Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Kota yang masih terluka

Peristiwa g.30.s/pki terjadi 16 tahun yang lalu. tapi penduduk di kota, sebuah desa di pantai timur p. singkep sampai kini masih selalu dicurigai dan dianaktirikan.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKA bekas peristiwa G.30.S/PK1 16 tahun lalu nampaknya belum sembuh betul. Di banyak tempat, cap "terlibat G.30.S/PKI" masih jadi ganjalan hidup sehari-hari. Di Kota, sebuah desa di pantai timur P. Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau, misalnya. Setiap berurusan dengan pihak luar, apalagi melamar pekerjaan, "penduduk Kota masih dicurigai" kata Kepala Desa Kota, Basar Yasin. Ketika G.30.S/PKI meletus, Kota yang berpenduduk 2.000 jiwa ini memang terpukul. Ratusan warganya yang sebagian besar karyawan Unit Penambangan Timah Singkep (UPTS) dinyatakan erlibat--dan dipecat. Murid-murid SD telantar karena beberapa gurunya diciduk. Kepala Desanya waktu itu, A. Ilamid, memang tokoh PKI setempat. Ia sempat lama jadi penghuni rumah tahanan di Batu Kucing, Tanjungpinang, karena termasuk golongan B. Hamid adalah satu-satunya eks tahanan yang masih bertahan tinggal di Kota--yang lainnya plndah menetap di luar desa itu. Sekitar 100 orang Tang diberhenti kan dari UPTS, banyak yang mengaku tak tahu apa-apa. "Kami masuk Serikat Buruh Tambang Indonesia (SBTI) hanya supaya bisa bekerja," tutur seorang bekas karyawan. Ketika iu, SBTI--organisasi di bawah PKI--sangat berpengaruh di UPTS. Di siang hari kini, Kota selalu sepi seperti tak berpenghuni. Pintu rumah mmah panggung yang sebagian besar beratap rumbia, selalu tertutup rapat. Semua penduduk pergi menyadap karet. Di musim hujan sebagian turun ke taut mencari ikan. Pemuda Kota yang ingin bekerja di kantoran, kebanyakan sulit. "Jangankan jadi pegawai tetap UPTS, jadi buruh kontraktor di penambangan timah itu pun sulit," kata seorang pemuda. Maka banyak yang mengaku berasal dari desa lain bila melamar pekerjaan. Tapi bila kemudian ketahuan berasal dari Kota "langsung dipecat." Mustafa Yasin, lulusan SPG, punya pengalaman pahit. Melamar jadi guru SD, ia merasa bisa menjawab dengan baik waktu dites. Tapi akhirnya ia dinyatakan gugur, karena "mereka tahu saya berasal dari Kota." Padahal ketika pemberontakan G.30.S/PKI meletus, ia masih kecil. Penyelundup Tak hanya dalam mencari pekerjaan dalam kegiatan olahraga atau kesenian pun warga Kota seperti dianak-tirikan. Anak-anak muda desa itu pernah ditolak bertanding sepakbola oleh remaja dari desa lain. Terakhir, Basar Yasin menjadi berang ketika pihak UPTS menyebarkan pengumuman rencana mendirikan Sekolah Penambangan Timah (SPT) bagi mereka yang berijazah SD. Kota yang berjarak 13 km dari Dabo (kota utama di Singkep) tak mendapat pemberitahuan itu. Padahal desa lain1 bahkan yang lebih jauh. dikirimi pengumuman itu. "Tidak hanya penduduk, anjing dari Kota pun nampaknya tetap dicurigai," kata Yasin kesal. Karena itu banyak pemuda Kota yang menyeberang ke Malaysia, bekerja di perkebunan karet di sana. Jumlahnya sudah sekitar 100 orang. Yang lain, setelah mengantungi ijazah SD atau SMP menyebar di berbagai tempat di luar Singkep. Barangkali karena itu para pemuda Kota kini sering membuat ulah yang kurang senonoh. Mereka suka ugal-ugalan atau mengganggu karyawan UP TS. Seorang di antaranya mengaku, pernah hendak membajak kapal tongkang milik UPTS yang membawa pasir timah untuk dilarikan ke Singapura. "Agar sakit hati saya lepas," katanya. Beberapa pemuda Kota lain bahkan jadi penyelundup pasir timah. "Setiap ada kasus, setelah diusut, ternyata pelakunya dari desa Kota," tutur seorang pejabat UPTS. Meskipun, kata Basar, pemuda itu sebenarnya hanya jadi kaki tangan, "dalangnya oknum UPTS juga." Pihak UPTS menolak tuduhan seakan menutup pintu bagi warga Kota yang ingin bekerja di penambangan itu. "Lowongan di UPTS memang terbatas," kata Slametto, Humas UPTS. Tapi ia menjanjikan, akan menampung penduduk desa itu bila beberapa proyek baru UPTS mulai terlaksana. Misalnya, perkebunan kelapa sawit, pembuatan jalan dan pelabuhan. Rasyid Jalil, Camat Singkep? mulai pula merintis agar penduduk Kota tak merasa dikucilkan. Pada perayaan 17 Agustus lalu, warga Kota diundang. Mereka datang naik truk dengan wajah berseri, dan menyuguhkan acara perkawinan adat Melayu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus