Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARTIN Hutabarat bertelekan pada pintu ruang rapat gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu beberapa kali menghela napas panjang. "Saya harus bilang apa? Mufakat telah diambil," ujarnya seusai rapat Badan Legislasi DPR, Rabu pekan lalu.
Berbulan-bulan Martin menyampaikan misi partainya dalam rapat yang membahas perubahan Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Memutuskan hendak mengusung ketua dewan pembinanya, Prabowo Subianto, Gerindra berkepentingan agar syarat pencalonan presiden dilunakkan. Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Badan Legislasi Achmad Dimyati Natakusumah itu merontokkan misi partai ini. Pembahasan ditunda dan draf naskahnya dikembalikan ke panitia kerja.
Lima dari sembilan fraksi di Senayan, yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai Amanat Nasional, berkukuh menolak revisi. Hanya empat partai menengah yang berpendapat perlu perubahan aturan, yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hanura, dan Gerindra.
Diajukan sebagai inisiatif DPR, Mei tahun lalu, draf revisi sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional 2012-2013. Menurut Ketua Badan Legislasi Ignatius Mulyono, draf revisi memancing perdebatan sejak awal. Berulang kali rapat, politikus dari kedua kelompok gagal mencapai kata sepakat.
Pokok soal perdebatan yang tak pernah bisa diselesaikan berkaitan dengan persyaratan jumlah minimal dukungan partai yang bisa mengajukan calon presiden. Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2008 menyebutkan calon diajukan oleh partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen jumlah kursi DPR atau meraih 25 persen suara dalam pemilihan anggota legislatif. "Perdebatan selalu macet dalam soal ini," kata Dimyati.
Semula fraksi-fraksi terbagi menjadi tiga kubu pendapat. Satu kubu ingin mempertahankan persyaratan. Kelompok lain mengusulkan persyaratan partai yang boleh mengajukan calon dinaikkan menjadi 30 persen suara. Ada pula yang minta diturunkan menjadi 3,5 persen—sama dengan ambang batas perolehan suara agar partai bisa masuk DPR.
Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra bergabung untuk menurunkan syarat minimum. Hidayat Nur Wahid, Ketua Fraksi PKS, menyebutkan partainya mengusulkan syarat pencalonan diturunkan menjadi 3,5 persen. "Semua demi memunculkan calon alternatif," ujarnya.
Martin Hutabarat mengatakan tingginya persyaratan dukungan menguatkan oligarki partai politik. Selain bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, ia berpendapat bahwa persyaratan tinggi itu "memberangus demokrasi" karena "memangkas hak warga mencalonkan diri menjadi presiden".
Di kubu lain, Partai Demokrat dan Partai Golkar—pemilik kursi terbanyak di DPR yang sejak awal bersepakat dengan angka 20 persen—menyatakan persyaratan pencalonan tidak memberangus hak konstitusional penduduk. Menurut politikus Golkar, Nurul Arifin, syarat itu justru memperkukuh demokrasi.
Politikus PDI Perjuangan, Arif Wibowo, menyatakan ambang batas pencalonan perlu agar presiden tidak gampang digoyang DPR. "Pemilu satu putaran juga jauh lebih efisien," kata Arif. Karena itu, partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini semula malah ingin menaikkan persyaratan menjadi 30 persen.
Fraksi menengah semula menginginkan penurunan syarat menjadi 15 persen, yaitu Partai Amanat Nasional. Menurut anggota fraksi itu, Taslim Chaniago, angka 15 persen akan memunculkan empat pasang calon presiden. "Sangat cukup untuk menghasilkan satu putaran," tuturnya. Belakangan partai ini berubah haluan dan mematok angka semula, yaitu 20 persen. Partai Kebangkitan Bangsa mengambil sikap sama. Adapun Partai Persatuan Pembangunan memilih abstain.
Anggota koalisi pendukung pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono membahas soal ini melalui dua kali rapat Sekretariat Gabungan, pada Oktober dan akhir November 2012. Dipimpin Sekretaris Sekretariat Gabungan Syariefuddin Hasan dan dihadiri ketua fraksi partai koalisi, dua kali rapat juga gagal menghasilkan kata sepakat. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera mengambil jalan berbeda dengan anggota lain koalisi.
Menurut Dimyati Natakusumah, kepentingan setiap partai menjadi penyebab kebuntuan. Masing-masing mengajukan pendapat sesuai dengan kandidat yang hendak mereka ajukan. "Ada pertarungan kepentingan partai untuk mendorong kandidatnya sendiri-sendiri," kata politikus Golkar ini.
Sejumlah partai memang sudah memacak calon presiden. Gerindra mengusung Prabowo Subianto, Partai Amanat Nasional mengajukan Hatta Rajasa, Partai Hanura dengan Wiranto, dan Golkar dengan Aburizal Bakrie. Partai Keadilan Sejahtera ada kemungkinan membawa Anis Matta.
Politikus Senayan melihat usaha Gerindra menurunkan persyaratan berhubungan dengan strategi dan kalkulasi Prabowo. Meski hasil sigi politik menempatkan mantan Komandan Jenderal Kopassus ini sebagai calon dengan elektabilitas tinggi, Gerindra khawatir pencalonan terganjal persentase minimal perolehan suara.
Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon membantah anggapan bahwa partainya ingin menurunkan angka persyaratan untuk memuluskan jalan Prabowo. Menurut dia, Gerindra ingin masyarakat punya banyak pilihan. "Biarlah rakyat yang memilih. Jangan sampai calon hanya milik segelintir elite partai," ujarnya.
Fadli Zon balik menuduh partai besar takut bakal muncul pesaing dalam pemilihan presiden jika persyaratan pencalonan diturunkan. "Ada partai besar yang takut bersaing dengan Prabowo sehingga mereka bersekongkol," katanya.
Setelah Badan Legislasi memutuskan draf naskah dikembalikan ke panitia kerja, nasib revisi Undang-Undang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan ditentukan dalam sidang paripurna pada awal masa sidang mendatang. Ignatius Mulyono mengatakan Badan Legislasi akan menyampaikan keputusan bahwa undang-undang itu belum perlu diubah.
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Gerindra akan menggunakan celah terakhir itu. Kata politikus PKS, Indra, "Masih banyak bolong di Undang-Undang Pemilihan Presiden yang harus disempurnakan."
Widiarsi Agustina, Irasufa Guslina
Perolehan Suara 2009
Demokrat (Kursi DPR 148) | 20,85% |
Golkar (Kursi DPR 107) | 14,45% |
PDIP (Kursi DPR 95) | 14,03% |
PKS (Kursi DPR 57) | 7,88% |
PAN (Kursi DPR 43) | 6,01% |
PPP (Kursi DPR 37) | 5,32% |
PKB (Kursi DPR 27) | 4,94% |
Gerindra (Kursi DPR 26) | 4,46% |
Hanura (Kursi DPR 18) | 3,77% |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo