Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa G30S 1965 menyisakan kelam dan duka bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, ada 6 Jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan satu Letnan Satu terbunuh. Penangkapan tersebut dilancarkan oleh Tjakrabirawa, pasukan khusus pengawal Presiden Soekarno pada masa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korban peristiwa G30S meliputi Letnan Jenderal TNI AD Ahmad Yani, Mayor Jenderal TNI AD Raden Suprapto, Mayor Jenderal TNI AD Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal TNI AD Siswondo Parman, Brigadir Jenderal TNI AD Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal TNI AD Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan TNI AD Pierre Andreas Tendean. Mereka yang menjadi korban G30S ini kemudian diangkat sebagai Pahlawan Revolusi. Selain ketujuh anggota TNI AD tersebut, ada juga seorang polisi yang menjadi korban, yaitu KS Tubun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para jenderal tersebut rencananya akan ditangkap untuk menghadap Sukarno atas isu bahwa mereka mendirikan Dewan Jenderal. Dewan Jenderal tersebut dituduh hendak melakukan kudeta pada 5 Oktober. Fitnah yang diembuskan berujung dibunuhnya para jenderal dan perwira, jenazahnya dibuang ke sumur lubang buaya.
Profil KS Tubun
Karel Sadsuitubun atau Karel Satsuit Tubun (KS Tubun) lahir di Tual, Kota Maluku Tenggara, pada 14 Oktober 1928. Tubun muda menjajal peruntungan dengan masuk pendidikan polisi. Setelah lulus, Tubun ditugaskan di Kesatuan Brimob Ambon. Saat itu, ia berpangkat Agen Polisi Kelas Dua atau setara dengan Bhayangkara Dua Polisi saat ini.
Tubun kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta dan naik pangkat menjadi Agen Polisi Kelas Satu. Sebelum menjadi korban G30S, Tubun pernah dilibatkan dalam operasi Tri Komando Rakyat di Irian Barat. Setelah operasi Trikora berhasil, Tubun lalu diberi tugas untuk mengawal kediaman Dr. J. Leimena, Wakil Perdana Menteri, di Jakarta. Pangkat Tubun juga naik menjadi Brigadir Polisi.
Pada malam G30S, Tubun sedang bertugas menjaga rumah Leimena. Dilansir dari buku Karel Satsuit Tubun (1981), Tubun bertemu dengan pasukan penculik jenderal yang berniat menculik AH Nasution. Rumah Leimena memang berdekatan dengan rumah AH Nasution. Pertemuan Tubun dengan pasukan tersebut tentu tak mengenakkan. Pertemuan itu bisa terjadi karena pasukan penculik berniat melumpuhkan pengawal di sekitar rumah Nasution. Akhirnya, mereka terlibat perkelahian dengan Tubun. Walau kalah jumlah, Tubun berhasil memberikan perlawanan yang berarti kepada para penculik jenderal
Mengutip buku Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 6 Masa Kebangkitan Orde Baru (1987), AH Nasution menulis bahwa Tubun terus melawan para penculik meski senajatanya telah direbut. Ketika penculik masuk ke pos jaga Tubun secara paksa, ia semakin memperkuat perlawanannya. Namun, KS Tubun akhirnya tewa karena kalah jumlah dengan beberapa peluru mendarat di tubuhnya.
Berkat keberaniannya, KS Tubun menjadi satu-satunya polisi yang ditetapkan sebagai pahlawan revolusi. Pemerintah Indonesia menghormati perannya yang luar biasa dan memberinya penghargaan. Ia diberikan gelar Pahlawan Nasional, dan namanya diabadikan di Bandar Udara Karel Sadsuitubun di Ibra, Kei Kecil, Maluku Tenggara. Selain itu, pemerintah juga memilih nama KS Tubun untuk kapal perang KRI Karel Satsuit Tubun.
ANANDA RIDHO SULISTYA | BANGKIT ADHI WIGUNA | HENDRIK KHOIRUL MAHMUD