Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Enam belas organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur menolak upaya perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah masyarakat untuk proyek Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun,” kata perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur, Mareta Sari, melalui keterangan tertulis, Rabu, 13 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mareta, masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara memberikan perlindungan, bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN.
Koalisi mengklaim dokumen tata ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum. Oleh karena itu, kata dia, masyarakat sipil Kalimantan Timur menolak pembangunan IKN yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat.
“Menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan!,” lanjut Mareta Sari.
Ia mengingatkan bahwa Pemerintah lupa jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN.
Mareta mengutip putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010. Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat empat aspek yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat.
Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Menurut dia, Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, mengeluarkan Surat Nomor : 179/DPP/OIKN/III/2024. Perihal Undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang Tidak Berijin dan atau Tidak Sesuai dengan Tata Ruang IKN. Surat itu ditindaklanjuti dengan surat teguran pertama Nomor 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, dalam jangka waktu 7 hari warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
Mareta berkata ancaman Badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan Ibukota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah. Kata Mareta, ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan.
“Mengingatkan kita dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalakan segala cara. Otorita IKN memberikan batas waktu selama 7 hari agar warga Pemaluan segera angkat kaki dari tanah tempat mereka berpijak selama puluhan tahun," tegas Mareta Sari.
Pola semacam ini, menurut dia, bentuk intimidasi yang menyebarkan teror dan ketakutan kepada warga. Sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya.
Adapun enam belas Koalisi Masyarat Sipil (KMS) Kalimantan Timur terdiri dari:
1. Jatam Kaltim
2. KIKA Kaltim
3. AJI Samarinda
4. LBH Samarinda
5. Aksi Kamisan Kaltim
6. SAKSI FH Unmul
7. PEMA Paser
8. POKJA 30
9. PuSHPA FHUNMUL
10. Pus-HAMMT UNMUL
11. TKPT
12. AMAN Kalimantan Timur
13. PUSDIKSI FH UNMUL
14. Nomaden Institute
15. Sambaliung Corber
16. Perempuan Mahardhika