Empat napi GPK di LP Cipinang bebas. Sembilan orang lainnya mengajukan permohonan bebas bersyarat kepada Menteri Kehakiman. KETIKA aliran listrik serentak padam seantero Jawa dan Bali, Jumat malam pekan lalu, pintu gerbang Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, terkuak. Lalu, dua jip menderu keluar menuju ke Tanjungpriok. Salah satu di antara kendaraan itu membawa Prof. H. Oesmany Al Hamidy, bekas rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI). Jip yang satu lagi berisikan sejumlah petugas Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah (Bakorstanasda) Jakarta dan sipir LP Cipinang. Ada apa lagi dengan pentolan kasus subversi Tanjungpriok (1984) itu? Ternyata, malam itu adalah malam pembebasan Oesmany, yang sehari-hari dipanggil Abu (Bapak). Petugas hanya mengantar Abu ke kediamannya di kompleks Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI). Di gerbang PTDI, Abu, yang malam itu mengenakan jas, pakai sarung dan peci, telah ditunggu istri dan anaknya, petugas babinsa, dan beberapa penghuni kompleks. Bekas anggota Corps Polisi Militer (CPM) berpangkat mayor itu tampak lebih langsing daripada sebelum masuk penjara tujuh tahun silam. Bobotnya turun dari 104 kg jadi 80 kg. Turun dari mobil, Abu, 78 tahun, dengan tertatih-tatih memasuki masjid di kompleks PTDI dibimbing anaknya, Ridhwan Oesmany. Lalu, bekas Ketua Yayasan Pesantren Islam Jakarta Utara itu melakukan sujud syukur. Sesudah beberapa jenak berbincang-bincang dengan para penyambutnya, Abu diantar ke rumah Sitti Rahmah, istri mudanya, tak jauh dari kampus PTDI. Ia selama di bui mengaku rajin joging di halaman penjara. Abu kemudian juga gemar naik sepeda setelah H.R. Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi, mewariskan sepeda mini kepadanya. "Saya adalah satu-satunya tahanan yang selalu makan di kantin dan bisa nonton televisi warna," kata Abu tentang hidupnya di Cipinang. Tiap bulan, kata Ridhwan, jemaah Abu selalu mengirimkan uang Rp 500.000. Sebenarnya, masa tahanan Abu masih setahun lagi. Namun, Pemerintah memberinya remisi, yang biasa diberikan pada narapidana setiap hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. "Remisi itu diberikan karena tingkah lakunya selama ini memang baik," kata Nurdin Nursin, Kepala LP Cipinang. Abu ditangkap September 1984. Pada April 1986, Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonisnya delapan tahun penjara atas tuduhan melakukan tindak pidana subversi. Abu, menurut majelis hakim yang menyidangkan perkaranya ketika itu, terbukti ikut menandatangani Ikrar Umat Islam Jakarta untuk menolak Asas Tunggal Pancasila dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keormasan yang memicu pecahnya peristiwa Tanjungpriok. Remisi juga diberikan Pemerintah pada dua narapidana kasus subversi Tanjungpriok yang lain: Ratono dan Hasan Kiat. Berbeda dengan Abu, yang diantar ke rumah, Ratono disongsong istrinya di Cipinang, lalu mereka meluncur ke kediaman mereka di Desa Bojong, Bogor. Ratono, bekas kopral marinir, setelah mendekam tujuh tahun kurang satu bulan di LP Cipinang, mendapat remisi satu tahun. Lain lagi cerita Hasan. Ia, menurut sumber TEMPO, saking girangnya mendengar pemberitahuan hari pembebasannya langsung penyakit jantungnya kumat dan segera dilarikan ke Rumah Sakit Islam di Jakarta Timur. Itu terjadi Jumat sore. Namun, tepat pukul 00.00 menjelang 17 Agustus, Hasan boleh meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah. Bekas Ketua Persatuan Islam (Persis) ini hanya menjalani hukuman enam tahun dari tujuh tahun vonisnya. Pada pukul 02.00 dini hari menyusul pembebasan David Dias Ximenes, bekas perwira Portugis. Ximenes dijebloskan ke penjara karena keterlibatannya dalam peristiwa penyerbuan stasiun TVRI di Dili, Timor Timur. Ia divonis 15 tahun penjara atas tuduhan menjadi salah satu otak aksi bersenjata yang dikenal dengan "Peristiwa 10 Juni 1980" itu. Ximenes -- dipenjarakan selama empat tahun di Dili dan tujuh tahun di LP Cipinang -- memperoleh remisi 47 bulan 20 hari. Tepat pukul 06.00 ia langsung diterbangkan ke Dili. Sekitar 10 pemuda Timor Timur di Jakarta yang datang menjemput Ximenes ke LP Cipinang setelah terbit matahari terpaksa pulang dengan wajah kecewa karena yang dijemput sudah berangkat ke Dili. Dengan pembebasan Abu, Ratono, Hasan, dan Ximenes, tahanan GPK di LP Cipinang tinggal 49 orang. Mereka terdiri dari 33 orang yang digolongkan sebagai ekstrem kanan, termasuk di dalamnya delapan tokoh peristiwa Lampung. Napi golongan ekstrem kiri 10 orang, enam orang di antaranya dijatuhi vonis mati, tetapi belum dilaksanakan. Lalu kelompok yang oleh aparat keamanan disebut Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) sebanyak enam orang, yang terdiri dari lima orang dari Timor Timur dan satu orang dari Irian Jaya. Maka, ketika para napi GPK itu mengadakan tasyakuran untuk Abu, Ratono, Hasan dan Ximenes, tradisi yang memang selalu dilakukan bila ada yang akan dibebaskan, konon hampir semua hadir. Tahun-tahun sebelumnya tak semua napi GPK di LP Cipinang hadir dalam acara tasyakuran serupa. Itu karena jumlah mereka makin sedikit. Sembilan orang di antara mereka yang tersisa telah melayangkan surat permohonan untuk memperoleh kebebasan bersyarat kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh beberapa waktu lalu. Mereka: empat orang dari kelompok ekstrem kanan dan lima orang dari GPK Timor Timur. Namun, jawaban permohonan itu sampai minggu lalu belum turun. Yang pasti, permohonan itu tak salah alamat. Beberapa waktu lalu, Menteri Ismail Saleh telah mengeluarkan surat keputusan tentang pemulihan hak untuk memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Priyono B. Sumbogo, Ahmed Kurnia Soeriawidjaja, Andy Reza Rohadian, dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini