Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 28 tahun lalu, terjadi kerusuhan atau dikenal dengan Peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli. Tepatnya Sabtu 27 Juli 1996, kerusuhan ini menjadi sejarah kelam dalam dunia politik Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa itu bermula dari dualisme di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketua Umum PDI hasil kongres Medan, Soerjadi, menyerbu dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, yang diduduki Ketua Umum PDI Kongres Surabaya, Megawati Soekarnoputri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kronologi menjelang peristiwa Sabtu Kelabu Kudatuli
4 Juni 1996:
Enam belas pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia, dimotori Fatimah Achmad, S.H, yang lalu disebut Kelompok 16, membentuk panitia Kongres PDI. Mereka menggugat musyawarah nasional yang memilih Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Kelompok ini didukung pemerintah dan ABRI.
5 Juni 1996
Kelompok 16 memutuskan menyelenggarakan kongres di Medan. Kelompok Mega menolak.
19 Juni 1996
Ribuan warga PDI pro-Mega melakukan long march dari Jalan Thamrin ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Mimbar demokrasi atau sering disebut mimbar bebas pun dimulai. Mega memecat Kelompok 16.
20 Juni 1996
Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. membuka Kongres PDI di Medan, Sumatera Utara, dihadiri Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Di Jakarta, massa PDI pro-Mega bentrok dengan aparat keamanan di Gambir.
21 Juni 1996
Megawati menyatakan dirinya tetap sebagai Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI periode 1993-1998.
22 Juni 1996
Kongres PDI di Medan memilih Drs. Soerjadi sebagai ketua umum dan sehari kemudian menunjuk Buttu Hutapea sebagai sekretaris jenderal.
15 Juli 1996
Pertemuan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid, Syamsir Siregar (Badan Intelijen ABRI), dan Asisten Sosial Politik ABRI Soewarno Adiwidjojo membahas dan menyetujui pengambilalihan paksa kantor PDI, pengucuran dana Rp 300 juta, dan penyiapan 500 personel dengan tongkat sebagai senjata.
23 Juli 1996
Kolonel Haryanto, Letkol Budi Purnama, Lukman Mokoginta, dan Sahala Sinaga di Cibubur membicarakan rencana penyerbuan kantor PDI. Kepada penyidik Markas Besar Kepolisian RI, Lukman mengatakan menolak berpartisipasi dan mengundurkan diri dari operasi itu.
24 Juli 1996
Pertemuan di Komando Daerah Militer Jaya, yang dipimpin Kepala Staf Kodam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono, dihadiri Brigjen Zacky A. Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar, memutuskan penyerbuan dan pengambilalihan kantor PDI.
25 Juli 199
Presiden Soeharto menerima 11 anggota Dewan Pimpinan Pusat PDI hasil kongres Medan di Bina Graha. Soeharto mengatakan mimbar bebas di Jalan Diponegoro 58 telah disusupi "setan gundul" dan harus dihentikan.
27 Juli 1996
PDI pro-kongres Medan mengambil alih paksa kantor PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat. Bentrokan berdarah pecah. Bentrokan itu meluas menjadi kerusuhan di sebagian Jakarta.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan. Sebanyak 22 bangunan terbakar dan 91 kendaraan bermotor hangus. Kerugian material ditaksir sekitar Rp 100 miliar.
Pemerintah menuding Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan Budiman Sudjatmiko sebagai dalang kerusuhan yang kelak disebut Kudatuli. Sebelum 27 Juli, hampir selama sebulan, aktivis PRD turut menggelar orasi-orasi di halaman kantor PDI mengkritik pemerintahan Orde Baru.
MICHELLE GABRIELA | TAUFIK RUMADAUL
Pilihan Editor: Aksi Teatrikal PDI Perjuangan Mengenang Peristiwa Kudatuli