GOLKAR kehilangan satu minibus wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat. Ada 17 kursi wakil dari Partai Beringin itu yang terpaksa dicopot dari Senayan, Jakarta, sebagai akibat turunnya suara perolehan Golkar dalam pemilu lalu. Sepanjang sejarahnya, ini merupakan penurunan kursi paling banyak. Pada Pemilu 1977, Golkar hanya kehilangan empat kursi dibandingkan pemilu sebelumnya. Namun, bisa dicatat, Golkar belum melampaui rekor yang dicapai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam Pemilu 1987, Partai Bintang itu kehilangan satu bus berisi 33 wakilnya yang harus angkat kaki dari DPR. Toh Golkar tetap sang pemenang, dengan perolehan suara hampir 68 persen dari 107 juta lebih pemilih pada pemilu kali ini. Angka ini bisa saja bergeser sedikit mungkin bisa mendekati 70% bila sebagian besar sisa suara sekitar yang 9 juta itu masuk secara sah. Dalam Pemilu 1987, Golkar merenggut 73% suara. Boleh dibilang, Golkar adalah juara sejati. Seperti pada pemilu yang lalu, sekarang pun Golkar tak terkalahkan di semua provinsi. Dari Aceh sampai Irian Jaya, bendera kuning berkibar paling atas. Bahkan, di daerah rawan Golkar seperti DKI Jakarta dan Aceh, partai pemerintah ini meraih suara mayoritas. Ini memang kemajuan, bila diingat pada Pemilu 1977 Golkar kalah telak di Jakarta dan lima tahun kemudian tumbang di Aceh. Bahkan, di kotakota mahasiswa, yang kerap disebut sebagai kelompok masyarakat paling kritis, seperti Bandung, Bogor, Jakarta, Salatiga, Solo, Yogya, Semarang, Surabaya, dan Malang, suara Golkar tetap mayoritas walaupun di beberapa tempat turun dibandingkan pemilu lalu. Di Yogya, misalnya, Golkar kehilangan satu kursi untuk DPR Pusat dan empat kursi untuk DPRD tingkat provinsi. Hal lain dari kota mahasiswa itu adalah kecenderungan banyaknya suara tak sah. Di Yogya, yang pada kampanye terjadi aksi protes dengan mengibarkan panjipanji "golongan putih" dan seruan untuk tak mencoblos, ada sekitar 200 ribu suara tidak sah dari 1,9 juta pemilih. Tentu saja angka itu masih terlalu kecil untuk bisa dibilang "berbahaya". Lebih lagi kalau diingat, jumlah suara tak sah itu mungkin saja garagara salah teknis dalam pencoblosan atau si pemilih berhalangan datang ke TPS. Derajat partisipasi rakyat dalam pemilu kali ini dengan angka suara lebih dari 90% hampir sama dengan pemilu sebelumnya yang ratarata mencapai 91% lebih. Ini memang kerja aparat birokrasi, mulai tingkat Menteri Rudini sampai para camat dan lurah di desa. Di Aceh, misalnya, Fachry Ali, pengamat politik yang kini tengah menyelesaikan program doktornya di Universitas Monash, Australia, menyimpulkan bahwa pemenang Pemilu adalah: Gubernur Ibrahim Hasan, birokrasi, dan Golkar. Karena, menurut Fachry, yang kini mengadakan penelitian di Aceh, Golkar sebenarnya sesuatu yang asing di sana, dan Ibrahim Hasan membuat barang asing tadi menjadi akrab dengan rakyat. Kini, Golkar mencatat perolehan suara hampir 60% dari 200 ribu lebih pemilih. Di seluruh Aceh, Golkar memperoleh 58 persen suara atau enam kursi, satu kursi lebih tinggi dari Pemilu 1987. Gubernur Ibrahim Hasan mengatakan bahwa kemenangan Golkar memang ditunjang aparat birokrasi. "Di Aceh, semua aparat birokrasi memilih Golkar," kata Ibrahim Hasan pada Marhiansyah dari TEMPO. Dan itu lantaran pembangunan. "Siapa yang paling banyak menanam budi, dialah yang meraih prestasi," katanya. Dia juga menunjuk peran Menteri Bustanil Arifin, yang hampir sebulan kampanye keliling Aceh dan Ketua MUI Ali Hasymi, dalam memenangkan Golkar di Aceh. Maka, di Serambi Mekah itu, jajaran birokrasi memang berbaris rapat di bawah rimbunnya Beringin. Kendati demikian, menurut seorang pejabat teras PPP pada TEMPO, ada saja berbagai aparat yang "main kayu" dengan meniupkan ancaman "pilih Golkar atau GPK". Alhasil, ketidakberhasilan memenangkan Golkar mungkin bisa dianggap aib. Sikap Ibrahim Abbas, Kepala Desa Temareum, Kecamatan Jaya, Aceh Barat, agaknya bisa menjadi contoh. Ketika hasil penghitungan suara di desanya menunjukkan Golkar kalah, Abbas langsung memasukkan stempel desa dan peralatan administrasi kantornya ke kotak suara yang akan dikirim ke kantor camat. Dia minta mundur sebagai kepala desa. "Kalau rakyat memerlukan saya, tentu mereka akan memenuhi permintaan saya untuk menusuk Golkar," ujar Ibrahim Abbas, yang tampak sangat kecewa. Tindakan Abbas yang berani itu diikuti Burhanuddin, Kepala Desa Aneuk Paya, Aceh Besar. Ketika PPP menang di desanya, dia langsung mengirim surat permintaan berhenti kepada camat dan pembantu bupati. "Sejak hari Pemilu dan Golkar kalah, saya sudah mengumumkan pada masyarakat bahwa saya mengundurkan diri," ujar Burhanuddin. Di Sumatera Utara, Golkar menambah satu kursinya menjadi 16 kursi. Namun, persentase suara Golkar ternyata menurun dua persen dari 73 persen yang diraih dalam pemilu lalu. Dalam pemilu kali ini, ada sekitar lima juta pemilih di SumUt. Menurut dr. T. Syaifuddin, Wakil Sekretaris Golkar di sana, suara Golkar banyak turun di hampir semua kota madya yang ada perguruan tingginya. Di kota Medan, dari 21 kursi untuk DPRD setempat, Golkar kehilangan dua kursi. Bahkan, di daerah perkebunan yang biasanya merupakan lahan subur Golkar, sekarang ini suaranya turun. "Masyarakat kita kan semakin kritis," kata Syaifuddin. Barangkali, ini ada kaitannya dengan gaji buruh kebun yang sangat rendah. Di Tapanuli Selatan, yang penduduknya mayoritas beragama Islam, Golkar menang dengan kenaikan suara sampai sekitar 40 ribu dari hampir 300 ribu pemilih. Malah perolehan suara PPP berkurang. Peta ini memang belum berubah dari pemilu lalu. Agaknya, Golkar menjadi saluran aspirasi warga muslim di sana. Apalagi, selama ini pembangunan masjid atau fasilitas ibadah lainnya juga dilakukan oleh pemerintah, yang selalu diklaim identik dengan jasa Golkar. Di Tapanuli Utara, untuk tingkat DPRD setempat, 3 dari 24 kursi Golkar juga melayang dan ganti diduduki PDI. Di kawasan ini mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dulu daerah ini merupakan basis Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Di Riau, Golkar kehilangan satu kursi. Menurut seorang pakar yang dekat dengan Golkar, ini akibat calon wakil rakyat yang dicalonkan di daerah itu ternyata tak dikenal masyarakat setempat. Kebetulan calon pada urutan satu sampai tiga berdomisili di Jakarta. Baru di urutan empat Golkar menempatkan Haji Baharuddin Yusuf yang berasal dari Pekanbaru. Golkar juga kehilangan satu kursi di Timor Timur, sehingga kini tinggal tiga calon wakilnya dari daerah Gubernur Mario Viegas Carrascalao ini. Suaranya jatuh ke tangan PDI ini yang pertama kali PDI mampu meraih satu kursi di TimTim sejak Pemilu 1982. Komentar Carrascalao, "Bagi saya, itu pertanda proses demokrasi berjalan baik. Jangan mencolok Golkar saja. Ini kan ada keseimbangan." Provinsi ini memang baru saja dilanda keresahan akibat peristiwa berdarah 12 November 1991. Urusan penggantian gubernur pun hangat. Rakyat Tim-Tim menghendaki seorang putra daerah, sementara hampir pasti yang akan menjadi gubernur adalah A.B. Saridjo, wakil Carrascalao yang berasal dari luar provinsi itu. Kursi Golkar juga "terbang" di daratan Jawa. Yang paling mencolok di Jawa Timur. Pada Pemilu 1987 ia mencatat kenaikan suara 15 persen dan menggaet 46 kursi. Kini kursinya melorot tajam hingga tinggal 36 buah. Begitu pula di Jawa Tengah, Beringin kehilangan delapan kursi. Yogya, yang pada pemilu lalu menempatkan lima wakil di Senayan, kini cuma kebagian empat kursi. Di Jawa Barat Golkar pun kehilangan satu kursi, menjadi hanya 43 kursi. Ibu Kota Jakarta memang jatuh ke tangan Golkar. Namun, apakah Golkar tetap mendapat delapan kursi atau kurang, itu masih bergantung pada perolehan suara para jemaah haji yang berjumlah sekitar 104.000 dan suara warga Indonesia di luar negeri. Masalahnya, dari 14 kursi DPR jatah DKI, kini sudah terisi 13 buah. Dan satu kursi masih akan diperebutkan dari sisa suara yang terbanyak. Untuk sementara, Golkar masih memperoleh sisa suara terbanyak dan berhak memegang kursi ke14 tadi. Apa sebab Golkar menang di Jakarta? "Saya menarik kesimpulan, ada hubungan antara kemunduran suara PDI di Jakarta dan kebrutalan selama kampanye," kata Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan PDI Kwik Kian Gie. Pendapat "orang dalam" PDI itu juga senada dengan Sekjen Golkar Rachmat Witoelar. "Barangkali, jatuhnya suara PDI itu akibat kampanye yang terlalu diforsir dan banyak menimbulkan antipati masyarakat," ujar Rachmat. Toh bukan berarti Golkar berdiam diri selama kampanye. Dari pengamatan TEMPO di berbagai wilayah Jakarta seperti di kawasan Utan Kayu Jakarta Timur dan Karet Kober di Jakarta Pusat, aparat desa setempat sempat membagibagi beras di pagi hari menjelang pencoblosan tentu saja dengan pesan agar memilih si Kuning. Golkar juga mengadakan serangkaian kampanye dialogis untuk merekam langsung keluhan masyarakat. Tentu harus dicatat upaya Ketua Golkar DKI Jakarta Basofi Sudirman penyanyi dangdut yang lagi beken di Jakarta ini. Sejak tiga tahun lalu, Basofi membentuk Forum Dinamika Jakarta, yang bergerak di segala lini. Di kalangan pelajar, FDJ memberikan bimbingan tes gratis, atau piknik gratis saat liburan. FDJ juga aktif menyelenggarakan acara bagi kaum muda seperti festival beduk, lomba koor gereja, dan merangkul remaja masjid. Dengan dana yang tak tertandingi dua parpol lain, FDJ akhirnya terbukti efektif merebut para pemilih muda Jakarta. Di berbagai TPS sekitar SMA, Golkar bisa unggul. Golkar tetap menang mutlak, menurut Amir Santoso, pengamat politik dari Universitas Indonesia, karena "mesin" Golkar terus berjalan selama lima tahun. Sedangkan PPP dan PDI hanya bangun sekejap setiap lima tahun sekali. Sifatnya pun kagetkagetan menghadapi pemilu. Namun, harus diingat, kemenangan Golkar sebenarnya tak lepas dari peran birokrasi yang punya kepentingan untuk memenangkan OPP yang didukungnya. Bila nanti birokrasi benarbenar menjadi wasit, menurut Menteri Rudini, Golkar harus merumuskan programprogramnya. Bahkan ia juga meramalkan, Korpri pun bisa menjadi floating mass. Ini memang baru citacita, entah kapan akan terwujud, sehingga Golkar benarbenar menjadi partai yang mandiri. Toriq Hadad (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan), Nunik Iswardhani (Yogya), Rubai Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini