Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR surat dari markas pusat Interpol di Lyon, Prancis, melegakan hati Paulus Tannos. Isi surat bertitimangsa 28 Maret 2013 itu menyatakan Paulus bersama putrinya, Catherine Tannos, telah dihapus dari daftar buron polisi internasional. Alasannya, menurut surat itu, sederhana: pengajuan red notice untuk Paulus dan Catherine tak sesuai dengan prosedur.
Bermodal surat tersebut, Paulus berniat kembali ke Indonesia. Setahun lalu, pemilik PT Sandipala Arthapura—penggarap proyek kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP—itu bersama keluarganya lari ke Singapura. Sebelum pergi, Paulus bersengketa dengan Andi Bharata Winata, putra taipan Tomy Winata; dan Jack Budiman, yang disebut dekat dengan kelompok usaha Artha Graha.
Dua orang itu secara terpisah melaporkan Paulus ke polisi. Bersama putrinya, pria 58 tahun itu dituduh menipu dan menggelapkan dana. Dilaporkan Andi Winata lewat pengacaranya, Desrizal, ke Markas Besar Kepolisian RI pada akhir Februari 2012, Paulus dan Catherine jadi tersangka pada pertengahan Mei. Sejak 6 Juni tahun itu juga nama mereka terpampang sebagai buron di situs Interpol.
Kini yang jadi soal: surat tadi tak otomatis menghapus nama Paulus dari daftar orang yang dicari Mabes Polri. Begitu menginjakkan kaki di Tanah Air, ia bisa langsung ditangkap. "Saya belum berani pulang," kata Paulus dari persembunyiannya di Negeri Singa, Rabu pekan lalu. "Masih ada ancaman lain."
Penyebabnya, Paulus dijadikan tersangka kasus penggelapan di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Perkara itu dilaporkan Vecky Alex Lumantaw, Direktur Mega Lestari Unggul, yang juga tercatat sebagai pemegang saham PT Sandipala Arthapura. Dari Januari hingga Februari lalu, ia tiga kali mengadukan Paulus ke polisi. Pada 9 April kemarin, penyidik mengirim surat panggilan pemeriksaan buat Paulus.
Semua persoalan Paulus berhubungan dengan proyek e-KTP. Pangkalnya jauh di belakang, sejak kontrak proyek diteken pada 1 Juli 2011. Pengerjaan proyek Rp 5,84 triliun itu tak langsung mulus. Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), pemenang tender, tak punya modal usaha. Kementerian Dalam Negeri, pemilik pekerjaan, enggan mengucurkan uang muka proyek karena konsorsium tak mampu menyediakan garansi bank—syarat pencairan.
PT Sandipala milik Paulus adalah anggota konsorsium PNRI. Melihat konsorsium kelabakan mencari jaminan bank, Paulus meminta tolong Jack Budiman, tetangganya di apartemen Pacific Place Residence di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta. Paulus tahu Jack dekat dengan Tomy Winata. Ia minta dibantu memperoleh kredit dari PT Bank Artha Graha.
Berkat Jack, akhirnya Bank Artha Graha bersedia menerbitkan bank guarantee Rp 750 miliar dengan bunga provisi tujuh persen. Tapi kesepakatan batal karena konsorsium menolak permintaan petinggi Artha Graha agar uang tidak dicairkan.
Meski begitu, Paulus tetap menerima kredit dari Artha Graha Rp 200 miliar lewat PT Mega Lestari Unggul, perusahaan milik Jack. Menurut Paulus, Jack membeli sekitar 40 persen saham Sandipala dengan uang itu dan memasang nama Vecky Alex Lumantaw sebagai pemilik saham tersebut. Belakangan, Paulus masuk ke Mega Lestari dan tercatat sebagai direktur utama sekaligus pemegang saham perusahaan itu.
Paulus juga menjajaki kongsi lain dengan pihak Artha Graha. Ia bermaksud membeli chip ST-Micro untuk proyeke-KTPdari Andi Winata. Lewat perusahaannya, Oxel System Pte Ltd, Andi merupakan agen tunggal merek itu di Indonesia. Menurut Paulus, ia membeli keping ST-Micro karena dibujuk Jack. Menurut Jack, Pauluslah yang minta dikenalkan kepada Andi.
Setelah beberapa pertemuan, Sandipala setuju akan membeli 100 juta keping dengan harga satuan US$ 0,6. Paulus lalu mengirimkan pemesanan. Pada tahap pertama disepakati pembelian 10 juta keping. Uang muka yang harus dibayarkan seperlimanya, yaitu US$ 1,2 juta.
Transaksi ini porak-poranda. Keping ST-Micro tidak bisa digunakan di KTP elektronik karena sistem operasinya berbeda dengan yang dipakai Kementerian Dalam Negeri. Data penduduk tak bisa ditanam di dalam chip. Oxel tetap memaksa Sandipala membeli 100 juta keping. Sebaliknya, Paulus menolak karena keping yang diminta tak sesuai dengan pesanan.
Menurut Desrizal, pengacara Andi Winata, sejak awal Paulus sudah tahu bahwa keping dari Oxel tak sesuai dengan sistem operasi yang dipakai Kementerian. Paulus, kata dia, tak keberatan karena mengklaim bisa mengubah sistem operasi itu sehingga chip Oxel bisa digunakan. "Itu janji Paulus," ujarnya.
Paulus mengatakan betul pernah meminta Kementerian Dalam Negeri mengubah sistem operasi. Tapi, kata dia, itu dilakukan belakangan, setelah mengetahui keping dari Andi berbeda dengan pesanan awal. "Setelah dipaksa membeli chip," ujarnya. Kementerian tetap menolak permintaannya.
Setelah itu, Andi Winata lewat Desrizal melaporkan Paulus ke Mabes Polri. Tak mau ketinggalan, Jack Budiman juga melaporkan Paulus ke Unit Harta dan Benda Direktorat Pidana Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tuduhannya sama, Paulus menipu dan menggelapkan dana pada 13 April 2012. Paulus, yang telah berada di Singapura, kembali ditetapkan sebagai tersangka.Selanjutnya, atas laporan Vecky Lumantaw, Paulus juga jadi tersangka di Polda Metro Jaya.
Untuk perkara yang ini, polisi sampai membubarkan rapat umum pemegang saham Sandipala dua kali. Rapat umum pertama diselenggarakan pada 28 Januari 2013 di kantor Sandipala di Jalan Narogong Km 15, Bantar Gebang, Bekasi. Polisi menggerebek rapat dan meminta acara dihentikan. Sehari kemudian, para peserta RUPS menerima surat panggilan pemeriksaan.
Kejadian kedua pada 27 Maret lalu. Rapat yang terhenti di kantor Sandipala dilanjutkan di Hotel Gran Mahakam, Jakarta. Ketika acara berlangsung, dua polisi tiba-tiba datang ke lokasi mencari-cari Paulus Tannos. Seorang penyidik lalu menelepon ketua rapat, meminta acara dihentikan. Seperti sebelumnya, sehari kemudian para peserta rapat dipanggil ke Polda Metro Jaya.
Walau pemiliknya didera masalah bertubi-tubi, sampai akhir tahun lalu PT Sandipala melaksanakan kewajibannya mencetak kartu tanda penduduk. Bersama PNRI, Sandipala kebagian tugas mencetak 172 juta kepingkartu yang diklaim multifungsi itu, dari blangko kartu hingga personalisasi data. Porsi pekerjaan Sandipala 60 juta kartu atau sekitar 34 persen pekerjaan, sedangkan porsi PNRI 112 juta keping.
Dengan mencetak 60 juta kartu, Sandipala menerima Rp 950 miliar. Pembayaran awalnya lancar ditransfer PNRI sebagai ketua konsorsium ke rekening Sandipala. Belakangan, arus kas masuk macet. PNRI menahan sisa pembayaran senilai Rp 150 miliar.
Menurut Jimmy Simanjuntak, kuasa hukum PNRI, konsorsium tak mau masuk ke pusaran konflik internal Sandipala, antara Paulus Tannos dan Jack Budiman. Setelah masalah di antara mereka beres, dana segera dibayarkan. "Uangnya masih utuh kami pegang," katanya.
Jack Budiman, melalui Vecky Lumantaw, meminta PNRI mentransfer sisa pembayaran ke rekening PT Sandipala di Bank Artha Graha. Alasannya, Paulus telah menjaminkan piutang PNRI ke Bank Artha Graha—yang telah mengucurkan Rp 200 miliar lewat PT Mega Lestari. Adapun Paulus menyatakan rekening perusahaan yang benar ada di BCA.
Berselisih tentang utang dan piutang perusahaan, Vecky kemudian melaporkan Paulus ke polisi sebanyak tiga kali. Tak cuma menunda kepulangan Paulus ke Indonesia, laporan itu sekaligus menghentikan kegiatan PT Sandipala. Rekening Sandipala di BCA diblokir polisi. Para pegawai pun dirumahkan. Sandipala kini menunggak sisa pekerjaan mencetak 4 juta KTP.
Anton Septian, Ananda Badudu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo