Penyair, konglomerat, dan birokrat membaca puisi bersama. Liem Sioe Liong tak hadir. DAHULU penyair dan konglomerat, konon, ibarat langit dan bumi. Yang satu berumah di awang-awang, yang satu lagi berumah di real estate. Yang satu sibuk membuat sajak, yang lain sibuk meneken transaksi bisnis. Namun, Jumat malam pekan lalu, jarak antara penyair dan konglomerat lenyap sudah. Mereka tampil bersama di panggung "Baca Puisi oleh Para Tokoh Masyarakat dalam Rangka Renungan Suci Proklamasi", yang diselenggarakan di Taman Chairil Anwar, Jakarta Pusat, untuk menyambut hari ulang tahun ke-46 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka yang tampil di pentas baca sajak yang terletak dekat kaki Monumen Nasional (Monas) malam itu adalah nama-nama beken dari kedua kutub. Dari kelompok seniman ada Rendra, Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Ikranagara, dan sejumlah penyair lain. Dari kelompok konglomerat ada bos PT Pembangunan Jaya, Ciputra, ada Edwin Soeryadjaya dari Grup Astra, juga Sofyan Wanandi, serta sejumlah pengusaha lain. Liem Sioe Liong tak hadir. Acara baca puisi itu juga diramaikan oleh Menko Polkam Sudomo, Menteri Transmigrasi Sugiarto, Ketua Umum PDI Soerjadi, dan ketiganya ikut membaca sajak. Yang menarik, Ciputra membaca puisi yang ditulisnya sendiri: Aku Bermimpi. "Ternyata, menulis puisi lebih sulit ketimbang pekerjaan konglomerat," guraunya. Ciputra mengaku, untuk menyiapkan Aku Bermimpi, ia berdiskusi dengan anaknya sampai tengah malam, lalu bangun pukul 4.00 subuh untuk menuliskannya. Salah satu baitnya: Aku bermimpi / Tak ada lagi penderitaan / Tak ada lagi kesengsaraan / Tak ada lagi kelaparan. Ketika tiba giliran Sudomo, suasana di Taman Chairil Anwar berubah gerr karena kelakarnya. "Kalau pembacaan saya melebihi Rendra, saya khawatir ia kehilangan pekerjaan," ujarnya berseloroh. Sudomo memilih sajak Di Bawah Gelombang karya Sanusi Pane: Alun membawa bidukku perlahan / Dalam kesunyian malam waktu / Tiada berpawang tiada berkawan / Entah ke mana aku tak tahu. Acara langka ini, sekalipun terkesan ger-geran, merupakan tradisi baru dalam pentas baca puisi di Taman Chairil Anwar. "Sebagai pembina kesenian, saya harus mampu menciptakan lahan bagi para seniman. Ini salah satu caranya," kata Soeparmo, Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, yang punya ide tersebut. Untuk baca puisi ini, tercantum sederetan nama pejabat tinggi dalam kepanitiaan: Menko Polkam Sudomo dan Menteri P & K Fuad Hassan sebagai pelindung, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto dan "Paus Sastra Indonesia" H.B. Jassin sebagai penasihat, serta Sekretaris Militer Presiden Sjaukat Banjaransari sebagai ketua umum. Mereka yang naik panggung bebas memilih puisi. "Asal tentang perjuangan dan bersifat religius," kata Soeparmo. Bagaimana bila puisi berbau kritik sosial yang dipilih? "No problem. Kalau punya nilai artistik tinggi," tambahnya. Maka, ketika Sutardji membacakan sajak Tanah Air yang cukup menyentil, tak ada yang marah. Petikannya: di balik gembur subur tanahmu / kami simpan perih kami / di balik etalase megah gedung-gedungmu / kami coba sembunyikan derita kami. Sementara itu, Rendra menyodok lewat Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api. Terasa menyuara hati nurani. "Bagaimana mungkin kita berbangsa / bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup bersama?," tutur Rendra dengan suara serak meniru suara orang tua. Lalu, tepuk tangan sekitar 1.000 pengunjung Taman Chairil Anwar pun bergemuruh. Priyono B. Sumbogo dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini