KERETA api berkecepatan tinggi di Prancis? Nanti dulu. Jepang
kan sudah punya, bahkan "kereta peluru" Shinkansen sudah lebih
15 tahun beroperasi di sana. Jadi apalah hebatnya keta Prancis
itu?
Tapi rupanya train a grande vitesse : GV, kereta berkecepatan
tinggi) milik Prancis itu bisa melaju dengan kecepatan rata-rata
260 km per jam--mengungguli di kecepatan Tokaido Shinkansen dan
Sanyo Shinkansen yang 210 km per jam.
Bukan itu saja. Hampir 400 penumpang TGV itu bisa mencapai
tujuannya dalam waktu hampir separuh lebih cepat, tanpa tambahan
biaya. Bahkan tetap berlaku berbagai reduksi dan fasilitas
seperti pada kereta api umumnya milik SNCF (Sociate Natonale
des Chemrns de Fer Francais), PJKA-nya Pranis. Semua ini di saat
eksplotasi kereta umumnya rugi dan kalah bersaing dengan pesawat
terbang dan mobil.
Karenanya senyum puas mengiringi cakap riang ratusan penumpang
TGV ang tiba di Lyon, Minggu pekan lalu. Kurang dua setengah jam
yang lalu mereka meninggalkan Gare de Lyon di Paris, 470 km
sebelah baratdaya Lyon. Senyum itu sebuah awal yang baik: hari
itu TGV resmi mulai dioperasikan pada alur khusus antara Paris
dan Lyon, sejaar dengan "jalur tenggara" yang klasik.
Lima hari sebelumnya, 22 September, Presiderl Francois Mitterand
mengikuti perjalanan perdana TGV itu.
Sebelumnya, perjalanan Paris-Lyon menyita hampir 4 jam,
sekalipun dengan KA "Mistral", kereta ekspres lintas Eropa (TEE)
yang tersohor. Kini TGV memungkinkan suatu perjalanan ke Lyon
pulang hari.
Sebetulnya TGV mampu mencapai kecepatan jauh lebih tinggi. Ini
terbukti ketika Februari lalu TGV, dalam suatu lintasan uji
coba, mencapai kecepatan 380 km per jam--suatu rekor baru bagi
kendaraan di atas rel. Namun kecepatan operasional dibatasi di
bawah 300 km per jam.
Kecepatan setinggi itu di atas rel terutama dimungkinkan oleh
perkembang an di teknologi perkeretaapian. Dulu diauggap sangat
penting memberi jarak ke il antara dua lonjoran rel, menjaga
pemualan besi akibat naiknya suhu. Ternyata sekarang hal itu tak
lagi jadi problem betul. Kini dipakai kombinasi antara mutu baja
dan teknik pengelasan yang baik. Juga ada pengikatan yang kuat
pada bantalan, dan--yang terpokok--pemasangan lonjoran rel jika
suhu mencapai nilai rata-rata buat lokasi itu.
Karenanya rel bisa dibuat bersinambungan tanpa sela antara,
meniadakan irama khas kereta api zaman dulu-yang mungkin tak
lagi nyaman bila kereta bergerak mendekati 300 km per jam.
Demikianlah hampir 400 km rel pada jalur Paris-Lyon berupa dua
lonjoran bersinambungan kecuali sekitar jembatan.
Kedua lonjoran rel ini terikat pada bantalan beton. Beton memang
semakin banyak digunakan bagi jalur kereta api, menggantikan
kayu atau baja. Kombinasi bantalan beton dengan lonjoran rel
yang bersinambungan, menghasilkan jalur yang kuat dan bebas
getaran, biarpun kereu berlalu bagai kilat. Pada jalur
Paris-Lyon terdapat 1.666 bantalan setiap kilometer, dan rel
terikat padanya beralaskan bahan elastis sebagai peredam
getaran.
Yang tak kalah penting ialah soal rem. Kereta api biasa selain
punya sistem rem utama, juga punya rem darurat.
Namun dengan kecepatan setinggi TGV, sistem rem friksi seperti
itu hampir tak berdaya dan pasti gagal menghentikan rangkaian
kereta dalam keadaan darurat.
Karena itu pada TGV digunakan 3 sistem rem. Pertama yang secara
elektromagnetis menghentikan kereta bermesin. Kedua sistem rem
piringan untuk roda rangkaian gerbong penumpang, dan akhirnya
sistem rem friksi biasa yang menghentikan seluruh rangkaian.
Tapi juga masih ada sistem pengamanan otomatis. Setiap saat
tertentu,pengemudi TGV menerima instruksi dari pusat
pengendalian kereta. Jika karena satu atau lain sebab instruksi
itu tak dijalankan pengemudi itu, kereta TGV secara otomatis
berkurang kecepatannya, dan akhirnya berhenti.
Tak Bitu Antusias
Tapi tak hanya perkembangan teknologi yang akhirnya memungkinkan
TGV itu melaju. Ketika pertama kali gagasan TGV itu dikemukakan
kepada Menteri Transpor di tahun 1969--masih kabinet Presiden de
GauUe--sambutannya tak begitu antusias. Disetujui tidak, ditolak
pun tidak. Orang masih terpukau pada kecemerlangan perkembangan
pesawat terbang (ingat Concorder) dan kendaraan bermotor di
zaman bahan bakar murah itu. Kejutan OPEC di tahun 1973 segera
membangunkan mereka. Akhirnya diputuskan, jalur ParisLyon harus
dilalui kereta listrik, sesuatu yang sangat logis di Prancis
dengan jaringan listrik yang sangat luas.
Dukungan bagi kelayakan proyek TGV itu datang dari Jepang.
Contoh keberhasilan kereta Sbinkansen yang mampu bersaing dengan
pesawat te bang dan mobil, akhirnya meyakinkan para perancang
di Prancis.
Shinkansen memang suatu keajaiban dalam perkeretaapian sedunia.
Pemasukan jauh lebih tinggi ketimbang ongkos eksploitasi. Saat
ini 130 rangkaian mengangkut 50.000 penumpang rau-rata setiap
hari.
Segi lain yang mendorong TGV menjadi kenyataan di Prancis ialah
jenuhnya jalur kereta api Paris-Lyon. Hampir 40% penumpang
kereta api di Prancis menggunakan jalur itu. Lyon memang kota
penting. Setelah Paris di Prancis Lyon-lah kota terbesar dan
terpenting, dari segi jumlah penduduk, letak geografis, Jenis
industri dan pertanian.
Kini menumpang TGV kota itu bisa dicapai dalam waktu 2 jam 40
menit dengan harga 167 franc (atau Rp 19.000) naik kelas dua.
Kelas satu harganya 247 franc (atau Rp 28.500). Ini dibanding
397 franc (atau Rp 45.000) untuk pesawat terbang (ekonomi) dan
300 franc (atau Rp 34.000) dengan mobil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini