Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Membidik ibnu sutowo di pengadilan tinggi singapura

Ketidak hadiran ibnu sutowo pada sidang kasus deposito h. thahir. pengacara kartika thahir keberatan dengan pernyataan ibnu. pendapat dari sejumlah ahli hukum indonesia.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo, tiba-tiba menjadi tersangka. Keterlibatannya dalam permainan komisi di Pertamina semasa pimpinannya digali pengacara Kartika Thahir, Bernard Eder Q.C., dari saksi penting Pertamina, Benny Moerdani, di sidang kasus deposito H. Thahir dan Kartika sebesar US$ 78 juta di pengadilan tinggi Singapura pekan lalu. Di sidang itu, Jenderal Purnawirawan Benny Moerdani, yang tanpa disangka-sangka hadir sebagai saksi, membenarkan keterlibatan Ibnu dan Rani Yunus (bekas kepala Divisi Telekomunikasi Pertamina) dalam penerimaan komisi dari para kontraktor asing. Kedua orang itu, seperti juga H. Thahir, belakangan diketahui sama-sama punya deposito di Bank Sumitomo. "Saya sudah mengecek ke bank, simpanan itu masih utuh," ujar Benny. Ibnu, yang diketahui punya deposito di situ sekitar US$ 8 juta, menurut tim Pertamina, atas desakan Pemerintah, telah mengembalikan uang itu kepada negara. Toh Eder tak puas dengan penjelasan itu. Ia meminta ketegasan Benny tentang tindakan yang diambil Pemerintah kepada Ibnu. Pemerintah, kata Menteri Pertahanan dan Kemananan itu, sudah mengambil tindakan dengan melepaskan Ibnu Sutowo dari jabatannya selaku direktur utama Pertamina dan melarang ke luar negeri. Eder masih mendesak, kenapa tidak diambil tindakan hukum. "Mungkin karena Indonesia memiliki sistem hukum yang berbeda dengan negara lain," ujar Benny. Jawaban ketua tim Pertamina Jenderal Moerdani itu rupanya tak memuaskan Bernard Eder. Pengacara Kartika itu ngotot agar Ibnu dipanggil sebagai saksi, ketika pengacara Pertamina, David Hunt, menyampaikan pernyataan (affidavit) seorang anggota tim Pertamina Dicky Turner kepada Hakim Lai Kew Chai, bahwa Ibnu menolak untuk hadir sebagai saksi. Menurut Dicky Turner, ia sudah menghubungi Ibnu di Jakarta agar bersedia menjadi saksi Juli tahun lalu. Permintaan yang sama diulangi Dicky pada 18 Februari 1992 melalui telepon."Tapi Ibnu menyatakan secara lisan tak bersedia menjadi saksi. Karena itu, saya buat pernyataan, dan Kamis lalu saya sudah disumpah di pengadilan tinggi Singapura," kata Dicky. Mendengar Ibnu tak akan hadir sebagai saksi, Eder langsung keberatan. Menurut Eder, masih terlalu banyak dokumen yang memerlukan cross check. Masih banyak dokumen yang ingin kami tanyakan langsung kepada orang yang menandatanganinya," ujar Eder. Ia juga keberatan jika semua dokumen yang ditandatangani Ibnu harus dapat diterima begitu saja. Keberatan Eder dijawab langsung David Hunt, bahwa Ibnu tak perlu harus hadir sebagai saksi, karena sudah banyak saksi lain yang memberikan keterangan. "Sudah ada saksi Turki Witular tentang proyek Krakatau Steel, dan juga saksi Benny Moerdani, yang menjelaskan asal-usul uang di Bank Sumitomo," kata Hunt. Tapi permintaan Eder cukup beralasan. Sebab, sebelumnya hakim banding memutuskan bahwa semua dokumen yang tidak diakui pengacara Kartika (baik dokumen asli maupun fotokopi) dianggap sebagai dokumen yang tidak bisa diterima, yang masih harus dibuktikan di persidangan. Padahal, dari sekitar 700 lembar dokumen yang diajukan Pertamina, sebagian besar tidak diakui pengacara Kartika. Tercatat 67 dokumen yang diminta untuk diperkuat dengan saksi atau dicocokkan dengan aslinya. Dari 67 dokumen, sedikitnya 10 dokumen mencantumkan tanda tangan Ibnu Sutowo, baik dalam bentuk penandatanganan kontrak maupun permohonan pembukaan letter of credit. Apalagi, seperti dikatakan Kartika, sebagai asisten, suaminya dulu hanya menjalankan perintah direktur utama. "Suami saya apa? Semua keputusan yang mengambil Ibnu Sutowo," ujar Kartika kepada Karni Ilyas di Jenewa. Tak hanya itu, deposito yang ada di Singapura pun, menurut Kartika, sekadar pemberian Ibnu Sutowo karena almarhum loyal kepadanya. "Yang diterima suami saya hanya segini (Kartika menyentikkan kukunya) dibandingkan yang diterima Ibnu (TEMPO, 22 Februari 1992). Tudingan Kartika terhadap Ibnu Sutowo sebenarnya sudah dimulai sejak perkara perebutan uang komisi masuk ke pengadilan Singapura, awal 1980. Pada saat itu, Kartika (lewat amandemen, 6 Maret 1980), sudah menyatakan bahwa masalah komisi almarhum Thahir itu diketahui atasannya langsung, Ibnu Sutowo. Tapi Ibnu Sutowo membantah tuduhan itu. "Seandainya sewaktu menjabat direktur utama Pertamina saya tahu adanya deposito-deposito itu, pasti akan saya pecat Thahir dan mengklaim uang itu untuk Pertamina," kata Ibnu (TEMPO, 24 Mei 1980). Serangan Kartika malah semakin keras. Pada 11 Maret 1980, melalui pengacara (waktu itu) Ros Monro, Kartika menyebut 17 nama pejabat penting dan pengusaha besar di Indonesia yang juga menerima komisi semacam itu. Di antara yang dituduh Kartika adalah Ibnu Sutowo. Sebagian komisi dari perusahaan Jerman (Siemens, Klockner, dan Ferrosthal), yang menangani proyek Krakatau Steel, kata Kartika, antara lain ditempatkan dalam deposito Ibnu sebesar US$ 8 juta. Nomor rekening Ibnu berurutan dengan rekening Thahir di Bank Sumitomo. Tuduhan-tuduhan itu, sayangnya, tak bisa dikonfirmasikan pada Ibnu. Wartawan TEMPO Nunik Iswardhani, yang beberapa kali mencegat Ibnu di kantornya, PMI Pusat, gagal memperoleh konfirmasi. Persoalannya, apa untung-ruginya bagi Pertamina bila Ibnu Sutowo datang menjadi saksi di Pengadilan Singapura. Pengacara T. Mulya Lubis, yang mengaku selalu mengikuti perkembangan sidang Kartika, menyebut sikap Ibnu, yang tak mau jadi saksi, ada segi untung dan ruginya. "Untungnya, kalau Ibnu jadi saksi, dia bisa menjelaskan secara tuntas wewenang dan kewajiban Thahir, dan posisinya terhadap perusahaan. Jadi, semuanya bisa jelas," kata Mulya. Kerugiannya, bagi pihak Pertamina, kata Mulya, dengan hadirnya Ibnu sebagai saksi, terbuka kemungkinan pengacara Kartika melakukan examination (pemeriksaan) terhadap Ibnu, yang belum tentu bisa dicegah oleh pengacara Pertamina. "Kita kan tidak tahu sejauh mana Kartika punya bukti lain. Apalagi kalau bukti itu tertulis dan belum diungkapkan. Kalau diajukan pada saat Ibnu jadi saksi, kan bisa memukul Pertamina," kata Mulya. Sementara itu, salah satu anggota tim ahli Pertamina, Prof. Sudikno Mertokusumo dari Fakultas Hukum UGM, menilai bahwa kehadiran Ibnu di pengadilan Singapura tidak relevan dengan kasus yang digelar. Sebab, menurut ahli hukum perdata itu, yang ingin dibuktikan di pengadilan adalah apakah uang yang diklaim Kartika itu hasil komisi atau bukan. Maksudnya, soal itu tak ada sangkut-pautnya dengan tuduhan Ibnu menerima komisi atau tidak. Pengamat lain, Dr. Muladi, dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, justru melihat apa yang dilakukan Ibnu tidak bersedia menjadi saksi sebagai hal yang merugikan pemerintah Indonesia. "Pengadilan dalam kasus perdata memang tidak punya hak memaksa Ibnu untuk hadir sebagai saksi. Tapi kalau Ibnu hadir, justru menguntungkan, karena di pengadilan ia punya kesempatan untuk membela Indonesia," katanya. Pertanyaan Bernard Eder, kenapa Ibnu yang jelas-jelas menerima korupsi tak diadili di Indonesia? Menurut ahli hukum pidana ini, kalau Eder minta Ibnu diadili, malah bisa menjadi bumerang bagi Kartika. Sebab, pemerintah Indonesia juga bisa menyeret Kartika ke pengadilan in absentia. "Kartika dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi, sebab ia turut serta atau setidaknya membantu melaksanakan korupsi," kata Muladi. Tentang tak diadilinya Ibnu, menurut Muladi, Pemerintah tentu punya pertimbangan lain. Dan itu tidak salah, karena Pemerintah dapat mendeponir perkara korupsi demi kepentingan umum. Hanya saja, dideponirnya kasus Ibnu Sutowo tentu akan melemahkan posisi tim Pertamina. Sebab, dengan dideponirnya kasus Ibnu, berarti Pemerintah sendiri tidak tegas berpendirian bahwa perbuatan menerima komisi itu adalah korupsi. Padahal, tim Pertamina di persidangan Singapura tegas-tegas menyebutkan perbuatan Thahir menerima komisi dari berbagai kontraktor asing itu sebagai pelanggaran undang-undang pidana korupsi. Karni Ilyas, Aries Margono, Bambang Sujatmoko (Singapura), dan Bandelan Amarudin (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus