Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPAKAH yang lebih bebas: Tuhan atau makhluk-Nya? Siapakah yang lebih kelihatan marah-marah: Tuhan atau makhluk-Nya? Kadang-kadang kita bisa menjawabnya dengan mudah, tapi sering juga kita kesukaran untuk menjawabnya. Seperti dalam situasi seperti ini: kadang saat seseorang dalam situasi yang sangat sulit dan membutuhkan pertolongan-Nya serta mendesak-desak Dia hadir, ternyata Tuhan tidak hadir. Sang makhluk mengkritik Tuhan terlalu pendiam. Tapi, tentang hal ini, tunggu dulu.
Di Galeri Salihara, Jalan Salihara Nomor 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Haris Purnomo memamerkan 13 lukisan potret besar-besar dan 60 patung menggambarkan orang-orang bersujud dari bahan fiberglass. Pameran yang diberi judul "Luka" yang berlangsung mulai 27 April sampai 11 Mei 2014 itu seperti memberi isyarat tentang iman.
Lukisan-lukisan potret Haris yang besar-besar tidak hanya menampilkan tokoh-tokoh nasional kita, tapi juga orang-orang biasa di sekeliling kita. Mengamati lukisan potret itu seperti mengayunkan iman kita, sejauh apa pertimbangan kita tentang tokoh seperti Bung Karno, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Hoegeng, Munir, Mohamad Kasim Arifin, dan orang-orang biasa ketika potret mereka dipajang sejajar di dinding.
Sementara banyak tokoh yang datang dari desa, sebagaimana orang-orang desa kebanyakan yang berbaur di kota, mereka berkantor di gedung yang sama. Suatu hal yang tidak bisa begitu saja dianggap selesai, sementara perbedaan yang tajam mengoyak kedudukan sosial mereka. Di sini luka itu menganga.
Haris mencoba mengubur perbedaan jenjang sosial mereka dengan memberinya tato seragam: naga pada wajah mereka, tapi kelihatannya terlambat. Kehidupan kota begitu sangat jelas melemparkan jasad mereka menjadi ukuran yang mau tidak mau harus dipertimbangkan. Lebih-lebih lagi mereka tidak dikenali ketika terkapar di lantai karena tempelan plester yang memenuhi wajah mereka dengan nama-nama korban penculikan yang hilang hingga sekarang. Di sini luka 1998.
Yang mengejutkan, Haris juga menghadirkan video art penyiksaan terhadap seseorang yang jadi tertuduh dengan pemukulan dan tempelengan berikut plester yang lama-kelamaan bertumpuk-tumpuk menutupi wajahnya. Ini luka yang tidak selesai-selesai.
Kemudian Haris menghadirkan patung-patung yang monumental dan spektakuler-60 buah banyaknya-yang disusun di atas lantai miring dalam kedudukan sedang bersujud. Bahkan wajah patung-patung yang bersujud itu sampai terbenam ke dalam lantai.
Patung-patung itu dibalut perban yang lebih terkesan seperti kain kafan. Apa yang terjadi? Jemaah yang khusyuk sampai wajahnya membenam ke dalam lantai saat bersujud itu simbol dari Islam yang kafah yang justru diombang-ambingkan oleh tindakan-tindakan yang jauh dari sifat damai.
Saya menangkap patung-patung terbebat ini bagai cerminan dari warga sederhana yang ingin beribadah secara sungguh-sungguh dan menjalankan syariat agamanya dengan ikhlas. Tapi kemudian ada kelompok garis keras yang senantiasa mengawasi dan mengoreksi ibadah orang-orang yang patuh ini.
Kelompok ini menjadi agen tunggal kebenaran. Mereka mengatasnamakan Tuhan lalu melakukan sweeping di mana saja tentang segala hal, merusak, dan memukuli orang-orang tidak bersalah. Akhirnya kelompok garis keras ini ketahuan kepincut kekuasaan. Banyak di antaranya yang merasa menjadi pemilik sejati Tuhan. Kemudian tindakan selanjutnya memonopoli Tuhan.
Ini luka yang menganga. Karena mereka merasa menjadi pemilik Tuhan, siapa pun dilarang mendekati, beribadah, dan mencintai-Nya seperti mereka. Kelompok ini menolak berdialog karena, jika bersedia melakukannya, mereka akan keok karena ketahuan tak pernah membaca. Di tangan mereka, agama jadi bencana.
Kemudian warga-warga yang ikhlas ini mereka usir dari kampung halamannya. Harta benda, martabat, dan nyawa makhluk-makhluk yang bersujud itu ludes. Yang mengerikan adalah negara tidak dapat melindungi mereka. Dan tokoh-tokoh yang kedudukannya sangat bisa menanggulangi bersimaharajalelanya marabahaya ini malah "melarikan diri".
Warga yang terusir, terbunuh, dan terhina itu hanya bisa menangis di hadapan Tuhan, memohon supaya diselamatkan dari setiap marabahaya. Mereka memohon kepada Tuhan untuk dipulangkan ke kampung halamannya dengan aman dan selamat.
Haris menggambarkan jemaah yang memiliki sifat tauhid Allah itu begitu sederhana dan menyentuh. Patung-patung yang dibungkus perban itu, menurut saya, menjadi cerminan dari bersujud sampai hilang, menjadi bebas dari sifat-sifat yang menindas sesamanya. Sesamanya adalah dirinya. Sesamanya adalah surganya.
Danarto, Sastrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo