SETIAP menghadapi musim tanam, penduduk Desa Silampuyeng, kini
banyak menganggur. Sejak tiga tahun lalu, sawah mereka tanpa air
lagi. Ini gara-gara mual goir (sumber air) desa itu, disedot
untuk Proyek Air Minum (PAM) Tirtauli di Kota Pematangsiantar.
"Walaupun musim kemarau, dulu kami talk pernah kekurangan air,"
kata Syamsir Sutarmin, Kepala Desa Silampuyeng.
Di desa berpenduduk 3.200 jiwa di Kecamatan Pematangsiantar,
Simalungun itu, terdapat lima mual goit. Airnya jernih dan tak
pernah kering dengan debit 500 liter/detik. Selain bisa mengairi
399 hektar sawah, penduduk memanfaatkannya untuk minum, mandi
dan keperluan lain. Sumber air ini konon rembesan dari Danau
Toba, meskipun jaraknya 46 km.
Bekerjasama dengan Lembaga Alliasi Penelitian dan Industri
(LAPI) dan ITB Bandung, pada 1973 diadakan survei untuk
persiapan air minum (PAM) Pematangsiantar. Diperkirakan mual
goit di Silampuyeng itu bisa memenuhi kebutuhan air warga Kota
Pematangsiantar, sampai tahun 2.000. Sumber air lama dari
Nagahuta yang hanya 100 liter/detik, meman selama ini tak
mencukupi warga Pematangsiantar.
Tahun 1975 sumber air desa itu tibatiba jadi keruh dan berbau.
Untuk minum, sejak itu penduduk terpaksa mencari mual goit lain,
berjalan kaki 5 km naik bukit.
Mendengar bahwa mual goit yang jadi keruh itu karena akan dibuat
PAM, penduduk tenang-tenang saja. Mereka pikir, proyek itu untuk
Desa Silampuyeng. Tapi penduduk mulai curiga ketika pipa-pipa
bergaris tengah 30 cm dipasang, dan diarahkan ke Kota
Pematangsiantar yang berjarak sekitar 12 km dari Silampuyeng.
Proyek dengan biaya Rp 465 juta dan 1 juta dollar Australia
(bantuan pemerintah sana), memang bukan proyek kecil. Sebanyak
157.000 penduduk Pematangsiantar bisa menikmati air dari proyek
ini.
Bah! Mana Mungkin?
Yang dialirkan ke kota memang cuma dari empat mual goit, dengan
debit 400 liter/detik. Yang satu, debit 100 liter/detik, tetap
dimanfaatkan untuk Silampuyeng. Tapi ini tak mencukupi. Di
Silampuyeng Bawah (Desa Hutabagasan) tahun lalu, 75 hektar sawah
tak kebagian air. Tahun ini, jumlah yang kekeringan bertambah
jadi 85 hektar. Sejak 1979, sawah di sini praktis hanya
mengandalkan hujan. "Kalau dua minggu saja hujan tidak turun,
padi kami mampus semua," keluh Munah, ibu tujuh orang anak.
Di musim kemarau, sawah retak-retak dan keras bak batu padas.
Tak heran bila semakin banyak sawah yang ditelantarkan, menjadi
tempat penggembalaan kerbau atau arena main layang-layang. Si
petani lalu merantau ke luar. Silampuyeng mencari nafkah.
Sebagian memburuh di perkebunan kelapa sawit Kini, hampir
seluruh penduduk Silampuyeng, menurut Syamsir, mencari nafkah di
luar desa. "Dulu kami tak pernah sengsara begini," keluh seorang
penduduk.
Kepala desa dan pengurus Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa,
September lalu, akhirnya berembuk. Kesimpulannya mendesak agar
mual got dikembalikan pada keadaannya semula. Bupati
Simalungun, J.P. Silitonga, segera pula membentuk tim guna
menjajaki persoalan itu. Hasilnya "masih dalam penggodokan,"
ujar M.J.T. Sihotang, Walikota Pematangsiantar.
Mengembalikan fungsi mual goit menurut Direktur PAM
Pematangsiantar, I .M. Sibarani, " Bah, mana mungkin !" Tuntutan
penduduk Silampuyeng, katanya, memang manusiawi. Tapi ia menilai
lebih manusiawi memanfaatkan sumber air itu bagi Kota
Pematangsiantar yang jumlah penduduknya 50 kali lipat. la
menuduh penduduk Silampuyeng ingin minta ganti rugi.
Sibarani memang berurusan dengan air minum, bukan air sawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini