Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Koloni Derita di Limau Manis

Menghindari pergolakan bersenjata, pelarian Aceh menyebar di Malaysia. Seperti penderita penyakit buduk.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BIDUK itu merayap perlahan dalam senyap, menghampiri pantai di dekat Port Klang, Malaysia, akhir Februari silam. Malam mulai menyentuh pesisir, dan kabut yang bersahabat dengan gerimis seakan memberikan rasa aman bagi Hamdun—bukan nama sebenarnya. Lelaki berkulit legam itu beringsut dari buritan, lalu melompat ke bagian bawah geladak. Di lambung perahu kayu itu—mereka menyebutnya pong-pong—dia membangunkan sekitar 20 lelaki, yang selama hampir dua malam menyuruk di sana.

Mereka semua datang dari Aceh. Hamdun, 41 tahun, berasal dari sebuah kampung di Bireuen, Aceh Utara. Dari Tanjung Balai, Sumatera Utara, mereka menumpang perahu itu menggunting ombak Selat Malaka dengan satu tujuan: mengungsi ke Malaysia. "Kalau terus hidup di kampung, kami bisa mati," kata Hamdun, yang menceritakan pengalamannya kepada TEMPO. Mereka bagian dari gelombang pengungsi Aceh ke Malaysia, persisnya sejak darurat militer mulai berlaku di Aceh, sembilan bulan lalu.

Hamdun mengaku bukan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kuli bengkel motor itu terpaksa hengkang dari kampungnya karena tak bisa mendapatkan KTP Merah Putih, kartu identitas baru bagi penduduk Aceh, yang dikeluarkan Penguasa Darurat Militer Daerah. Penyebabnya sangat sederhana. Saat darurat militer berlangsung, dia sedang mencari nafkah di Medan. Sialnya, ketika mudik, Hamdun tak tercatat lagi sebagai penduduk setempat. "Saya malah dicurigai sebagai (anggota) GAM," tuturnya. Dia pernah kena razia dan wajib melapor ke pos militer setempat. Karena tak tahan, Hamdun memilih kabur.

Dengan modal Rp 800 ribu, dia membayar seorang tekong—juragan perahu—di Tanjung Balai. Di perahu berukuran panjang sekitar 12 meter itu, Hamdun tak sendiri. Bersama dia ada 20 lelaki Aceh lain. Semuanya ternyata senasib: diburu di kampung dan dicurigai sebagai pemberontak. Perjalanan itu, kata Hamdun, cukup mencekam. Lepas dari perairan Indonesia, baru semalam berlayar, perahunya dikuntit patroli aparat keamanan Malaysia. "Kami harus bersembunyi di perut perahu," kata Hamdun. Beruntung, mereka lolos dan selamat berlabuh di pantai di Port Klang.

Meski dia sudah menginjak tanah Semenanjung, tetap saja ancaman menghadang. Tanpa paspor dan dokumen resmi lainnya, dia termasuk pendatang haram. Menyusup lewat "rot likot" (bahasa Aceh: "jalan belakang")—istilah pengungsi Aceh untuk jalur masuk ilegal—Hamdun harus kucing-kucingan dengan polisi Malaysia. "Saya sedang menunggu surat Aceh," ujarnya. Ha? "Surat Aceh" adalah surat keluaran kantor United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) di Kuala Lumpur. Isinya perlindungan kepada pengungsi Aceh itu untuk menetap sementara di Malaysia.

Kini ribuan orang seperti Hamdun tersebar di Malasyia. Mereka, di bawah jaminan UNHCR, dibolehkan tinggal sementara di Malaysia selama keadaan darurat militer di Aceh. Hanya, selama mereka di negeri jiran itu, UNHCR tak bisa menanggung urusan perut semua pengungsi. Maka, untuk bertahan hidup, pelarian Aceh itu pun harus terjun ke beragam sektor pekerjaan.

Di sepanjang Jalan Chow Kit, salah satu pusat bisnis di Kuala Lumpur, misalnya, orang Aceh mudah ditemukan. Atau di kawasan dagang di Bukit Bintang. Memang tak semua orang Aceh di sana pengungsi. Sebagian telah lama menetap dan mengadu nasib di Malaysia. Mereka menggeluti beragam profesi, dari manajer, pedagang kelontong, sampai juragan kedai makanan. Biasanya kepada mereka yang beruntung inilah para pengungsi berharap. "Kita bantu dengan menampung mereka bekerja," ujar Razali, pemilik sebuah restoran di Bukit Bintang.

Tapi tentu tak semua bisa diserap di pusat bisnis. Sebagian besar justru menjadi buruh kasar. Sebelum mendapat pekerjaan, para pengungsi itu kerap dibantu rekannya yang telah bekerja. Solidaritas di antara mereka cukup kuat. "Bulan pertama di Malaysia, hidup kita masih tergantung rekan," tutur Syahrial, 35 tahun, asal Glumpang Minyeuk, Pidie. Kini sudah delapan bulan ia menetap di negeri jiran itu dan bekerja sebagai buruh bangunan di perbukitan Limau Manis, Putrajaya, sekitar 30 mil dari Kuala Lumpur arah ke selatan.

Limau Manis boleh disebut koloni terbesar pekerja Aceh di Kuala Lumpur. Sedikitnya ada 4.000 pekerja asal Aceh yang tersebar di kawasan itu. Selain di sana, kata Syahrial, warga Aceh banyak menyebar di kawasan perkotaan baru di pinggiran Kuala Lumpur, sebutlah misalnya Cyberjaya, Srimuda, Paya Jirah, atau Sungai Buloh, dan di wilayah lain sekitar Selangor.

Sebagai buruh bangunan, Syahrial mendapat upah 30-40 ringgit sehari. Di bukit Limau Manis, mereka pun hidup seadanya. Untuk tempat tinggal, mereka membangun teratak. Memang ada sejumlah bedeng yang disediakan kontraktor proyek pembangunan kawasan Putrajaya bagi para pekerja. Tapi tempat tersebut tak bisa menampung semua pekerja plus pengungsi itu.

Di bukit yang masih separuh hutan itu, suasana jadinya mirip perkampungan di Aceh. Banyak gubuk darurat berdiri di sudut hutan. Di sela perbukitan, warung kopi dan kedai nasi Aceh sangat mudah ditemukan. Mereka juga berbahasa Aceh dengan logat Malaysia yang kental. Lalu ada beberapa dangau—yang di Aceh dikenal sebagai rangkang—tempat duduk mengaso dan menegakkan salat lima waktu. Semua bangunan itu darurat: bertiang pohon dengan atap kain terpal. "Tak boleh membuat bangunan permanen, bisa gawat," kata Syahrial.

Seorang warga Aceh di Limau Manis, Hasan Mali—sebut saja begitu—mengatakan pemerintah Malaysia tak mengizinkan para pendatang itu mendirikan bangunan. Jika membutuhkan rumah permanen, mereka menyewa dari penduduk sekitar. Misalnya untuk dijadikan warung. "Sewanya RM 400 sebulan," ujar lelaki kelahiran Idi, Aceh Timur, yang membuka warung makan di sana. Berbeda dengan pengungsi lainnya, Hasan sudah setahun lebih menetap di kawasan itu. Dia meninggalkan kampung sejak perundingan damai gagal di Aceh, Mei tahun silam.

Tapi bukit Limau bukanlah tempat yang selalu aman. Polisi Malaysia kadang mengintip kegiatan mereka di perbukit-an itu. Pernah, kata Hasan Mali, September tahun silam, seluruh kawasan itu digeruduk aparat. Sekitar 200 warga Aceh ditangkap dan mendekam di kantor polisi setempat. Sebagian lainnya melarikan diri dan bersembunyi di hutan kecil sekitar bukit. Cerita Hasan, banyak juga yang menderita trauma akibat insiden itu. Soalnya, mereka tak menyangka bakal terkena razia. "Kami seperti penderita penyakit buduk saja," ujar Hasan.

Polisi Malaysia pun menjadi hantu yang menakutkan bagi para pelarian Aceh itu. Apalagi bagi mereka yang tak punya dokumen resmi. Rata-rata yang tertangkap digelandang ke kamp Lenggeng, Negeri Sembilan, atau Semenyih, Selangor. "Terkadang bisa lolos kalau menebus pakai ringgit," tutur Syahrial. Tapi pola tebus-menebus itu tak selalu manjur, sangat bergantung pada mental aparat yang bertugas. Terkadang, kata Syahrial, petugas menolak duit. "Kalau sudah begitu, yang terbayang adalah neraka."

Neraka? Inilah hukuman yang paling menakutkan: dipulangkan ke Nanggroe Aceh Darussalam. Bagi warga Aceh di Malaysia, mereka rela melakukan apa saja asalkan tak dipulangkan ke kampung halaman. Soalnya, dalam situasi pergolakan bersenjata di Aceh, pulang tanpa identitas yang jelas bisa berakibat runyam. "TNI selalu curiga kepada siapa pun yang datang dari Malaysia," kata Gani Rahman—bukan nama sebenarnya—34 tahun, pelarian Aceh asal Matang Glumpang Dua, yang sudah setengah tahun bekerja di Limau Manis.

Tak selalu mereka ternyata dikirim kembali ke Aceh. Gani punya pengalaman unik. Dia pernah tertangkap dan dipulangkan dengan kapal ke Tanjung Balai. Mungkin karena punya paspor, dia tak sampai dibawa pulang ke Aceh. Gani hanya dituding melanggar aturan dan paspornya ditahan petugas imigrasi. Entah bagaimana akhirnya dia bisa bebas. Menetap sebentar di Medan, dia lalu mengambil keputusan ini: "Saya segera mencari pong-pong dan kembali ke Malaysia."

Nezar Patria (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus