Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fenomena El Nino berpeluang terjadi pada semester II 2023.
Kekeringan pada 2015 mengakibatkan defisit air sekitar 20 miliar meter kubik.
Pada 2015, sebanyak 16 provinsi yang meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan kekeringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi cuaca panas ekstrem bakal terjadi pada tahun ini. Hal ini dipengaruhi oleh potensi El Nino, yakni fenomena meningkatnya pemanasan suhu muka laut (SML) di atas normal yang diprediksi terjadi pada semester II 2023. Pada Maret ini, dinamika atmosfer laut diprediksi beralih ke fase netral dan bertahan hingga semester pertama 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, A. Fachri Radjab, mengatakan puncak kemarau diprediksi terjadi pada Juni dan Juli. Di beberapa wilayah, puncak kemarau diperkirakan terjadi pada waktu berbeda. Dia mencontohkan, Pulau Jawa dan sekitarnya mengalami puncak kemarau pada Agustus, sedangkan Kalimantan pada Juli dan Agustus.
Secara umum, fenomena El Nino berdampak pada berkurangnya curah hujan di wilayah Indonesia dan berpotensi menimbulkan kekeringan meteorologis. Menurut Fachri, kekeringan juga secara nyata berdampak pada sulitnya ketersediaan air bersih dan ancaman kerusakan di beberapa sektor, khususnya pertanian. “Krisis air diprediksi terjadi karena hujannya berkurang. Suplai air masuk ke tanah akan berkurang, yang otomatis menyebabkan ketersediaan air tanah berkurang,” ujar Fachri saat dihubungi pada Ahad, 14 Mei 2023.
Perihal krisis air, berdasarkan data Dewan Sumber Daya Air Nasional, Indonesia diprediksi mengalami krisis air bersih pada 2025. Kawasan Jawa dan Bali menjadi daerah yang mengalami krisis air tertinggi. Selain faktor cuaca dan iklim, krisis air merupakan dampak dari jumlah penduduk yang terus bertambah.
Berdasarkan data BMKG pada Mei ini, indeks ENSO (El Nino-Southern Oscillation) masih dalam kategori netral, yakni 0,33 derajat Celsius. Fenomena El Nino bisa dikatakan terjadi jika indeks ENSO berada pada 0,5 derajat Celsius selama tiga bulan berturut-turut.
ENSO merupakan fenomena atmosfer laut yang terjadi secara berkala dan tidak teratur yang melibatkan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik timur laut. Fenomena ini berpengaruh terhadap sebagian besar daerah tropis dan subtropis. Indeks ENSO menunjukkan suhu permukaan laut di wilayah Pasifik tengah dan timur dalam kondisi dingin selama enam dasarian terakhir dengan nilai anomali telah melewati angka -0.5 derajat Celsius, yang menjadi ambang batas kategori La Nina.
Sejumlah warga mengambil air di sungai yang mulai mengering debit airnya di Desa Jatisari, Arjasa, Situbondo, Jawa Timur, 3 Mei 2023. ANTARA/Seno
Menurut Fachri, dalam tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami La Nina atau pendinginan, suatu kondisi kebalikan dari El Nino. “Pada 2020-2022, iklim di Indonesia mengalami La Nina. Artinya, secara umum, kalau ada La Nina menjadi lebih basah sehingga curah hujan banyak. Tahun ini tidak ada lagi La Nina,” ujarnya.
Baca: Waspada Gelombang Tinggi di Jalur Penyeberangan
Laporan BMKG pada Mei menyebutkan ada wilayah yang bakal menerima curah hujan tinggi, yakni lebih dari 2.500 milimeter per tahun, dan ada wilayah yang menerima hujan di bawah normal. Curah hujan di sebagian wilayah Papua Barat dan Utara, misalnya, di bawah normal. Di beberapa wilayah, seperti Sumatera, Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian Kalimantan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan, berpotensi mendapat curah hujan tinggi.
Kendati begitu, beberapa wilayah tercatat tidak menerima curah hujan dalam waktu cukup lama, seperti Bali serta Nusa Tenggara Barat dan Timur. Untuk mengatasi kekeringan, Fachri menyarankan masyarakat agar menghemat air dan melakukan penyimpanan.
Keterangan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) pada 3 Mei lalu juga menyebutkan bahwa fenomena El Nino ada kemungkinan meningkat pada akhir tahun ini. Menurut WMO, peluang 60 persen terjadi dalam transisi dari ENSO netral ke El Nino selama Mei sampai Juni 2023. Angka tersebut meningkat 70 persen pada Agustus dan 80 persen pada September.
“La Nina dalam tiga tahun terakhir bertindak sebagai rem sementara atas kenaikan suhu global. Perkembangan El Nino ada kemungkinan menyebabkan lonjakan baru dalam pemanasan global dan berpeluang memecahkan rekor terus meningkatnya suhu,” ujar Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas, dalam keterangan resmi yang dimuat di website resmi WMO pada awal Mei 2023.
Meningkatnya suhu global, sebagai dampak El Nino, terjadi pada 2016 yang dibarengi dengan pemanasan akibat gas rumah kaca. Meski terjadi pada 2023, WMO menyebutkan dampak dari fenomena El Nino terlihat jelas pada tahun berikutnya, yakni pada 2024. WMO juga mencatat telah terjadi kenaikan suhu sejak Februari 2023. Pada sekitar bulan itu, suhu permukaan laut meningkat di Pasifik khatulistiwa.
Defisit Air 20 Miliar Meter Kubik
Dalam kesempatan terpisah, juru kampanye Greenpeace, Rio Rompas, mengatakan dampak El Nino cukup serius karena fenomena ini, selain berdampak pada krisis air dan kekeringan tingkat tinggi, akan berdampak pada kebakaran hutan. Rio menuturkan, pada 2015, masif terjadi kebakaran hutan sebagai dampak luar biasa dari El Nino. “Tentunya pemerintah harus melakukan persiapan lebih matang,” ujarnya.
Rio merujuk pada laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Data pada 2015 menyebutkan fenomena El Nino disamakan dengan peristiwa serupa pada 1997. Pada 2015, tercatat terjadi musim kemarau panjang di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Dia menuturkan, berdasarkan data BNPB, pada periode itu terjadi defisit air sekitar 20 miliar meter kubik. Sebanyak 16 provinsi yang meliputi 102 kabupaten/kota dan 721 kecamatan di Indonesia hingga akhir Juli 2015 mengalami kekeringan. Lahan pertanian seluas 111 ribu hektare juga mengering. Menurut Rio, mitigasi risiko seyogianya dilakukan jauh-jauh hari karena potensi El Nino merupakan fenomena yang bisa diprediksi. “Seharusnya upaya pencegahan dilakukan dalam beberapa tahap dan tingkatan,” ujarnya.
Menurut Rio, upaya pencegahan jangka panjang mesti diprioritaskan, seperti reboisasi dan pemulihan lahan gambut, termasuk memangkas regulasi yang menyebabkan deforestasi. Pemerintah, kata dia, juga harus memastikan ketersediaan air pada titik-titik kritis dengan membangun kilang air.
Pemerintah sebelumnya sempat menyinggung akan mengatasi fenomena ini dengan teknologi modifikasi cuaca. Namun, menurut Rio, hal itu kurang efektif. Sebab, selain berbiaya mahal, cara itu hanya untuk jangka pendek. “Rekayasa cuaca kurang efektif. Kerusakan lingkungan terjadi akibat pemberian izin berbasis lahan yang dilakukan pemerintah. Ini yang harus dievaluasi,” ujarnya.
Petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mendistribusikan air bersih di Desa Jatisari, Arjasa, Situbondo, Jawa Timur, 10 Mei 2023. ANTARA/Seno
Menanggapi hal tersebut, peneliti klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengatakan potensi adanya fenomena El Nino belum terkonfirmasi. Menurut dia, fenomena El Nino bisa terjadi jika suhu di atas 0,5 derajat Celsius di Samudra Pasifik Ekuator di bagian tengah dan terjadi selama tiga bulan berturut-turut. “Kalau cuma satu bulan, lalu keesokan bulan tidak terpenuhi 0,5 derajat Celsius, ya, tidak terjadi El Nino. Itu sudah ada definisi ilmiahnya," ujarnya.
Menurut Erma, di sejumlah wilayah di Nusa Tenggara, Sumatera, dan Aceh, saat ini sudah mulai muncul sinyal kering akibat suhu panas ekstrem yang meningkat serta berkurangnya intensitas hujan. Meski fenomena El Nino belum terkonfirmasi, Erma mewanti-wanti dampak fenomena ini, yakni musim kemarau bisa lebih panjang dan sifat kemaraunya lebih kering. “Bahaya itu sudah terbukti pada 2015. Musim kemarau panjang dan terutama terjadinya kebakaran hutan."
JIHAN RISTIYANTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo