Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Siapa mister 5%

Proyek krakatau steel melahirkan permainan komisi. klockner dan siemens memberi komisi 5% untuk setiap kontrak kepada thahir. berkat panitia sumar- lin uang negara bisa diamankan.

29 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAH satu lubang besar yang terkuak dari krisis keuangan yang menimpa Pertamina, 1975, adalah proyek Krakatau Steel. Uang Pertamina yang terbenam di proyek ini tak kurang dari US$ 950 juta. Ternyata, tak cuma itu beban Pertamina. Belakangan muncul berbagai utang jangka pendek yang pelanpelan menjerat BUMN tersebut. Sampai akhirnya, dari US$ 10,5 milyar utang Pertamina, sebesar US$ 2,4 milyar berasal dari sini. Lebih menyedihkan, dari cerita utang ini muncul kasus komisi yang sekarang ramai dihebohkan. Kontrak pembangunan Krakatau Steel yang diberikan pada tiga perusahaan Jerman Siemens AG, Ferrostahl AG, dan Klockner Industri-Anlagen GmbH rupanya menjadi tambang rezeki bagi sejumlah kecil pejabat Pertamina. Paling tidak, yang sekarang ramai diperkarakan adalah komisi yang diberikan tiga perusahaan asing itu kepada Haji Thahir. Proyek Krakatau Steel sebenarnya adalah peninggalan kerja sama IndonesiawUni Soviet. Semula pabrik baja yang memproduksi besi beton sampai kawat ini mulai dibangun pada 1962, dirancang dengan kapasitas 100.000 ton besi setahun. Tahun 1966, proyek ini terhenti karena meletus pemberontakan G30SPKI. Tahun 1970, Pemerintah memutuskan untuk meneruskan lagi proyek ini. Lalu, dibentuk Perusahaan Negara Krakatau Steel, yang ditugasi untuk meneruskan pembangunan proyek dan meningkatkan kapasitas pabrik menjadi 500.000 ton setahun. Karena kekurangan dana, sejak 1971 proyek ini diserahkan Pemerintah kepada Pertamina. Seperti proyek raksasa lain yang digarap Pertamina, waktu itu manajemen di Krakatau Steel sama saja kacaunya. Pada dua tahun pertama, proyek ini berjalan lancarlancar saja. Persoalan mulai muncul ketika ada keputusan peningkatan kapasitas pabrik menjadi dua juta ton per tahun, sehingga perlu perluasan pabrik. Kontrak perluasan pabrik inilah yang kemudian membebani Pertamina dengan utang US$ 2,4 milyar. Perluasan pabrik itu ternyata melahirkan "permainan" di kalangan terbatas Pertamina. Beberapa fakta belakangan dibeberkan Ketua Panitia Penyehatan Proyek Krakatau Steel, J.B. Sumarlin. Berdasarkan penelitian yang sangat cermat, tulis Menteri Sumarlin, terungkap bahwa perluasan pabrik itu ternyata dilakukan begitu saja tanpa minta persetujuan Pemerintah lebih dulu. Studi kelayakan, yang mestinya harus dilakukan pada proyek sebesar itu, juga tak dikerjakan dengan memadai karena dibuat sendiri oleh pemasok peralatan pabrik yang tentu saja mempunyai kepentingan langsung pada proyek. Selain itu, para kontraktor ditunjuk begitu saja tanpa melalui tender, tanpa negosiasi, dan tanpa jaminan pasti biaya proyek ini akan didapat Pertamina dari mana. Baru belakangan terungkap bahwa kontrak yang dibuat asalasalan ini rupanya dilakukan untuk mengejar komisi, yang menurut versi gugatan Pertamina jatuh ke kantung Thahir. Disebut-sebut Klockner dan Siemens memberi komisi 5% untuk setiap kontrak yang membuat Thahir sempat dijuluki pers Singapura sebagai Mister 5%. Dari angka 5% itu disebutkan komisi yang diterima Thahir mencapai US$ 35 juta. Sekarang, setelah uang komisi itu didepositokannya belasan tahun, konon sudah berbiak menjadi US$ 78 juta. Mengapa uang komisi itu bisa jatuh ke tangan Thahir? Sebagaimana terungkap dalam sidang pengadilan di Singapura, pekan lalu, almarhum ternyata punya peranan penting dalam proyek Krakatau Steel. Dalam kesaksian Ir. Turki Witoelar, Kepala Teknis Proyek Krakatau Steel, Thahir memiliki surat kuasa khusus yang bisa memberinya wewenang sebagai kepala pelaksana harian proyek Krakatau Steel. Lantaran kekuasaan itu, ujar Turki lebih lanjut, pada setiap kontrak proyek harus tercantum paraf Thahir agar bisa dikerjakan. Pada mulanya, Turki mengaku tak mengetahui bahwa Klockner dan Siemens yang ditunjuk sebagai kontraktor. "Saya baru tahu ketika diperintahkan melakukan perundingan teknis," katanya. Turki menduga bahwa Thahirlah yang mempengaruhi Ibnu Sutowo agar menunjuk perusahaan Jerman itu sebagai pelaksana pembangunan proyek Krakatau Steel. Sementara Thahir dapat komisi, kedua kontraktor Jerman itu juga menikmati keuntungan dengan melipatgandakan harga. Itu sebabnya Tim Sumarlin kemudian bernegosiasi habis-habisan agar para kontraktor Jerman ini bersedia menurunkan nilai kontraknya. "Mulanya perundingan sangat tidak lancar karena mereka beranggapan kontrak mereka adalah kontrak yang sah," tulis Sumarlin dalam Di Antara Para Sahabat, Pak Harto 70 Tahun. Kegigihan Panitia Sumarlin ini akhirnya membuahkan hasil. Kontrak yang semula bernilai US$ 2,4 milyar bisa diturunkan menjadi US$ 1,6 milyar. Selain berhasil menawar, banyak juga pekerjaan yang kemudian diputuskan untuk tidak dilanjutkan, di antaranya pembangunan tempat rekreasi dan rumah-rumah mewah di Cilegon. Selain berhasil menurunkan nilai kontrak yang sudah dibuat, Sumarlin juga bisa meninjau kembali harga kontrak yang belum dikerjakan, sehingga uang negara bisa dihemat US$ 366 juta. Alhasil, lebih dari US$ 1,1 milyar bisa diamankan dari proyek ini. YH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus