Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kursi dan demokrasi curiga curang

Pengaruh kampanye dalam perolehan suara. beberapa calon anggota DPR dari PDI, Golkar, dan PPP. turunnya suara Golkar di beberapa daerah. perolehan suara dari ketiga kontestan.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGKA-angka hasil Pemilu 1992 sudah tak menegangkan bagi pemirsa televisi atau pendengar radio. Semua sudah jelas, 90% lebih suara telah masuk. Dari hasil sementara itu, tergambar bahwa Golkar menang dan tampil sebagai mayoritas di DPR. Komposisi kursi di DPR memang mengalami perubahan besar. Golkar, yang sempat kehilangan 18 kursi, kini masih memperoleh 282 buah. Adapun PDI naik dari 40 kursi dalam Pemilu 1987 menjadi 56 buah. PPP, yang relatif kalem dalam kampenye, juga mendapat kenaikan satu kursi. Itu pun masih terancam hilang bila kelebihan suara untuk TPS di luar negeri ternyata justru memperbesar sisa suara bagi Golkar untuk DKI Jakarta. Pergeseran perolehan suara dan kursi di DPR itulah yang menjadi legitimasi kiprah kekuatan sosial politik dalam kehidupan bernegara. Pergeseran itu tentunya mengandaikan akan mampu berpengaruh bagi perubahanperubahan di masa datang. Bagian pertama Laporan Utama kali ini juga menampilkan hasil observasi TEMPO terhadap sejumlah responden yang diwawancarai sebelum dan pada pertengahan kampanye serta seusai pencoblosan. Yang menarik, ternyata gegapgempita kampanye, pidato yang berapiapi, belum tentu berpengaruh pada sikap pemilih dalam menentukan pilihan di tempat pemungutan suara. Sebagian besar pemilih sudah mempunyai pilihan dengan atau tanpa kampanye. Dengan adanya pemilih tetap, tentu diandaikan bahwa hubungan PPP, Golkar, dan PDI dengan pemilihnya akan lebih intens. Ketiganya mestinya akan memelihara dan membuat komitmenkomitmen dengan pemilih tetapnya selama lima tahun agar tak lari. Bukan cuma menyapanya lima tahun sekali sebelum pemilu. Untuk itu, PPP, Golkar, dan PDI tentu diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang memungkinkan proses demokratisasi. Sebab, koridor demokratisasi itu sebenarnya pernah terkuak selama pemilu lalu. ABRI, misalnya, tak lagi memihak, pelaksana pemilu yakni Lembaga Pemilu dan Panitia Pemilihan Indonesia di pusat dan daerah mencoba tampil adil dan bersih. Pertanyaannya, beranikah ketiga kekuatan sosial politik itu memainkan peran sebagai agen demokratisasi dalam kurun lima tahun mendatang. Untuk tujuan itu, kecuali Pemerintah, Golkar sebagai pemenang pemilu juga punya tugas untuk merintis perubahan itu. Bagian kedua tulisan berikut lebih menyoroti mengapa Golkar bisa menang mutlak walau merosot drastis di Jawa Timur dan turun sedikit di beberapa daerah. Mesin birokrasi Golkar dan dana milyaran rupiah ternyata sangat efektif untuk menarik masyarakat agar menusuk Beringin. Namun, suara Golkar di beberapa tempat ternyata sempat digerogoti oleh pemilih yang kembali ke sarang PPP dan PDI. Dalam bagian ketiga dan keempat disajikan apa yang terjadi dengan PPP dan PDI. Keduanya mendapat tambahan suara karena suasana lebih bebas yang mereka nikmati, baik dari pelaksana pemilu yakni birokrasi maupun penjaga ketertiban, ABRI. Suasana tanpa tekanan itu membuat PPP dan PDI bebas berkiprah, dan masyarakat pun tak takuttakut menjatuhkan pilihan di luar Golkar. Memang, dalam dua bagian PPP dan PDI ini juga dimunculkan masalahmasalah yang dihadapi kedua partai itu. Sebagai kelanjutan hasil pemilu adalah pengangkatan calon anggota legislatif. Berdasarkan perolehan suara masingmasing, nama seperti Harisoegiman, Marwah Daud, Sri Bintang Pamungkas, A.M. Saefudin, Laksamana Sukardi, dan Guruh Sukarno Putra sudah pasti akan dilantik bersama anggota DPR yang lain Oktober nanti. Mereka ini hanya sebagian dari puluhan wajah baru anggota DPR yang 400 orang itu. Mereka yang mendapat kursi di DPR itu pula yang dipercaya masyarakat pemilih untuk melaksanakan hakhak rakyat, pemegang kedaulatan tertinggi. Dan hakhak rakyat paling tinggi akan terwujud bila sistem kehidupan politik benarbenar demokratis. Sebab, pemilu sendiri merupakan salah satu sendi proses demokratisasi. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus