IBNU Sutowo pada awal tahun 70-an adalah sebuah nama besar nan kuat. Selain menyandang pangkat letnan jenderal, Ibnu adalah direktur utama Pertamina. Sebuah perusahaan milik RI yang termasuk dalam daftar 184 perusahaan terbesar di luar Amerika Serikat waktu itu. Perusahaan ini juga tiang utama ekonomi Indonesia yang masih compang-camping, baru lepas dari kekacauan zaman Orde Lama. Nama Ibnu sekarang kembali disebut di manamana. Urusan Pertamina dengan almarhum Haji Thahir, bekas pembantu dekat Ibnu, yang belum kunjung usai, mau tak mau kembali menyeret bekas orang nomor satu Pertamina ini ke gelanggang berita. Maka, tak heran bila banyak orang bertanyatanya, peran apakah sebenarnya yang dimainkan Ibnu Sutowo dalam krisis Pertamina. Sementara itu, Kartika Ratna secara langsung sudah menuduh Ibnu sebagai orang yang ikut menikmati banyak komisi alias uang sogok. Yang jelas, pada zamannya, Ibnu memang figur yang luar biasa. Jangan bayangkan situasinya seperti sekarang. Indonesia anno 1971 belum punya perusahaan yang namanya konglomerat. Saat itu sekitar 60 persen dari semua mobil yang berkeliaran di jalan adalah milik pemerintah. Perusahaan swasta yang kuat boleh dibilang belum ada. Raksasa saat ini, Salim Group, ketika itu baru mulai berkembang dengan pabrik tepung Bogasarinya. Yang namanya Astra sedang sibuk bergelut membesarkan "bengkel" perakitan mobilnya. Lippo, Dharmala, atau kelompok lain yang kini besar, belum juga lahir. Satu-satunya yang bisa disebut konglomerat di republik ini tak pelak lagi cuma Pertamina. Terlebih lagi ketika perusahaan ini kemudian ketiban rezeki luar biasa. Harga minyak mentah tiba-tiba saja melonjak tiga sampai empat kali lipat menjadi di atas US$ 12 per barel, gara-gara Perang Arab-Israel yang meletus Oktober 1973. Maka, segala sesuatunya di masa itu tak bisa lepas dari nama Pertamina. Dalam hampir segala proyek, Pertamina, sebagai satu-satunya pihak yang punya duit di negeri ini, selalu ikut berperan serta. Urusan mencari minyak sudah dibereskan oleh para kontraktor asing seperti Caltex dan rekan-rekannya. Sedangkan Pertamina boleh sibuk dengan segala macam proyek di sana-sini, mulai dari mencetak sawah hingga membangun berbagai gedung. Sampai-sampai kala itu ada gurauan yang sangat populer di Jakarta, "Lemparlah sebuah batu dari udara, batu itu akan menimpa sebuah gedung Pertamina." Mungkin ini berlebihan, tapi kenyataannya memang tak terlalu jauh dari itu. Bina Graha, tempat Presiden Soeharto sekarang ini berkantor Balai Sidang Senayan, yang saat ini sedang dirombak untuk KTT Nonblok gedung perkantoran Graha Purna Yudha, yang berarsitektur aneh di pojok Jembatan Semanggi Jakarta sampai bangunan kecil seperti beberapa gedung pengadilan negeri di Jakarta, semuanya dibangun Pertamina, paling tidak uang Pertamina ikut serta di dalamnya. Bukan cuma di Jakarta. Di Bali, Pertamina punya hotel bintang lima Pertamina Cottage di tempat yang sangat strategis. Hanya beberapa kilometer dari bandara internasional Ngurah Rai, di Pantai Kuta yang indah. Di Semarang, Pertamina membangun hotel mewah Patra Jasa yang berkamar 70. Di Balikpapan bahkan dibangun gedung pertemuan Banua Patra. Gedung ini dijuluki Balai Sidang mini, karena potongannya mirip dengan yang besar di Senayan, Jakarta. Setelah macet beberapa tahun, gedung ini akhirnya dirampungkan pada saat Ibnu Sutowo berkuasa di Pertamina. Rentangan beragam bisnis yang dikendalikan Ibnu Sutowo juga menyeberang sampai ke New York. Dan ini jauh sekali urusannya dengan minyak. Sebuah restoran mewah yang khusus menyajikan masakan Indonesia dibangun di sana. Namanya Ramayana, dengan penyanyi terkenal Bob Tutupoly sebagai manajernya. Di bidang industri, pekerjaan yang digarap Pertamina juga bukan main. Sejak 1971, Pemerintah sudah menugasi Pertamina untuk melanjutkan proyek pabrik baja di Cilegon, yang kemudian dikenal dengan nama Krakatau Steel. Pabrik ini sudah mulai dibangun sejak 1962, dengan bantuan Rusia, tapi macet sejak 1966. Inilah proyek yang menjadi sumber perkara saat ini di pengadilan Singapura (lihat Siapa mister 5%.). Bagaimana Pertamina dengan Ibnu Sutowo melaju bak lokomotif ekonomi Indonesia juga tampak pada proyek Pulau Batam. Presiden Soeharto pada tahun 1971 memerintahkan agar Ibnu Sutowo mengubah Batam, yang saat itu masih berupa hutan, menjadi kawasan industri modern. Kalau merujuk pada penjelasan resmi, proyek Batam adalah proyek pemerintah pusat, bukan proyek Pertamina. Dan Ibnu Sutowo yang oleh Presiden ditunjuk sebagai pelaksana. Namun, saat itu tentu saja sulit untuk melepaskan Ibnu dari Pertamina. Perintah ini segera disambut dan Ibnu merencanakan membangun kilang minyak Pertamina dengan kapasitas 100.000 barel per hari di sana. Sekalipun saat itu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) masih belum dilibatkan, Pertamina tampak tak sabar. Beberapa pabrik pembuat alatalat penggali minyak sudah berdiri di sana sejak 1973. Tak cuma itu, ada proyek lain yang dinilai sangat prestisius. Pertamina merencanakan membuat sebuah pabrik pupuk di atas dua buah kapal yang akan dilabuhkan di lepas pantai Bontang, Kalimantan Timur. Di seluruh dunia, bisa jadi sampai saat ini, belum pernah ada pabrik pupuk terapung seperti itu. Pabrik terapung ini dirancang untuk menghasilkan pupuk urea sebanyak 560.000 ton setahun dengan bahan baku gas alam yang banyak terdapat di sana. Pabrik terapung ini akan dibangun dari dua buah kapal bekas milik perusahaan Belanda. Kontrak pembelian dua kapal bekas ini diteken Ibnu Sutowo, Maret 1974. Sampai awal 1975, semuanya tampak baikbaik saja. Maklum, petrodollar yang itu masih mengucur deras. Ibnu Sutowo dengan "kerajaan bisnis" yang gegap-gempita itu tak mempunyai masalah. Pertamina, yang tadinya cuma memiliki ladang-ladang minyak tua bekas peninggalan Belanda, sudah diubah Ibnu menjadi konglomerat raksasa dengan rentangan bisnis yang merambah segala bidang dan melanglang buana. Maret 1975 sebuah babak baru yang ingarbingar dimulai. Pembukanya adalah pengumuman sebuah bank yang tak begitu dikenal di sini, mungkin juga di dunia: First Republic Bank of Dallas, jauh di Texas, Amerika Serikat sana. Pertamina tak mampu membayar utang jangka pendek di bank itu. Tak terlalu besar, hanya belasan juta dolar, tapi itu betul-betul suatu pucuk kecil dari gunung utang raksasa yang terendam dalam lautan proyek Pertamina. Seperti rentenir menjerat korbannya, satu per satu para bankir dari berbagai penjuru dunia, termasuk kontraktor dalam negeri, berdatangan menagih utang ke Pertamina. Pelanpelan gunung utang itu mulai mengapung ke permukaan, sampai akhirnya meledak pada angka yang amat fantastis US$ 10,5 milyar. Ini angka yang mengerikan. Kalau saja saat itu Pertamina menyedot habis seluruh kapasitas produksinya, perusahaan ini hanya bisa menghasilkan uang sekitar US$ 400 juta setahun. Saat itu, tak terbayangkan bagaimana Pertamina bisa selamat dari jepitan utang gedenya. Itu sebabnya, Bank Indonesia segera mengumumkan mengambil alih seluruh perkara utang ini. Jika tidak, bisa dipastikan kepercayaan dunia luar pada Indonesia akan runtuh dalam sekejap. Sekalipun demikian, tetap saja utang raksasa ini terasa dahsyat. Itu bisa digambarkan dengan beberapa perbandingan. Seluruh penerimaan dalam negeri untuk tahun 197576, misalnya, hanya berjumlah US$ 6 milyar. Ini termasuk pajak, setoran dari hasil minyak dan gas, dan berbagai penerimaan lain seperti cukai, dan sebagainya. Sementara itu, di BI cadangan devisa negara sampai Mei 1975 cuma US$ 400 juta. Itu pun hanya separuhnya yang bisa ditarik segera. Padahal, seluruh utang Pertamina itu sudah harus dilunasi pada tahun 1974-1975. Maklum, semuanya adalah utang jangka pendek komersial yang berbunga tinggi. Sekitar sembilan puluh persen utang itu adalah utang dari luar negeri yang harus dibayar dalam bentuk valuta asing. Jadi, dengan uang di kantong cuma 400 juta dolar, "Secara teknis keuangan pemerintah Indonesia saat itu sudah bisa dikatakan bangkrut," demikian Menteri Keuangan Sumarlin menulis tentang krisis ini dalam buku Di Antara Para Sahabat, Soeharto 70 tahun. Yang lebih parah lagi bagi Pemerintah, Pertamina sendiri juga sudah menunggak utang yang cukup besar pada kas negara. Diamdiam, sejak 1974, sebagian setoran dari perusahaan minyak asing digunakan untuk mengganjal tagihantagihan yang membanjir itu. Sampai krisis ini meledak, tunggakan setoran itu sudah mencapai US$ 1,2 milyar. Pertanyaan yang lantas muncul di benak semua orang saat itu adalah: Bagaimana bisa sebuah konglomerat raksasa tiba-tiba diterjang utang US$ 10,5 milyar? Kisahnya ternyata tak terlalu rumit. Seperti dituturkan oleh Ibnu Sutowo, Pertamina saat itu terikat oleh sebuah peraturan. Perusahaan ini hanya boleh mencari utang jika kredit itu jangka waktunya di atas 15 tahun, atau di bawah satu tahun. Kondisi ini dinilai oleh Ibnu Sutowo sama saja dengan melarang Pertamina membuat utang. Dalam perhitungannya waktu itu, kredit yang dibutuhkan Pertamina adalah yang berjangka waktu 5 sampai 8 tahun. "Katanya itu kondisi yang dipaksakan IMF untuk Indonesia," kata Ibnu Sutowo dalam sebuah wawancara khusus dengan wartawan TEMPO Fikri Jufri, tak lama setelah krisis itu meletus. Saat itu Ibnu mengaku, hasratnya untuk mengembangkan Pertamina sedang hangathangatnya. Apalagi ia mendapat tugas menggarap Batam, Krakatau Steel, dan berbagai proyek lain. Larangan mencari kredit ini dirasakannya sebagai kekangan yang menghambat. Tibatiba saja, 1974, kata Ibnu, muncul tawaran dari sebuah bank di London. Ada uang dari TimurTengah sebesar US$ 1,7 milyar yang bisa dipinjam untuk jangka waktu 20 tahun. 56 Kesempatan ini segera dipegang oleh Ibnu. Bahkan lebih dari itu, sebelum pinjaman jangka panjang ini turun, Ibnu sudah bertindak. Ia mencari utang jangka pendek, di bawah satu tahun, untuk membiayai berbagai proyek besar yang semuanya adalah investasi jangka panjang. "Saya mulai mengeluarkan uang untuk nantinya dibayar kembali dengan pinjaman jangka panjang itu. Tapi semuanya jadi berantakan waktu pinjaman yang saya perhitungkan itu ternyata hanya fatamorgana," katanya dalam wawancara tadi. Tampaknya, perhitungan Ibnu tetap saja bisa berantakan sekalipun pinjaman jangka panjang itu turun. Jelas terlihat, utang jangka pendek yang mesti dibayar itu jauh lebih besar dibanding dengan US$ 1,7 milyar yang, seperti diakui Ibnu Sutowo, ternyata hanya bayang-bayang yang menyesatkan. Dari total US$ 10,5 milyar utang itu, US$ 2,4 milyar di antaranya adalah untuk keperluan Krakatau Steel. Lalu 2,5 US$ milyar adalah utang-utang dagang Pertamina. Ada juga utang proyek yang terhitung kecil, seperti proyek telekomunikasi yang nilainya "hanya" US$ 180 juta. Yang paling hebat dari semua utang itu adalah kontrak sewabeli kapalkapal tanker samudra yang nilainya mencapai US$ 3,3 milyar. Melihat gawatnya keadaan, Pemerintah segera bertindak. Dalam waktu singkat ada tiga tim yang dibentuk. Yang pertama adalah Tim Inventarisasi Utang yang diketuai oleh Menteri Perdagangan Radius Prawiro. Tim kedua adalah tim perundingan kembali semua kontrak antara Pertamina dengan para kontraktornya. Ketiga adalah tim yang bertugas merundingkan kembali kontrak-kontrak Pertamina dengan pengusaha Bruce Rappaport di Swiss, dalam soal kapal tanker, dipimpin oleh duet Radius Prawiro-Sumarlin. Selain itu, masih ada lagi Tim Teknis Penertiban Pertamina, yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto. Tiga anggotanya adalah Letnan Jenderal Hasnan Habib yang saat itu adalah Kepala Staf Pertahanan dan Keamanan, Piet Harjono yang kemudian menggantikan Ibnu sebagai Dirut Pertamina, dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet. Di luar tim-tim ini, paling tidak ada sembilan panitia yang dibentuk. Tugasnya adalah melakukan penyehatan kembali proyek-proyek Pertamina yang kontraknya sudah diteken Ibnu. Salah satunya, misalnya, Panitia Penyehatan Proyek Pabrik Pupuk Terapung tadi. Hasil panitia ini cukup nyata. Antara lain, rencana proyek pupuk terapung itu sama sekali dibatalkan. Gantinya, pabrik itu "didaratkan" dan dibangun dengan kapasitas yang sama dengan yang direncanakan untuk pabrik terapung (yang sekarang menjadi Pabrik Pupuk Kalimantan Timur di Bontang). Pengelola proyek juga diganti, bukan lagi Pertamina melainkan langsung di bawah Departemen Perindustrian. Dari sini diperhitungkan US$ 216 juta uan~ negara bisa diselamatkan. Dari semua upaya itu, ujian yan~ paling berat dialami oleh tim perunding kembali kontrak-kontrak tanker yang diketuai oleh Menteri Sumarlin dan Radius Prawiro. Tim ini mesti berhadapan dengan tuntutan Rappaport di pengadilan. Tak tanggung-tanggung, gugatan Rappaport itu diajukan di London, Paris, Frankfurt, Singapura, Tokyo, Hawaii, San Francisco, dan New York. Rappaport, yang menganggap kontraknya dengan Ibnu adalah kontrak sah yang tak bisa diubah-ubah, menggugat pemerintah Indonesia yang belum membayar, bahkan berniat membatalkan kontrak itu. Pertarungan seru ini akhirnya dimenangkan duet Sumarlin-Radius. Lewat penyelesaian di luar pengadilan, Rappaport akhirnya bersedia mengisap pipa perdamaian. Kontrak senilai US$ 3,3 milyar bisa dibatalkan, sementara Pertamina diminta membayar biaya pembatalan sekitar US$ 260 juta. Pelan-pelan semua luka akhirnya bisa diobati. Pertamina pun juga berangsur sehat. Maret 1976, satu tahun setelah krisis meletus, akhirnya Ibnu Sutowo diberhentikan dari jabatannya, sekaligus bersamaan waktunya den~gan tujuh direktur Pertamina yang lain. Kenyataan bahwa manajemen Pertamina di bawah Ibnu Sutowo itu rapuh memang tak bisa dibantah. Ibnu Sutowo adalah seorang penguasa dengan otoritas penuh yang cenderung bersikap seperti seorang godfather. Suasana ini juga diikuti dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan pada orang-orang yang dekat dengan Ibnu Sutowo. H. Thaher adalah salah satunya. "Bayangkan, Pertamina itu perannya sangat besar dalam perekonomian negara, tapi dijalankan secara one man show," demikian kata Hasnan Habib pada Ardian T. Gesuri dari TEMPO, pekan lalu. Hasnan menjuluki manajemen Pertamina pada waktu itu bak "manajemen jualan pisang goreng". Dengan kata lain, menurut Hasnan, perusahaan raksasa itu tak mengenal suatu sistem manajemen yang layak. Apakah cuma itu kesalahan Ibnu? Sebab, di sisi lain, bau permainan di balik penentuan proyek-proyek itu memang keras tercium. Paling tidak ini bisa disimpulkan dari laporan tim penyehatan Pertamina. Kesimpulan yang bisa ditarik dari sana adalah: Pertama, proyek-proyek itu tak pernah dibuat berdasarkan studi kalayakan yang memadai. Kedua, harga kontrak umumnya melampaui batas kewajaran. Ketiga, cara pembayarannya tunai, tanpa memperhitungkan kemajuan pekerjaan. Keempat, pengadaan barang dan penanganan proyek tak pernah diputuskan lewat tender, semuanya ditunjuk begitu saja. Kelima, kontrak-kontrak itu dilakukan tanpa persetujuan atau diketahui Dewan Komisaris Pemerintah. Beberapa contoh memang sesuai dengan kesimpulan itu, misalnya di proyek pabrik pupuk terapung. Kontraktor yang ditunjuk membangun pabrik itu sama sekali belum berpengalaman di bidang pupuk urea. Padahal, proyek itu, kalau seandainya jadi, bukan cuma sekadar pabrik pupuk biasa. Contoh lain yang juga cukup besar adalah dalam hal penggembungan nilai kontrak yang jauh dari harga pasar yang wajar. Kapal milik Rappaport, misalnya, ada yang dihargai US$ 400 juta sebuah, sekalipun di pasaran harganya hanya sekitar US$ 100 juta. Masih berkaitan dengan kontrak ini, Ibnu sempat menandatangani surat pernyataan berutang (promissory note) dari Pertamina untuk. Bruce Rappaport senilai US$ 364 juta. Sebagai imbalannya, Ibnu mendapat dana tunai senilai US$ 2,5 juta dari Rappaport, yang masuk ke dalam rekening pribadinya. Sehubungan dengan kasus tanker Rappaport ini, Ibnu akhirnya sempat diminta agar tinggal di rumah, Maret 1977. Namun, pernyataan resmi tak menyebutkan adanya penahanan. Jaksa Agung, waktu itu, Ali Said menegaskan, Ibnu Sutowo tidak ditahan. "Ibnu hanya diminta kalau sewaktu-waktu diperlukan agar ada di tempat," demikian penjelasan Ali Said saat itu. Belakangan Pemerintah beranggapan, tak ada dasar yang cukup untuk melakukan penuntutan pidana pada Ibnu. Sikap Pemerintah ini tersebar luas ketika tujuh anggota DPR dari FKP mengajukan pertanyaan soal Krisis Pertamina kepada Presiden, Februari 1980. "Waktu itu ada keterangan Pemerintah yang menyebut bahwa masalah Pertamina sudah selesai, padahal menurut fraksi kami itu belum selesai. Itu sebabnya, muncul pertanyaan tersebut," kata Djoko Sudjatmiko, salah satu penanya, kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Salah satu pertanyaan, "Apakah di samping kasus H. Thahir, Pemerintah tidak menemukan kasus-kasus yang sama atau sejenis? Bagaimana kesimpulan Pemerintah mengenai kepemimpinan Ibnu Sutowo selama menjadi direktur utama Pertamina?" Jawaban Pemerintah yang muncul ~tiga bulan setelah pertanyaan diajukan cukup jelas. Intinya: Krisis Pertamina dianggap sebagai masalah yang muncul karena kesalahan manajemen, bukan kriminal. Sebagian kesulitan itu terjadi pada masa kepemimpinan Ibnu karena dia dinilai berkeinginan untuk memainkan peran yang lebih besar dalam pembangunan Indonesia. Maka, akhirnya disimpulkan belum ada dasar yang cukup untuk melakukan penuntutan secara pidana. Rupanya, jasa Ibnu Sutowo dinilai Pemerintah lebih besar dari kesalahannya. Juga ada pengakuan langsung dari Pemerintah bahwa semua tindakan Ibnu itu didasari oleh itikad baik. Peran Pertamina dan Ibnu Sutowo yang besar pada berbagai proyek sebelum krisis ini muncul rupanya tak terlupakan begitu saja. Seorang pejabat tinggi Pertamina mengaku, pada masa itu lebih dari 70% kegiatan Pertamina adalah usaha yang bersifat tak mencari untun~g, dan merupakan penugasan dari Pemerintah yang sebenarnya bukan merupakan urusan langsung Pertamina. Sampai di sini cerita boleh dibilang usai. FKP menerima baik jawaban itu. Sedangkan FPP dan FPDI menyatakan tak puas dan ingin menyelidiki lebih lanjut, lewat hak angket. Tapi upaya itu surut karena tak didukung FKP, yang merupakan fraksi terbesar. Bisa disimpulkan, sekalipun sekarang nama Ibnu kembali disebut-sebut, itu tak akan membawa banyak perubahan. Yang jelas, para teknokrat sudah menarik pelajaran yang amat berharga dari krisis ini. Berbagai masalah yang muncul belakangan ini memang belum ada yang segawat krisis Pertamina, yang oleh mereka disebut sebagai lembaran paling hitam dalam sejarah perekonomian Indonesia. Yopie Hidayat~~
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini