Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGAR kawat berduri dan gerbang besi menghadang Fatimah Ali—bukan nama sebenarnya—di Bukit Petaling, Kuala Lumpur, Malaysia. Sudah dua hari ibu beranak dua asal Bireuen, Aceh Utara, itu mencoba menembusnya. Dua bocah lelaki, berumur di bawah lima tahun, sampai tersaruk-saruk mengikuti langkah sang ibu. Setiap gerbang berderit, perempuan 34 tahun itu bergegas mendekat. Tapi, sampai Kamis pekan terakhir Februari silam, nasibnya belum mujur.
"Saya harus kembali lagi besok," katanya sambil menyeka peluh. Hari itu pintu kantor Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (United Nations High Commissioner for Refugees—UNHCR) telah ditutup. Soalnya, pekarangan dalam kantor itu sudah penuh warga Aceh. Lebih dari seratus orang duduk antre di bawah tenda khusus. Yang ditunggu adalah selembar surat bertajuk "temporary protection letter"—surat perlindungan sementara.
Dengan surat itu, pelarian Aceh boleh menetap sementara di Malaysia. Syaratnya: mematuhi undang-undang setempat dan tak boleh berbuat kriminal. UNHCR mengeluarkan surat itu bagi semua orang Aceh yang terdampar di Malaysia, yang menghindari konflik bersenjata. Sejak setengah tahun lalu, angka warga Aceh pemburu suaka di Malaysia memang terus melambung.
"Jumlahnya naik drastis sejak Mei tahun lalu," ujar Stephane Jacquemet, juru bicara UNHCR di Kuala Lumpur, kepada TEMPO. Sampai akhir Januari silam, kata Stephane, kantornya telah menerbitkan sekitar 3.200 surat perlindungan bagi warga Aceh. Meski begitu, hingga akhir pekan lalu, antrean tetap saja menjulur di halaman kantor itu.
Menurut data UNHCR, sejak Jakarta memberlakukan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam, Mei tahun silam, banyak warga Aceh yang hengkang ke Malaysia. Apalagi negeri jiran itu sudah lama terkenal sebagai "daerah transit" bagi pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tapi kini ada yang berbeda. Para pelarian itu lebih banyak warga biasa, yang tak tahan tertindih situasi perang. "Warga sipil yang terkena dampak konflik berhak atas perlindungan kami," kata Stephane.
Jumlah pelarian Aceh pun terus membuncit dari hari ke hari. Sejumlah lembaga pembela hak asasi manusia di Malaysia menaksir, sekitar 20 ribu pelarian Aceh masa darurat militer telah menyebar ke sekujur Negeri Semenanjung itu. "Itu perkiraan kasar," kata Lukman Age, aktivis Penang Support for Aceh, lembaga yang melakukan riset dan advokasi bagi "tamu darurat" dari Tanah Rencong itu.
Berpencar ke berbagai negara bagian di Malaysia—terbesar di Kuala Lumpur, Johor Bahru, dan Penang—para pengungsi itu bak membentuk diaspora Aceh di Semenanjung. Menurut Penang Support, selain di tiga kawasan utama itu, para pelarian tersebar di Kedah, Malaka, Perlis, Selangor, Kelantan, dan Pahang. Mereka masuk lewat berbagai pintu: dari yang halal sampai ilegal (baca Koloni Derita di Limau Manis).
Yang menarik, "profil" pengungsi itu pun berubah. Simak data Penang Support, yang meneliti pelarian Aceh di negara bagian itu bulan silam. Dari 1.200 warga pelarian Aceh di Penang, sekitar 64 persennya ternyata berumur 21-30 tahun. Artinya, kebanyakan dari mereka anak muda, yang lari karena terjepit operasi militer. "Situasi di kampung mereka cukup berbahaya," ujar Lukman Age, yang juga peneliti di Universiti Sains Malaysia. Menelisik para pelarian di Penang, TEMPO juga menemukan cerita tak jauh dari data tadi.
Dengarlah kisah Asrul Amin—bukan nama sebenarnya. "Orang tua saya menjual ternak agar saya bisa pergi ke sini," tuturnya. Asrul adalah pemuda Barat Layang, sebuah kampung di perbatasan Matang Glumpang Dua, Aceh Utara. Umurnya belum genap 21 tahun. Dia terpaksa kabur karena orang tuanya khawatir razia TNI menangkap anak-anak muda di kampung itu. Soalnya, kata Asrul, "Rumah saya pernah disinggahi GAM."
Keluarganya tak bisa mengelak: sejumlah gerilyawan itu kerabat mereka. Maka diberilah para serdadu pemberontak itu makan dan minum. Asrul bahkan mengantarkan mereka kembali sampai ke batas hutan desa. Tapi, setelah itu, orang tuanya ketakutan. "Mereka menyuruh saya lari ke Malaysia," katanya. Apalagi, saat operasi militer, semua anak muda yang pernah berkontak dengan GAM diperiksa siang dan malam.
Di kampungnya, banyak anak muda dicokok tentara karena pernah memberikan makanan atau bantuan lain kepada GAM. Cerita seram penyiksaan selama interogasi pun menyebar. Kata Asrul, setelah ditangkap, ada warga yang tak kembali ke rumah. Yang pulang selalu dengan luka dan wajah memar.
Inilah yang menghantui anak muda di sana. Padahal, kata Asrul, warga kampung itu membantu GAM karena terpaksa. Mereka takut dituduh sebagai mata-mata TNI. "Serba salah," ujarnya. Maka di Malaysialah kini Asrul dan ribuan pemuda Aceh yang bernasib seperti dirinya berkumpul. "Kami hanya mengungsi sampai darurat militer selesai," katanya.
Asrul sama sekali tak berniat bermukim di luar negeri. Dia juga masih enggan mengantre surat proteksi pengungsi ke UNHCR. Sebab, kantor PBB itu jauh di Kuala Lumpur. "Saya punya paspor Indonesia," ujarnya. Masalahnya, visa resmi tinggal di Malaysia hanya berlaku sebulan.
Bersiasat dengan situasi, para pelarian itu rupanya punya cara sendiri. Soal batas visa itu pun ada jalan keluarnya. "Mereka melintasi perbatasan Malaysia-Thailand untuk mencari chop (stempel) imigrasi di sana," ujar Lukman. Dengan chop itu, masa tinggal di perbatasan bisa diperpanjang hingga sebulan berikutnya. Tapi modus itu tak bisa terlalu sering dilakukan. Paling lama, sesuai dengan aturan, hanya tiga bulan. Setelah itu, tak ada jalan lain. Meski punya paspor, mereka harus mendapat pengakuan pengungsi dari UNHCR.
Apalagi pemerintah Malaysia hanya mengakui pendatang yang dibekali dokumen resmi, termasuk status pengungsi sementara dari UNHCR. Di luar itu, tanpa surat resmi, semuanya dianggap pendatang haram. "Tak ada kecuali," ujar Dato' Hamidon Ali, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, kepada TEMPO, Kamis pekan silam. Pemberian status pengungsi, kata dia, sepenuhnya menjadi tanggung jawab badan dunia itu.
Soal pelarian Aceh ini, sikap Malaysia memang setengah hati. Meski sudah ada proteksi dari badan dunia, Malaysia kerap memulangkan pelarian Aceh yang tertangkap petugas di sana. Pengacara setempat, Ahmad Shabrimi bin Mohamed Sidek, menyebut situasi itu sebagai "hukum yang tak memihak." Maksudnya, Malaysia tak ikut menandatangani Konvensi Jenewa 1951 soal pengungsi.
Maka kasus pengungsi selalu berlapis pendatang haram. Bila itu sampai ke pengadilan, misalnya, hakim akan menjerat dengan pasal pendatang haram. "Di pengadilan, kita selalu teruk (susah)," ujar Ahmad Shabrimi, yang getol membela pelarian Aceh di Malaysia. Di Penang, seperti yang disaksikan TEMPO, penangkapan atas warga Aceh juga tetap berlangsung. Meski sebagian warga telah menunjukkan surat "keramat" itu, polisi tetap saja menggelandang mereka.
Seorang inspektur polisi di Polis Daerah Barat Daya tak mau memberikan penjelasan rinci soal ini. "Kami harus menjaring pendatang haram," ujarnya singkat. Maka celakalah jika ada warga Aceh yang tanpa dokumen resmi, kecuali ada surat dari PBB itu. Soal ini, si Inspektur sempat berbisik, "Polisi tutup sebelah matalah." Artinya, pemegang surat itu bisa lepas kalau dia dijemput staf dari badan dunia itu.
Itulah sebabnya, meski sudah memegang paspor, banyak warga Aceh yang akhirnya memilih antre mendapatkan surat itu di Kuala Lumpur. Penyesalan justru datang dari Jakarta. Menurut juru bicara Departemen Luar Negeri RI, Marty Natalegawa, warga Aceh yang minta perlindungan itu tak lain penduduk yang sudah lama menetap di Malaysia. Jadi, kata dia, tak ada alasan kuat mereka meminta suaka. "Jangan sampai badan PBB diperalat oleh GAM," ujarnya.
Nezar Patria (Kuala Lumpur), Faisal Assegaf (Tempo News Room)
Jejak Pelarian Warga Aceh
Maret 1998
- Sekitar 550 warga Aceh yang terjaring razia tenaga kerja Indonesia di Malaysia mengamuk di kamp Lenggeng, Semenyih, dan Macap Umbo, Malaysia. Mereka menolak dipulangkan ke Aceh, dan dijemput oleh kapal TNI. Pemerintah Indonesia menduga mereka anggota GAM. Sekitar 25 orang luka berat.
- Sebanyak 14 orang Aceh menerobos kantor UNHCR di Kuala Lumpur untuk meminta perlidungan. Mereka adalah pelarian Aceh yang lolos dari kamp-kamp yang rusuh itu.
2000
- Jumlah warga Aceh yang meminta suaka ke UNHCR hanya 50 orang.
Juli 2002
- Malaysia melakukan perubahan undang-undang imigrasi. Razia dilakukan kepada 1,5 juta tenaga kerja Indonesia yang tak punya izin tinggal resmi. Selama tahun ini, pelarian Aceh menurun drastis.
Mei 2003
- Darurat militer berlangsung di Aceh. Pada Mei, sekitar 200 orang Aceh meminta suaka ke UNHCR. Jumlah mereka bertambah setiap bulan. Setiap pekan 50-100 orang Aceh antre memohon status pengungsi.
September 2003
- UNHCR mengidentifikasi 182 orang Aceh ditangkap oleh polisi Malaysia di depan kantor itu. Total yang tertangkap 290 orang dan sebagian besar dideportasi ke Indonesia.
- Pejabat UNHCR Ruud Lubbers meminta Malaysia ”tidak memulangkan pengungsi Aceh, yang dapat membahayakan jiwa mereka.” Sebelumnya, Malaysia memulangkan 70 pengungsi Aceh tanpa pemberitahuan kepada UNHCR.
Sumber: UNHCR, US Committee for Refugees
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo