Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kilau Devisa di Balik Cangkang Tiram

Beberapa lokasi di perairan Banyuwangi sangat kondusif untuk budi daya tiram mutiara. Pasar Eropa meminatinya.

5 Mei 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasbi memicingkan mata sambil menyorotkan lampu kecil ke dalam cangkang tiram yang setengah terbuka. Dia menyayat sedikit daging tiram di antara cangkang itu dengan pisau mungil. Di baliknya tampak sebutir mutiara berdiameter 10 milimeter. Dengan bantuan kaikoki, dia sangat hati-hati mengangkat benda berkilau itu.

Akibat sayatan kecil yang akurat, tiram itu ternyata "ra popo". Setelah mengambil mutiara, lelaki 35 tahun itu meletakkan inti mutiara atau nukleus berukuran 7,36 milimeter melalui bekas sayatan di tubuh tiram. Lalu tiram dikembalikan lagi ke Teluk Banyubiru, Kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi, hingga masa panen berikutnya, dua tahun mendatang.

"Tiram ini baru pertama panen, jadi masih bisa dipakai lagi," kata teknisi yang sudah 15 tahun bekerja di PT Autore Pearl Culture, perusahaan asal Australia yang menangani panen mutiara, ini. Tiram yang dibudidayakan jenis Pinctada maxima dengan cangkang terbesar 12 sentimeter.

Kegiatan mengangkat mutiara itu membuat Autore Pearl lebih sibuk sejak tiga pekan lalu hingga Kamis besok. Hasil panen diproses di dalam Rukun Arta Santosa, kapal seberat 180 gross ton asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kapal ini hanya berlayar ke Banyuwangi saat panen dengan membawa 50 teknisi. Di dalamnya ada meja-meja operasi, ruangan sinar-X, dan tempat penyimpanan.

Budi daya tiram mutiara itu milik PT Disthi Mutiara Suci, yang berpusat di Jakarta. Disthi merupakan perusahaan pertama yang membudidayakan tiram mutiara di Banyuwangi sejak 2006. Sebelumnya, budi daya tiram mutiara lebih banyak dilakukan di Indonesia timur, seperti Maluku, Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Sejak 2007, perusahaan ini menggandeng Autore untuk menangani panen hingga ekspor. "Indonesia timur sudah padat, kami cari tempat baru di Jawa yang masih sepi," kata Direktur PT Disthi Muhammad Taufik Dwikomara, Selasa pekan lalu.

Disthi mengantongi izin budi daya tiram seluas 400 hektare di Teluk Banyubiru. Baru 150 hektare yang sudah digarap. Banyubiru berada di Selat Bali, kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Teluk berpasir putih ini hanya bisa ditempuh berperahu menyeberangi Perairan Muncar selama dua jam.

Mulanya, pada 1998, Disthi hanya membudidayakan tiram atau kerang di Teluk Terima, Taman Nasional Bali Barat, Buleleng, Bali. Di perairan seluas 36 hektare ini Disthi mengembangkan indukan tiram hingga pembesaran bibit berukuran 6-7 sentimeter. Tiram yang siap diisi nukleus ini kemudian dijual ke perusahaan produsen mutiara.

Produksi mutiara dimulai pada 2006. "Kami mencari perairan lain melalui Internet," kata Taufik. Disthi tertarik pada Jawa, yang belum dikembangkan. Banyuwangi memiliki laut paling panjang di Jawa dengan garis pantai 175 kilometer. Pilihan jatuh pada Banyubiru yang perawan.

Menurut Taufik, budi daya tiram mutiara memerlukan beberapa syarat. Lautnya harus tenang, jauh dari permukiman, dan bebas limbah industri. Teluk disukai karena melindungi tempat budi daya dari ombak besar. Tapi arusnya juga harus lancar agar sering membawa plankton, makanan utama tiram.

Syarat lain: kedalaman laut maksimal 35 meter dan cahaya matahari bisa masuk hingga kedalaman 15 meter. Kadar keasinan air laut (salinitas) 32-35 promil. "Bila syarat itu tak terpenuhi, kualitas mutiaranya jelek," kata Taufik.

Ketika baru memulai pengembangan, sekitar 100 ribu bibit berukuran 2-3 milimeter yang ditanam di Banyuwangi binasa karena penurunan temperatur air laut dari 32 menjadi 23-24 derajat Celsius. Setahun kemudian Disthi mendatangkan kembali bibit dari Bali. Perusahaan langsung menggandeng Autore, yang punya peralatan panen dan teknisi. Autore berinvestasi di Indonesia dan memiliki lima tempat pembudidayaan tiram mutiara di Lombok dan Sumbawa lebih dari 15 tahun.

Budi daya tiram mutiara membutuhkan proses panjang. Dari pemijahan hingga panen pertama butuh empat tahun. Panen kedua memerlukan dua tahun. Agar berkualitas, indukan harus sehat. Ciri-cirinya, cangkang berukuran 17-20 sentimeter, umur 5-7 tahun, dan hormon kelaminnya (gonad) telah matang.

Indukan dipijah dalam bak khusus. Disthi punya 100 induk yang bisa menghasilkan 60-70 ribu bibit. Setelah 30 hari di bak dan berukuran 1,5-2 milimeter, bibit tiram dipindah ke jaring nilon. Jaring ini digantung di longline dan dipelihara di laut. Pembesaran bibit perlu 18-24 bulan untuk menghasilkan tiram berukuran 10 sentimeter.

Disthi punya 112 longline, masing-masing berisi 2.400 keping tiram. Longline itu terdiri atas bola pelampung yang di bawahnya tergantung seutas tali sepanjang 3-5 meter untuk mengikat jaring berisi tiram. Dalam satu jaring terdapat 6-8 keping tiram, tergantung ukurannya. Implantasi inti mutiara dilakukan ketika tiram berukuran 10 sentimeter. Ini proses terpenting karena menentukan keberhasilan panen.

Lima bulan kemudian tiram saibo diangkat untuk dibersihkan dari lumut dan ganggang yang menempel pada cangkang. Setelah bersih, tiram diperiksa melalui sinar-X, untuk melihat apakah nukleus masih ada atau dimuntahkan. Selama ini 80 persen dari penanaman nukleus berhasil, sisanya dimuntahkan. Bila nukleus masih ada, tiram segera dikembalikan lagi ke laut. Yang dimuntahkan akan diganti baru. "Selama penenggelaman di laut, tiram hanya disemprot dengan air laut sebulan sekali untuk mengurangi lumut," kata Taufik, alumnus Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

Nukleus didatangkan dari Jepang 70-80 ribu butir setahun. Manajer Operasional Autore Steven Rothwell mengatakan Jepang memproduksi nukleus dari kulit kerang air tawar Sungai Mississippi, Amerika Serikat. "Nukleus dari Mississippi terbaik di dunia," kata lelaki Selandia Baru berusia 40 tahun itu. Butiran nukleus terkecil berdiameter 7,36 milimeter dan harganya Rp 50 ribu per butir. Adapun yang paling besar 20 milimeter seharga Rp 1 juta lebih.

Tiram berisi nukleus dibenamkan di laut selama satu setengah tahun hingga berukuran 20 sentimeter dan siap panen. Dalam setahun panen berlangsung pada April-Mei dan Oktober-November. Dari 60 ribu tiram bisa dihasilkan 40 kilogram mutiara putih. Sekitar 20 persennya berwarna keemasan.

Harga mutiara putih dan keemasan tak jauh berbeda asalkan memenuhi kriteria kualitas super. Bentuknya harus bundar, permukaannya mulus, berkilau, serta diameternya minimal 10 mm. Mutiara emas memiliki penggemar tertentu, meski peminat mutiara putih tetap tinggi. Dalam setahun omzet budi daya tiram mutiara itu sedikitnya Rp 10 miliar.

Hasil produksi mutiara diekspor ke Australia dengan harga 6.000 yen per momme atau setara dengan Rp 150 ribu per gram untuk kualitas super dan 500 yen per momme untuk kualitas rendah. Di Australia, butiran mutiara itu diproses lagi menjadi perhiasan, yang sebagian besar dikirim ke Eropa. Di Eropa, harganya melambung hingga puluhan juta euro. Harga mutiara tergantung kestabilan ekonomi Australia dan negara-negara di Eropa. Krisis ekonomi pada 2008, misalnya, membuat harga dan ekspor mutiara anjlok 50 persen.

Di pasar dunia, mutiara Indonesia bersaing ketat dengan mutiara Australia dan Malaysia. Namun Indonesia merupakan satu-satunya penghasil mutiara emas. "Negara lain tak punya mutiara emas," ujar Rothwell.

Bisnis budi daya tiram mutiara memang menggiurkan. Hasilnya sebanding dengan modalnya. Modal investasi sedikitnya Rp 5 miliar dan Rp 500 juta per bulan untuk ongkos produksi. Pengeluaran rutin terbesar adalah gaji 80 pekerja dan bahan bakar kapal. Disthi mengoperasikan empat perahu motor patroli dan dua perahu untuk mengangkut logistik dan karyawan.

Patroli harus sering dilakukan karena tingkat pencurian sangat tinggi. Selama 2010-2012 saja, kata Taufik, terjadi lima kali pencurian. Biasanya maling menyelam lalu mencuri tiram di longline yang siap panen. Untuk menjaga tiramnya, Disthi mempekerjakan 28 petugas keamanan.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi Pudjo Hartanto mengatakan budi daya tiram mutiara di wilayahnya menjadi peluang baru. Pemerintah daerah telah mengidentifikasi, selain Teluk Banyubiru, ada empat teluk lain yang berpotensi dikembangkan untuk budi daya mutiara, yakni Teluk Hijau, Rajegwesi, Sakeben, dan Kremisan. "Keempatnya punya karakter yang sama dengan Banyubiru," katanya.

Dia mengungkapkan saat ini ada investor lain yang tertarik membudidayakan tiram mutiara di sana. Investor itu telah meninjau keempat lokasi yang direkomendasikannya. Budi daya tiram mutiara, menurut dia, cukup prospektif karena minat pasar luar negeri sangat tinggi. Meski begitu, pemerintah Banyuwangi hanya bisa mempermudah perizinan budi daya ini serta membantu sosialisasi kepada nelayan agar tidak terjadi benturan di laut. l

Endri Kurniawati, Ika Ningtyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus