Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA Galeri 2, Langgeng Art Foundation (LAF), Jalan Suryodiningratan 37, Yogyakarta, petang itu sudah mirip kapal pecah. Ember plastik, meja bambu, botol dan tabung-tabung ramping, sampai akuarium berbaur dengan juluran kabel, layar televisi LCD, dan laptop di mana-mana. Di lantai, ada silang-silang jalur yang meruapkan bau tanah, menghubungkan penonton dengan centang-perenang obyek dan pelaku eksperimen. Sejumlah peserta pameran sibuk mengutak-atik karya. Inilah pameran "#HLab 14 (Hackteria Lab 2014)", proyek kerja sama antara para peretas, ilmuwan, peneliti, dan seniman, yang berlangsung sejak 25 April sampai 2 Mei ini.
Pameran ini hasil boyongan dari sejumlah riset dan lokakarya yang diadakan sebelumnya (13-25 April) di berbagai tempat di Yogya yang diselenggarakan komunitas Lifepatch (Yogyakarta) dan International Hackteria Society. Lebih dari 40 peserta dari berbagai negara memanfaatkan proyek pemetaan lingkungan yang dikerjakan sejumlah komunitas dan lembaga. Reklamasi tanah pertanian pasca-letusan Gunung Merapi (2010) dilakukan oleh Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, pengawasan sungai dan kandungan bakteri E. coli oleh komunitas Lifepatch (Yogyakarta), serta upaya pelestarian keberagaman hayati di Hutan Wonosadi oleh kelompok Green Tech. Apa yang kita temukan di pameran ini?
Sejumlah peserta lintas negara mempraktekkan biological orchestra exploitation project (BIOSC). Kita mengenal istilah ini, misalnya, sebagai institusi riset lintas disiplin yang mengembangkan bioekonomi berkelanjutan (bioeconomy science centre). Kerjanya memproduksi biomassa berbasis tumbuhan dengan memperhitungkan keberagaman hayati serta kelestarian sumber lingkungan air dan tanah. Tapi, sejauh yang tampak di ruang pameran, BIOSC adalah karya artistik bebunyian.
Para pesertanya mengamati bebatuan di pinggiran Kali Code. Mereka mengikis jamur bersel tunggal yang membentuk dinding dan menutup pori-pori batu. Itulah organisme kecil yang selama ini menyumbang kekeruhan pada air sungai. Nah, di pameran ini, kita dapat mengamati apa yang terjadi dengan jamur yang memisahkan diri dari diatom-diatom ini di dalam botol setelah contoh air terkonsentrasi. Di layar video, kita menyaksikan "orkestrasi" bebunyian yang dilakukan warga dengan bebatuan yang sudah bersih dari jamur.
Di tengah ruangan, ada jalinan berwarna kuning dan abu-abu mirip perahu sekoci. Ini adalah semacam pompa penyedot air yang dilengkapi perangkat sistem navigasi satelit (GPS). Dengan alat ini, pengambilan dan pengamatan sampel air sungai yang tercemar dapat dilakukan dengan lebih presisi. Alat canggih ini dilengkapi relay untuk menghidupkan pompa pada titik-titik koordinat di area sungai yang sudah dipetakan.
Kita menjumpai kelindan antara proses pengamatan yang terus berkembang dan hasil akhir yang masih perlu pengujian. Dengan kata lain, kelindan antara seni dan dunia hayati adalah ambang yang terus-menerus melakukan pelintasan. Pengamatan mikroskopis pada makhluk-makhluk di luar radar pengamatan artistik yang lazim ini disebut oleh Grace Samboh, kurator pameran, sebagai disiplin "non-seni". Dia menulis, "Proyek #HLab 14 adalah sejumlah instalasi bunyi, instalasi interaktif yang menggunakan makhluk hidup sebagai medium, jejak peristiwa kerja sama dengan banyak orang, gagasan, dan purwarupa."
Ada lagi proyek "Yogya Natto", yang mencari bakteri natto dari tanaman beras lokal. Natto adalah makanan tradisional yang sehat berbahan kacang kedelai yang dikenal di Jepang. Sang seniman berupaya mencari kesamaan antara tempat asalnya di Jepang dan lokasi baru yang dikunjungi di sekitar Yogya melalui penelitian mikroorganisme.
Sebuah poster mencolok terpacak di dinding: "DILDOMANCY, micro-organism macro-pleasure". Ada sejumlah benda berbentuk batangan berbahan silikon warna-warni dipajang di atas meja. Ini adalah proyek pembuatan alat bantu seksual yang memanfaatkan bahan-bahan lokal. Hasilnya adalah personal lubricant berbasis air dan tepung dengan kadar keasaman (pH) nol. Pelumas kenikmatan personal ini lebih sehat untuk kulit dibanding yang berbahan plastik.
Percobaan lain menyasar kulit kayu pohon-pohon di Hutan Wonosadi, yang memiliki sari etanol antimikroba. Zat ini ternyata lebih tangguh dibanding antibiotik yang selama ini dikenal. Pekerjaan ini mengingatkan upaya "demokratisasi energi" yang pernah dipresentasikan komunitas HONF (Yogyakarta) di LAF, dua tahun lalu. HONF memprovokasi kita untuk memanfaatkan sumber energi etanol-berbasis alkohol-dari bahan jerami melalui proses peragian. Tiap 25 ton jerami akan memproduksi 1.500 liter etanol dengan kadar 98 persen atau 2.000 liter berkadar 70 persen. Adapun limbah etanol masih berguna untuk pakan ikan dan ternak serta buat pupuk.
Wacana eksperimen para seniman berbasis sains terapan-bersama penduduk setempat-semacam ini kerap disebut sebagai sains-warga, yakni sains yang bisa diinisiasi dan dipraktekkan warga didukung teknologi tepat guna dan modal swadaya. Semangat itu menjalar dari wacana seni DIY (do it yourself), DIWO (do it with others), serta sumber-sumber terbuka, bersandar pada eksperimentasi lintas jalur dan sikap mandiri.
Proyek-proyek seni seperti ini kiranya menunjukkan satu hal: perkembangan riset artistik pada ranah visual yang makin melintas ke berbagai bidang. Kritikus Allan Kaprow pernah menyebutnya sebagai seni yang memiliki kemiripan dengan kehidupan itu sendiri ("lifelike" art). Pada ranah ini, kata Kaprow, seni tidak lagi berdiskusi dengan seni yang lain, tapi dengan kehidupan luas itu sendiri, termasuk makhluk-makhluk kecil di bawah radar pengamatan biasa.
Hendro Wiyanto, Pengamat Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo