LUKA bekas peristiwa G.30.S/PK1 16 tahun lalu nampaknya belum
sembuh betul. Di banyak tempat, cap "terlibat G.30.S/PKI" masih
jadi ganjalan hidup sehari-hari. Di Kota, sebuah desa di pantai
timur P. Singkep, Kabupaten Kepulauan Riau, misalnya. Setiap
berurusan dengan pihak luar, apalagi melamar pekerjaan,
"penduduk Kota masih dicurigai" kata Kepala Desa Kota, Basar
Yasin.
Ketika G.30.S/PKI meletus, Kota yang berpenduduk 2.000 jiwa ini
memang terpukul. Ratusan warganya yang sebagian besar karyawan
Unit Penambangan Timah Singkep (UPTS) dinyatakan erlibat--dan
dipecat. Murid-murid SD telantar karena beberapa gurunya
diciduk. Kepala Desanya waktu itu, A. Ilamid, memang tokoh PKI
setempat. Ia sempat lama jadi penghuni rumah tahanan di Batu
Kucing, Tanjungpinang, karena termasuk golongan B. Hamid adalah
satu-satunya eks tahanan yang masih bertahan tinggal di
Kota--yang lainnya plndah menetap di luar desa itu.
Sekitar 100 orang Tang diberhenti kan dari UPTS, banyak yang
mengaku tak tahu apa-apa. "Kami masuk Serikat Buruh Tambang
Indonesia (SBTI) hanya supaya bisa bekerja," tutur seorang bekas
karyawan. Ketika iu, SBTI--organisasi di bawah PKI--sangat
berpengaruh di UPTS.
Di siang hari kini, Kota selalu sepi seperti tak berpenghuni.
Pintu rumah mmah panggung yang sebagian besar beratap rumbia,
selalu tertutup rapat. Semua penduduk pergi menyadap karet. Di
musim hujan sebagian turun ke taut mencari ikan.
Pemuda Kota yang ingin bekerja di kantoran, kebanyakan sulit.
"Jangankan jadi pegawai tetap UPTS, jadi buruh kontraktor di
penambangan timah itu pun sulit," kata seorang pemuda. Maka
banyak yang mengaku berasal dari desa lain bila melamar
pekerjaan. Tapi bila kemudian ketahuan berasal dari Kota
"langsung dipecat."
Mustafa Yasin, lulusan SPG, punya pengalaman pahit. Melamar jadi
guru SD, ia merasa bisa menjawab dengan baik waktu dites. Tapi
akhirnya ia dinyatakan gugur, karena "mereka tahu saya berasal
dari Kota." Padahal ketika pemberontakan G.30.S/PKI meletus, ia
masih kecil.
Penyelundup
Tak hanya dalam mencari pekerjaan dalam kegiatan olahraga atau
kesenian pun warga Kota seperti dianak-tirikan. Anak-anak muda
desa itu pernah ditolak bertanding sepakbola oleh remaja dari
desa lain. Terakhir, Basar Yasin menjadi berang ketika pihak
UPTS menyebarkan pengumuman rencana mendirikan Sekolah
Penambangan Timah (SPT) bagi mereka yang berijazah SD. Kota yang
berjarak 13 km dari Dabo (kota utama di Singkep) tak mendapat
pemberitahuan itu. Padahal desa lain1 bahkan yang lebih jauh.
dikirimi pengumuman itu. "Tidak hanya penduduk, anjing dari Kota
pun nampaknya tetap dicurigai," kata Yasin kesal.
Karena itu banyak pemuda Kota yang menyeberang ke Malaysia,
bekerja di perkebunan karet di sana. Jumlahnya sudah sekitar 100
orang. Yang lain, setelah mengantungi ijazah SD atau SMP
menyebar di berbagai tempat di luar Singkep.
Barangkali karena itu para pemuda Kota kini sering membuat ulah
yang kurang senonoh. Mereka suka ugal-ugalan atau mengganggu
karyawan UP TS. Seorang di antaranya mengaku, pernah hendak
membajak kapal tongkang milik UPTS yang membawa pasir timah
untuk dilarikan ke Singapura. "Agar sakit hati saya lepas,"
katanya.
Beberapa pemuda Kota lain bahkan jadi penyelundup pasir timah.
"Setiap ada kasus, setelah diusut, ternyata pelakunya dari desa
Kota," tutur seorang pejabat UPTS. Meskipun, kata Basar, pemuda
itu sebenarnya hanya jadi kaki tangan, "dalangnya oknum UPTS
juga."
Pihak UPTS menolak tuduhan seakan menutup pintu bagi warga Kota
yang ingin bekerja di penambangan itu. "Lowongan di UPTS memang
terbatas," kata Slametto, Humas UPTS. Tapi ia menjanjikan, akan
menampung penduduk desa itu bila beberapa proyek baru UPTS mulai
terlaksana. Misalnya, perkebunan kelapa sawit, pembuatan jalan
dan pelabuhan.
Rasyid Jalil, Camat Singkep? mulai pula merintis agar penduduk
Kota tak merasa dikucilkan. Pada perayaan 17 Agustus lalu, warga
Kota diundang. Mereka datang naik truk dengan wajah berseri, dan
menyuguhkan acara perkawinan adat Melayu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini