah. Buruh yang ditahan memang dilepaskan, kecuali 16 orang yang dituduh sebagai penggerak kerusuhan. Sementara itu, tak ada satu pun pengusaha yang tak memberikan THR yang diperiksa polisi. "Masa hanya buruh yang ditangkap, sementara pengusaha yang melanggar hukum tak diperiksa," kata Muzakir Ridha, Ketua Umum Badan Koordinasi HMI Sumatera Bagian Utara. Polisi punya alasan. Pembayaran THR belum menjadi peraturan, sehingga polisi tak punya alasan mengusut para pengusaha itu. "Buruh yang ditangkapi itu pun bukan karena unjuk rasa soal THR. Mereka merusak barang milik pabrik," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Sumatera Utara Letnan Kolonel Leo Sukardi. Karena itu, ada perusahaan yang sama sekali tak memberikan THR. Ada pula yang membayar THR sesukanya. Di PT Kelambir Jaya, misalnya, ada buruh yang mendapat THR hanya Rp 10 ribu. Waktu pemberiannya pun ditunda-tunda sampai menjelang Lebaran. "Kalau THR diberikan lebih awal, nanti karyawan banyak yang mudik," kilah Akiang dari PT Nusa Pusaka Kencana, Tebingtinggi. Aksi buruh menuntut THR di Medan itu, tampaknya, tak perlu lagi terjadi tahun depan. Soalnya, Pemerintah sudah mewajibkan pengusaha memberikan THR sebesar minimal satu bulan gaji. Dan itu harus dibayarkan dua minggu sebelum Lebaran. Ini diucapkan Menteri Tenaga Kerja A. Latief seusai menghadap Presiden Soeharto, Kamis pekan lalu. "Jadi, nantinya THR itu normatif dan tak perlu dituntut lagi. Kalau pengusaha tak memberi, bisa dituntut," kata Latief.BHS, Sarluhut Napitupulu, dan Mukhlizardy Mukhtar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini