DIA tidak ditargetkan merebut medali emas untuk nomor lari 5000
m dalam PON X yapg lalu. Harapan pelatihnya, Ventje Gozal, 39
tahun, kalau dia bisa mempertajam rekornya sendiri sudah
lumayan. Tetapi ketika dia berdiri di lintasan dan berada di
bawah tatapan mata sekitar 10.000 penonton ambisi Rachmat Fauzi
jadi terbakar.
Begitu pistol start meletus dia menempel ketat pada pelari yang
sudah punya nama seperti Ali Sofyan Siregar, Solichin, Sam Saud
dan Abdul Salam. Di antara 18 peserta dari 14 daerah itu
Rachmat Fauzi yang mengenakan nomor dada 107 maju dengan
langkah-langkah yang mantap.
Sampai putaran kelelapan dia masih bisa bertahan untuk
membuntuti pelari-pelari tangguh dari Jakarta, Ali Sofyan
maupun Solichin yang silih berganti memimpin di depan. Pelari
asal Jambi itu ternyata lebih kuat dari andalan Jaa Timur, Abd.
Rahman Zakin yang menyerah dan berhenti karena kejang otot perut
sebelum mencapai jarak 4000 m.
Baru pada putaran kesepuluh Rachmat Fauzi mulai kehabisan
"bensin " dan tercecer sekitar 100 m di belakang pelari yang
memimpin. Ketika Ali Sofyan (DKI) memasuki garis finish disusul
Abdul Salam (Sulawesi Selatan) dan Solichin (DKI), Rachmat
Fauzi tertinggal sekitar 400 m. Dia menyentuh garis finish
dengan langkah yang goyang dan tidak ada sisa tenaga lagi untuk
jogg guna menurunkan detak jantungnya yang berpacu hebat selama
pertandingan tadi.
Takbir
Ia sempat dipapah oleh pelatih dan teman sedaerahnya berkeliling
di lapangan rumput. Karena kakinya sudah tak kuat melangkah,
akhirnya dia direbahkan ke rumput.
Dia menelentang. Keringat membasuh tubuhnya. Tak berapa lama
kemudian tangan dan kakinya mulai gemetar. Matanya terbeliak.
Tiba-tiba dia berdiri. Kepada pelatihnya dia berteriak. "Kau
pelatihku ya! Kau lihat saya lari?" Ventje Gozal merangkulnya
dan menerentangkannya kembali ke rumput. Dia mulai mengigau
seperti orang kesurupan. "Allahu Akbar! Allahu Akbar! " serunya.
Ketika petugas lapangan, wartawan foto, perawat dan seorang
dokter wanita datang mengerubung, dia berteriak "Jangan masukkan
koran ya!" Dia berdiri dan berkeliling, kemudian rebah lagi ke
lapangan.
Dokter wanita yang masih muda itu mengukur tensinya. "Normal,"
kata dokter itu. Ia kelihatan seperti kebingungan menghadapi
atlet yang berubah menjadi pasien ini. "Apa ada keturunan Fauzi
yang menderita ayan." Pertanyaan ini tidak mendapat jawaban.
Sebab si Fauzi terus-menerus meneriakkan Takbir.
Ada satu jam dia menderita begitu. Sempat pula seorang wartawan
foto mencobakan ilmu gaibnya. Pelari jarak menengah itu
didudukkannya. Setelah komat-kamit barang sebentar lantas dia
memukul punggung pemuda itu. Tapi tak menolong juga. Akhirnya
datang tandu dan pelari yang duduk di tingkat 11 Fakultas
Ekonomi Universitas Jambi itu digotong ke luar lapangan.
Sampai di luar Stadion Utama, tak ada ambulans. Dia dimasukkan
ke dalarn mobil pribadi dr. Sarengat yang duduk sebagai pimpinan
Panitia Pelaksana PON X. Rachmat Fauzi yang sudah 12 « kali lari
berputar di dalam stadion, sekarang harus berputar-putar lagi di
luar stadion, karena sopir maupun mantri yang membawanya tak
tahu di mana Pusat Kesehatan Olahraga.
Tapi apa yang diderita si pelari itu? Biasanya kalau kehabisan
tenaga yang mengakibatkan otak kekurangan suplai oksigen, orang
akan jatuh tak sadarkan diri. Sedangkan Rachmat masih bisa
berdiri dan berteriak-teriak. "Dia terlalu capek. Terlalu tegang
ketika bertanding," kata dokter yang merawatnya. Supaya sadar
Rachmat diberi oksigen. Untuk menenangkan gerakan-gerakan dan
ocehannya, dokter memberi obat penenang pula.
Tak sampai sehari dia dirawat di Pusat Kesehatan Olahraga yang
terletak di Senayan. Selain keterangan dokter bahwa dia terlalu
capek ada pula yang menduga Rachmat memang penderita epilepsi
atau ayan.
Gelap
Si pelari itu sendiri, beberapa hari setelah musibah itu
bercerita kepada wartawan TEMPO Erlina Soekarno, bahwa ibunya
memang suka bertingkah-laku seperti orang ayanan. "Kalau ibu
saya sedang sakit, dia sering mengigau. Mata melotot dan
mengoceh tak karuan," katanya.
Ayan biasanya diiringi mulut berbusa. Tapi pada jenis epilepsi
lain tanda-tanda seperti itu tak ada. Dalam sebuah tulisannya
ahli neurologi dan Rektor UI, Prof. dr. Manar Mardjono ada
mengemukakan tentang temporal lobe epilepsy. Ayan jenis ini
disebabkan oleh radang ataupun karena kurangnya darah di otak.
"Kalau radang itu aktif maka si penderita tidak akan sadar atas
apa yang diperbuatnya," kata Mabar Mardjono.
Tentang pelari dari Jambi itu, Prof. Mahar berkomentar: "Mungkun
waktu lahir dia kekurangan darah di otak. Tapi saya belum bisa
memastikannya. Sebab saya tidak melihat kejadian yang menimpanya
dan tidak memeriksanya. Tapi menurut dugaan sementara dan hanya
kecapekan. sarangkali dia terlalu memforsir diri. Hal itu
membuat jantungnya terlalu cepat berdenyut dan darah yang
membawa oksigen ke otaknya berkurang."
Rachmat Fauzi tidak ingat apa yang dialami pada sore hari
tanggal 24 September itu. "Begitu mencapai garis finish,
tiba-tiba kepala. puyeng dan gelap sekali. Sesudah itu saya
tidak ingat apaapa lagi," katanya di penginapan atlet di Wisma
Krida Senayan. Seminggu setelah kejadian dia belum kuat berdiri
lama-lama, karena mudah pusing.
Pelatih maupun teman-temannya satu tim dari Jambi prihatin
terhadap nasib yang menimpa Rachmat. Namun mereka kagum pada
kemauannya yang besar untuk mendapat kedudukan terhormat.
Sekalipun gagal memperoleh medali, dia berhasil berlari lebih
cepat 23 detik dari prestasinya yang lama, 17.30 menit untuk
jarak 5000 m itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini