Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), sebuah wadah gerakan kritis para akademisi, menemukan pola keberulangan ulah buzzer atau kelompok pendengung. Utamanya dalam menyerang dan menebar teror terhadap akademisi yang sedang mengkritik penguasa. Metodenya acapkali berupa serangan siber di media sosial.
"Buzzer secara tidak langsung dapat menyudutkan gerakan mahasiswa yang kritis,” kata Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana Prakasa, kepada Tempo pada Jumat, 19 Juli 2024. Menurut pria yang juga Direktur Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi Universitas Muhammadiyah Surabaya itu, serangan pendengung diduga bertujuan untuk menggembosi solidaritas gerakan sipil dari insan kampus.
Fenomena gerakan pendengung mulai masif sejak 2019, ketika pemerintah dan parlemen merombak undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Merujuk pada kelompok bayaran untuk membela penguasa. Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pernah memetakan kerja-kerja pasukan siber yang mendukung pelemahan lembaga antirasuah. Lalu menyerang kelompok masyarakat sipil yang menolak revisi undang-undang.
Kemunculannya makin masif ketika masyarakat sipil mengkritik pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pendengung tak hanya menyerang aktivis dan akademisi, juga bekerja untuk memanipulasi opini untuk mendukung kebijakan pemerintah yang keliru. Pola gerakan ini bahkan digunakan pada masa pemilu untuk memoles citra jagoan masing-masing.
Menurut Satria, fenomena kelompok buzzer sudah dia amati sejak lama. Lantaran ulah mereka yang mengancam dan mengintimidasi gerakan mahasiswa atau akademisi. Salah satu contohnya adalah penggembosan gerakan pembebasan uang kuliah tunggal (UKT) yang sedang dikampanyekan mahasiswa beberapa waktu lalu.
Saat gerakan ini bermunculan beberapa bulan terakhir, Satria melihat terdapat beberapa komentar buzzer di media sosial yang terkesan menyudutkan langkah mahasiswa untuk bersuara dengan daya kritisnya. “Tak heran karena para pakar dan mahasiswa atau mereka yang masuk dalam kelompok kritis, akan terus disudutkan dan pendapatnya dibatasi dengan narasi-narasi tertentu."
Pembungkaman kebebasan sipil melalui kelompok buzzer hanya satu dari empat model pelanggaran kebebasan akademik yang ditemukan oleh KIKA. Empat model ini di antaranya; serangan terhadap gerakan mahasiswa, pemberhentian Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) secara sepihak, ancaman terhadap insan akademik yang fokus terhadap advokasi masalah sumber daya alam, dan polemik insan akademik seperti plagiasi karya ilmiah atau pengangkatan guru besar bermasalah.
Pelbagai jenis masalah itu terpotret dalam 27 jenis kasus yang sempat didampingi KIKA pada medio 2023-2024. Masalah-masalah ini kemudian dibahas dalam pertemuan tahunan yang digelar di Universitas Gadjah Mada pada 11-12 Juli lalu. Mereka mendapati bahwa teror yang acapkali menimpa akademisi terjadi terus-menerus memanfaatkan instrumen otoritarianisme digital.
Otoritarianisme digital yang dimaksud Satria adalah kemajuan teknologi yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memantau dan mengontrol aktivitas sipil di media sosial. Contohnya adalah serangan siber terhadap aktivitas akademik dan penundukan kampus oleh otoritas negara. Dia nilai sebagai upaya menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan keilmuan.
Dalam konteks yang lebih luas, menurut KIKA, otoritarianisme digital dan kebebasan akademik juga terkait dengan demokrasi yang melemah. Represi terhadap kebebasan akademik dan pers dapat menjadi bagian dari strategi politik kekuasaan untuk mengawetkan sistem otoriter.
“Kami berharap outlook kebebasan akademik pada 2024 dan di tahun-tahun mendatang, bisa lebih transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian persoalan integritas akademik,” ucap dia. Dia turut mendorong adaptasi insan kampus dan masyarakat sipil dalam membentengi kebebasan akademik yang sedang tertekan akibat serangan, ancaman, dan intimidasi oleh otoritas kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini